Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Gerakan Pendidikan Semesta dari Sebuah SD Pedesaan di Era 90-an

29 Mei 2016   22:22 Diperbarui: 30 Mei 2016   09:33 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Masa Kecil (dokumentasi pribadi)

Kalau ditanya fase pendidikan mana yang paling berpengaruh selama sekolah? Saya akan menjawab saat sekolah dasar (SD). Ada berbagai pembelajaran menarik dan tidak terlupakan yang saya dapatkan sewaktu SD. Dimulai dari serunya mengenal wilayah Indonesia dari berjalan-jalan di atas kolam, belajar mengeja huruf dengan cara beda namun tetap menyenangkan, serunya bermain  ABCD hingga belajar bersama tokoh textbook baik hati bernama Budi. Tak sabar rasanya ingin segera berbagi cerita ini!


Saat masih kecil, saya dan mungkin jutaan anak lainnya umumnya akan belajar berbicara terlebih dahulu. Umumnya anak akan mulai dikenalkan pada sosok-sosok terdekat seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anggota keluarga lainnya hingga para tetangga. Baru setelah masuk SD akan diajari mengenal huruf dari A sampai Z. Saya termasuk beruntung dapat masuk SD tersebut. Konon katanya, SD tersebut merupakan SD terbaik di kampung saya.

Setidaknya beberapa parameter yang masih saya ingat tentang sekolah saya waktu itu. Pertama, dilihat dari syarat masuknya dulu ya. Di sekolah sata tidak menerapkan aturan bahwa calon siswa harus sudah bisa membaca. Saya lupa bagaimana kronologinya, namun ibuk saya masih ingat. Mungkin usai ujian masuk SD saya langsung bercerita kepada ibu saya sehingga ibu masih mengingatnya. Namun selain saya, adik dan sepupu saya juga masuk di sekolah yang sama. Momen berulang inilah yang mungkin membuat memori tentang ujian masuk SD masih lekat di ingatan ibu.

Jadi tes masuk di SD kala itu bukan hanya sesi tanya jawab biasa, mulai dari nama, tempat tinggalnya dimana dan pertanyaan sederhana seputar kehidupan sehari-hari lainnya. Selain itu calon siswa hanya diminta untuk menyanyikan sebuah lagu yang disukai. Mungkin cara ini untuk mengetes seberapa besar tingkat kepercayaan diri dari calon siswa. Entah kalau ujian masuk SD saat ini. 

Oiya, saat itu SD saya termasuk SD yang toleran. Dulu SD saya tidak membatasi suatu agama tertentu untuk menjadi anak didiknya. Jadi sejak SD saya memiliki teman yang tidak satu keyakinan dengan saya. Hal ini tidak menjadi masalah di keluarga ataupun pada pribadi saya sendiri. Sayangnya hal ini pernah menjadi bahan olokan di dari teman-teman saya yang bersekolah di tempat lain. Untungnya saya tipe orang yang cuek. Saya tidak pernah memperdulikan hal yang saya anggap tidak penting, dalam hal ini ya perihal perbedaan keyakinan antara saya dan kawan-saya. Termasuk ketika saya diejek karena memiliki rambut keriting. Jenis rambut yang cukup berbeda dengan teman-teman saya. Tidak jarang saya mendengar soundtrack iklan salah satu mie instan ketika saya sedang lewat di depan sebagian teman. Namun bagi saya hal itu juga bukan menjadi perkara yang besar. Toh waktu itu saya pede-pede saja. Konon kepercayaan diri saya mulai tumbuh usai diikutkan kegiatan PAUD oleh ibu. Intinya usai diikutkan PAUD, saya jadi lebih terampil dan lebih berani. Saat itu saya diikutkan PAUD di usia tiga tahun.

Rasa-rasanya nasionalisme saya mulai tumbuh sejak SD tidak lain karena berbagai hal yang ditemui di sekolah. Selain memiliki teman yang berbeda keyakinan, ternyata fasilitas kolam yang berada di halaman sekolah secara tidak langsung menjelma menjadi media yang baik untuk mengenalkan Indonesia. Saya masih ingat betul dengan keberadaan kolam itu. Kolam di depan kelas saya tersebut berisikan berbagai pulau di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Papua. Seringkali kami bersenda gurau dengan berceletuk, "Aku mau ke Papua dulu aaaaah". Kemudian yang lain menimpali, "Kalau aku mau ke Kalimantan saja". Celetukan itu kerap saya ucapkan bersama dengan teman sepermainan saya lainnya. Siapa yang datang duluan bisa berjalan-jalan di atas pulau yang terdapat di kolam. Begitu seterusnya.

Kami senang sekali berjalan-jalan di atas miniatur pulau tersebut. Saking hafalnya, rasa-rasanya beberapa nama propinsi sudah hafal diluar kepala. Meski sederhana namun kami tidak pernah jenuh dengan permainan yang satu ini. Dan ternyata fasilitas kolam kepulauan ini tidak hanya terdapat di sekolah saya saja. Merujuk dari keterangan ibu, sekolah tetangga juga memiliki fasilitas yang sama. Menarik bukan?

Kedua, metode pembelajaran bapak dan ibu guru terbilang inovatif, setidaknya didekade 90-an. Tahun 1993 adalah tahun pertama saya masuk sekolah dasar. Waduh ketahuan umurnya ya?

Saat itu belajar membaca dahulu, saya ditemani buku pelajaran membaca “Ini Ibu Budi” karangan almarhum Siti Rahmani Rauf. Saat itu umumnya orang belajar membaca Budi dengan pelafalan be-u-de-i. Namun tidak demikian dengan guru Bahasa Indonesia saya. Bu Tumirah namanya. Waktu itu Bu Tum mengajari kami dengan lafal a, b, c, d dengan eh, beh, ceh, deh dan seterusnya sehingga cara membaca budi bukan be-u-de-i: budi melainkan dengan beh-u: bu, deh-i: di, budi. Meski terkesan sedikit lebih ribet namun bagi saya melafalkan eh, beh, ceh, deh terkesan jauh lebih mudah dan menyenangkan jika dibandingkan dengan cara membaca pada umumnya.

Selain itu ada suatu kuis yang selalu diadakan oleh salah seorang guru saya. Namanya Pak Sumidi. Kami menyebutnya ABCD. Jadi ABCD ini sejatinya merupakan sebutan untuk kelompok yang berpartisipasi dalam kuis tersebut. Dulu satu ruangan kelas digunakan untuk belajar sekitar 40 anak. Dalam satu kelas tersebut terdapat 4 lajur (kolom) meja. Nantinya satu lajur meja dinamakan kelompok A, sebelahnya kelompok B, begitu seterusnya hingga kelompok terakhir yaitu kelompok D. Kegiatan ABCD ini kerap dilakukan di sela-sela pelajaran ataupun pada jam kosong usai ujian. Menariknya, bukan pak guru yang akhirnya menawarkan kuis ini. Namun kamilah yang meminta. Tak ayal acara ABCD pun menjadi salah satu ajang unjuk pengetahuan sekaligus memupuk sportifitas antar siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun