Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Membincang Kesehatan Reproduksi di Masa Pandemi

27 Juni 2020   17:15 Diperbarui: 28 Juni 2020   20:10 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi via yourstory.coms

Laki-laki seringkali digambarkan lebih memiliki hasrat seksual dibandingkan perempuan. Perempuan tinggal terima dan layani. Banyak studi menunjukkan ini tidak benar.

Dan ketika masuk pada institusi keluarga, maka kita akan masuk pada dunia yang dipenuhi norma, nilai tentang kepatuhan, ketaatan isteri/perempuan pada suami yang terjalin rapi dalam ajaran agama terutama terkait dengan urusan seksualitas.

Kehamilan berhenti pada narasi rejeki dan memang tentu saja, anak adalah anugerah yang tak terkira. Namun tidak dilihat sebagai sebuah konsekuensi jangka panjang yang harus direncanakan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan hanya soal masa depan si anak namun pastinya kemampuan orang tua bukan?

Gambaran soal tabu itu seperti berikut ini juga. Saya mendapatkan cerita dari teman senior, fasilitator berpengalaman di isu perempuan dan seksualitas.

Pada setiap forum pelatihan yang ia fasilitasi, pertanyaan yang sering diajukan adalah apa itu orgasme? Dan itu selalu datang dari perempuan dewasa, menikah sekian tahun dan memiliki beberapa anak.

Sepertinya, seks/seksualitas hanya dilihat sebagai sebuah kewajiban. Bukan kesenangan yang dinikmati dan membuat bahagia berdua bukan salah satu pihak saja. Banyak hal lain yang serupa ini. Kita bisa diskusikan pada tulisan yang berbeda.

Dampak dari pekerjaan rumah untuk urusan kesehatan seksual dan reproduksi tidak sederhana. Lihat, paling tidak dua fakta berikut ini:

Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tinggi, bahkan di ASEAN
Menurut survey penduduk antar sensus (SUPAS) 2015, angka kematian ibu melahirkan 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini tertinggi kedua di ASEAN. Sembilan kali lebih besar dari Malaysia, lima kali dari Vietnam dan hampir dua kali dari Kamboja. Informasi lebih lengkap bisa dibaca di sini. 

Penyebab kematian ibu melahirkan diantaranya karena komplikasi persalinan yang tidak ditangani dengan baik dan tepat waktu. Disebutkan 75 persen disebabkan oleh pendarahan parah terutama setelah persalinan; infeksi; tekanan darah tinggi saat kehamilan (pre eclampsia/eclampsia); partus yang lama atau macet dan aborsi yang tidak aman.

Tingginya angka perkawinan anak
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 perkawinan anak berjumlah 1,2 juta kejadian.

Proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun adalah 11,21 persen dari jumlah toral anak. Ini berarti 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun