Belakangan ini istilah self love jadi istilah baru yang sering muncul di media sosial. Saat scroliing aku jadi ingat sering melihat unggahan dengan caption "I deserve this" atau "hadiah kecil untuk diri sendiri" ketika seseorang membeli skincare baru, liburan ke Bali, atau sekadar ngopi di coffee shop hits. Fenomena ini sebenarnya terkadang bikin bertanya-tanya, apakah itu benar bentuk cinta pada diri sendiri, atau hanya gaya hidup konsumtif yang dibungkus rapi dengan istilah keren bernama self love?
Secara psikologis, self love berarti sikap menerima diri apa adanya, merawat kesehatan fisik dan mental, serta memberi penghargaan pada diri sendiri. Konsep ini penting karena tanpa mencintai diri, seseorang bisa mudah terjebak dalam stres, rendah diri, bahkan depresi. Bentuk self love sejatinya sederhana yakni tidur cukup, makan sehat, olahraga, menetapkan batasan, dan menjaga hubungan sosial yang sehat.
Namun dalam budaya populer, makna self love sering melebar. Ia tak lagi sekadar menjaga kesehatan mental, melainkan identik dengan aktivitas konsumtif yakni belanja barang branded, staycation di hotel mewah, hingga membeli produk skincare berlapis-lapis. Akhirnya muncul pertanyaan, apakah self love sudah bergeser menjadi alasan untuk mengonsumsi lebih banyak?
Dua Wajah Self Love
Ada dua sisi dalam praktik self love yang berkembang saat ini:
Self Love yang Sehat
Bentuk ini fokus pada perawatan diri yang realistis. Misalnya rutin berolahraga, meditasi, journaling, atau sekadar istirahat tanpa merasa bersalah. Aktivitas ini memang tidak selalu terlihat "wah", tapi manfaatnya nyata untuk kesehatan jangka panjang.Self Love yang Konsumtif
Di sisi lain, self love kerap dijadikan dalih untuk belanja impulsif. Misalnya membeli sepatu baru padahal masih banyak koleksi lama, atau memesan liburan mahal dengan alasan "butuh healing". Mungkin jika dilakukan berlebihan, perilaku ini bisa menjerumuskan ke masalah finansial baru. Alih-alih menyembuhkan, justru menambah stres.
Fenomena di Indonesia
Di Indonesia, tren self love banyak terlihat di kalangan anak muda, terutama generasi milenial dan Gen Z. Survei ZAP Beauty Index 2024 bahkan menunjukkan bahwa Gen Z cenderung lebih impulsif dalam membeli produk skincare dibanding generasi lain. Artinya, istilah self love sering kali jadi pembenaran untuk perilaku konsumtif.
Tidak ada yang salah dengan membeli produk untuk merawat diri. Namun masalahnya, sebagian orang mulai percaya bahwa self love harus selalu berwujud materi atau pengalaman mahal. Healing pun identik dengan nongkrong di coffee shop, belanja online, atau traveling jauh. Padahal, esensi self love seharusnya lebih dalam dari itu.
Self Love Tak Harus Mahal
Mencintai diri tidak harus menguras dompet. Ada banyak cara sederhana yang bisa dilakukan tanpa biaya besar. Misalnya meluangkan waktu untuk membaca buku, jalan kaki pagi di taman, menulis jurnal perasaan, atau sekadar mematikan ponsel sejenak agar pikiran lebih tenang. Semua itu juga bentuk self love, hanya saja tidak selalu menarik untuk diunggah di media sosial.
Terkadang media sosial sering membuat terjebak dalam budaya perbandingan. Saat melihat orang lain memamerkan gaya hidup konsumtif dengan label self love, kita pun merasa perlu melakukan hal yang sama agar tidak ketinggalan. Dari sinilah muncul ilusi bahwa self love harus selalu tampak glamor.
Pada akhirnya, self love adalah soal keseimbangan. Merawat diri dengan skincare boleh, liburan juga sah-sah saja. Tapi yang terpenting adalah kesadaran: apakah kita melakukannya benar-benar untuk kebutuhan diri, atau hanya sekadar mengikuti tren dan tekanan sosial?
Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, "Apakah ini benar-benar membuatku bahagia, atau hanya memuaskan ego sesaat?" Jawaban jujur dari pertanyaan itu akan menentukan apakah self love kita sehat, atau sekadar konsumtif.
Penutup
Self love seharusnya membuat kita lebih tenang, lebih sehat, dan lebih menghargai diri. Ia tidak harus selalu mahal, tidak harus selalu ditunjukkan ke publik. Kadang justru bentuk self love paling tulus adalah yang paling sederhana: istirahat cukup, mengatur batasan, dan berdamai dengan diri sendiri.
Jadi, ketika mendengar kata self love, jangan buru-buru mengasosiasikannya dengan belanja atau liburan. Karena mencintai diri bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita beli, melainkan seberapa mampu kita menjaga diri tetap waras di tengah tuntutan hidup yang semakin kompleks.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI