Realitanya, gelar dari universitas bergengsi tidak otomatis menjamin pekerjaan. Dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar ijazah yakni ada keterampilan yang jarang disentuh di ruang kuliah: komunikasi, manajemen emosi, berpikir kritis, hingga adaptasi terhadap teknologi digital.Â
Ekspektasi Sosial dan Luka Setelah Wisuda
Di sisi lain, tekanan datang bukan hanya dari dunia kerja, tapi juga dari ekspektasi sosial.
Bagi sebagian orang tua, anak yang diterima di universitas ternama mungkin dianggap sudah "menang" dalam hidup. Namun perjalanan sebenarnya baru dimulai.Â
Tidak sedikit alumni yang akhirnya merasa malu membicarakan status mereka setelah lulus.
"Kalau teman-teman sudah kerja, sedangkan aku masih kirim lamaran, rasanya seperti kalah," ujar seorang teman saya, sesama alumni universitas besar, yang hingga kini masih berjuang mencari pekerjaan tetap.
Kegagalan bukan karena malas, tapi karena sistem yang belum siap menampung semangat muda yang mereka bawa.
Gap Antara Ekspektasi dan Kenyataan
Narasi "kampus top = sukses otomatis" sepertinya sudah usang. Kisah Andini mencerminkan bahwa nama kampus saja tidak cukup:
"Jangankan dapat kerja, email lamaran kerja dibalas saja tidak."
Harapan orang tua dan masyarakat akan lulusan universitas ternama sering terlalu tinggi bahkan sebelum wisuda. Ketika realita menunjukkan bahwa lulusan butuh waktu berbulan-bulan mencari pekerjaan dan menerima penolakan, muncul perasaan gagal.Â
Menutup dengan Harapan
Ranking bisa naik setiap tahun, tapi kesejahteraan alumni seharusnya ikut naik juga.
Di luar angka-angka dan prestasi internasional, ada wajah-wajah muda yang sedang berjuang --- yang dulu percaya bahwa pendidikan tinggi adalah tiket menuju masa depan.
Pada akhirnya, kebanggaan universitas tidak diukur dari posisinya di peringkat dunia, melainkan dari bagaimana alumninya berdiri di dunia nyata: tangguh, berdaya, dan tidak merasa ditinggalkan.