Menjelang 2019 berakhir, saya ingin merekomendasikan Anda menonton video YouTube yang mengangkat profil tentang Merlyn Sopjan, seorang transgender (waria) dan pejuang hak-hak kesetaraan yang berjudul "Perempuan tanpa Vagina".Â
Video yang hanya berdurasi 17 menit-an lebih ini akan memberikan perspektif yang berbeda tentang menjadi diri sendiri, menjadi transgender.
Video ini menurut saya sangat penting untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pemerintah yang mencantumkan persyaratan diskriminatif dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) baru-baru ini.
Persyaratan mencantumkan tentang tidak memiliki 'kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)' yang secara eksplisit disebutkan pada Kementrian Perdagangan dan Kejaksaan Agung.Â
Mereka bahkan mengatakan akan melibatkan tim medis dan psikologis untuk mendeteksi para pelamar ini. Saya jadi ingin tahu juga standar atau ukuran apa yang digunakan. Landasan pelarangan adalah karena tidak sesuai dengan norma agama. Baiklah, saya sudah cukup paham dalam perspektif ini.
Organisasi Kesehatan Dunia/world health organization (WHO) melalui International statistical classification of diseases and related health problems (ICD)-11, sebuah standar dan buku panduan diagnosa untuk epidemiologi, manajemen kesehatan dan praktek klinis, tidak lagi menyebutkan transgender sebagai "mental and behavioural disorders/kelainan mental dan perilaku" namun masuk dalam kategori "gender inconqruence/ketidaksesuaian gender".
Penting digarisbawahi di sini transgender bukan perilaku menyimpang. Standar ini disusun berdasarkan berbagai studi klinis dan ilmiah. Panduan ini diterbitkan pada 18 Juni 2018 dan telah disepakati oleh negara-negara anggota WHO pada 25 Mei 2019. Dan Indonesia adalah salah satu negara anggota WHO.
Penelitian dari Lancet memperkirakan terdapat 25 juta orang atau 0.3 sampai 0.5 persen dari penduduk di seluruh dunia adalah transgender. Dan mereka hidup dan ada di sekitar kita, seperti halnya Mbak Merlyn. Terkadang mereka ini, adanya seperti tidak adanya karena perlakuan diskriminatif, stigma yang mereka terima.
Umumnya dianggap sebagai menyalahi kodrat Tuhan, pengganggu, penjaja seks jalanan, sumber penyakit, dst. Jangankan bicara tentang kesempatan pekerjaan yang sama, mendapatkan identitas dan layanan publik yang layak sebagian besar mereka sangat kesulitan. Â
Studi tentang seksualitas dan reproduksi berkembang untuk mempelajari dan mendefinisikan tentang gender identitas, jenis kelamin dan ekspresinya.
Umumnya pengetahuan yang kita pahami tentang jenis kelamin berdasarkan alat kelamin/genital itu hanya pada oposisi biner yaitu laki-laki atau perempuan.Â