Libur lebaran, seperti kebanyakan warga Jakarta, aku juga punya agenda yaitu iburan ke Ragunan. Kalau sudah musim libur panjang, apalagi setelah Lebaran, kebun binatang yang satu ini hampir pasti jadi tempat wisata paling ramai. Antriannya bisa bikin orang yang awalnya semangat jadi tiba-tiba merasa ikut masuk kandang.. hehe.. bedanya, ini kandang manusia.
Aku pun jadi salah satu di antara ribuan orang itu. Tujuannya sederhana yakni ngajak putriku jalan-jalan, kasih pengalaman melihat hewan-hewan yang selama ini hanya dia kenal lewat buku cerita dan film animasi. Dan ternyata, dari sekian banyak koleksi satwa di Ragunan, ada satu yang bikin matanya langsung tertuju yaitu gajah.
“Ma, gede banget ya! Tapi kok telinganya kayak kipas AC?” katanya sambil ngakak. Aku pun ikutan tertawa, meski dalam hati berpikir ya karena telinga gajahnya maju mundur iya juga sih, mungkin kalau gajah bisa ngomong, dia bakal tersinggung dibandingin sama AC.
Melihat gajah dari dekat, dengan tubuh besar, telinga lebar, dan belalai yang selalu bergerak aktif, memang selalu jadi daya tarik tersendiri. Tapi di balik rasa kagum itu, tiba-tiba ada rasa yang muncul. Kalau gajah di Ragunan bisa hidup tenang dengan makanan terjamin, bagaimana dengan gajah di alam liar?
Gajah di Alam Liar: Kisah yang Berbeda
Fakta berkata lain. Gajah Sumatera, salah satu satwa karismatik Indonesia, kini justru menghadapi ancaman besar. Menurut data WWF Indonesia (2023), jumlah gajah Sumatera hanya tersisa sekitar 1.600 ekor. Bandingkan dengan beberapa dekade lalu, ketika jumlahnya masih ribuan lebih banyak.
Sayangnya, angka itu semakin menurun. Laporan terbaru kutipan dari kompas.com menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan RI dan mitra konservasi pada Agustus 2025 mencatat hanya sekitar 1.100 ekor gajah Sumatera yang tersisa di 22 lanskap di Pulau Sumatera. Penurunan populasi yang begitu tajam ini membuat International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan gajah sumatera sebagai spesies critically endangered atau terancam punah kritis. Fakta ini jelas menyadarkan kita bahwa keberlangsungan hidup gajah di alam liar sedang benar-benar berada di ujung tanduk.
Gajah dikenal sebagai hewan dengan daya jelajah luas. Mereka membutuhkan hutan rimba lebat sebagai ruang hidup untuk mencari makan, air, dan mineral penting. Namun, ketika hutan-hutan itu berubah menjadi kebun sawit, tambang, atau pemukiman, gajah terpaksa menjadi “tamu tak diundang” di ladang manusia. Hasilnya sering tragis: tanaman rusak, manusia rugi, dan gajah pun dianggap musuh.
Konflik semacam ini sudah lama menghantui Sumatera. Tidak sedikit berita tentang kawanan gajah yang masuk kampung, merusak kebun, bahkan menyebabkan korban jiwa. Sebaliknya, gajah pun sering menjadi korban perburuan, dipasangi jerat, atau bahkan diracun karena dianggap pengganggu. Padahal, sejatinya mereka hanyalah satwa yang berusaha bertahan hidup di tengah ruang yang semakin sempit.
Belajar Hidup Berdampingan