Mohon tunggu...
Lipul El Pupaka
Lipul El Pupaka Mohon Tunggu... sedang mengetik...

ini bio belum diisi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konservasi yang Menghukum: Tarik Ulur Antara Perlindungan Ekosistem dan Hak Masyarakat Adat dalam UU 32/2024

17 Juli 2025   14:55 Diperbarui: 17 Juli 2025   14:55 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis kontroversi UU Konservasi Baru (Sumber: Doc milik penulis/Lipul/AI)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) -- saat ini dipisah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan -- sebagai pemegang otoritas konservasi pun tampak abai dalam menyusun regulasi turunan yang memastikan hak masyarakat adat tetap terlindungi. Proses pembentukan UU ini berjalan terburu-buru, minim partisipasi publik, dan tertutup dari dialog dengan kelompok terdampak (AMAN, 2025).

Akibatnya, masyarakat adat di berbagai daerah---seperti di Sabu Raijua, Manggarai Timur, hingga Halmahera---menghadapi risiko kriminalisasi hanya karena mempertahankan pola hidup tradisional mereka (Mongabay, 2025). Hal ini bukan hanya memunculkan konflik horizontal, tetapi juga merusak ekosistem sosial yang selama ini menjadi benteng terakhir konservasi.

Ketuk palu kebijakan sesuai dengan orderan (Sumber: ilustrasi miliki penulis/Lipul/AI)
Ketuk palu kebijakan sesuai dengan orderan (Sumber: ilustrasi miliki penulis/Lipul/AI)

Dampak Ekologis dan Sosial: Konservasi yang Kontra-produktif

Jika dibiarkan, UU ini akan mendorong konservasi menjadi kegiatan eksklusif yang dikuasai oleh negara dan korporasi. Padahal, data menunjukkan bahwa wilayah adat justru lebih efektif menjaga hutan dan keanekaragaman hayati dibanding kawasan konservasi yang sepenuhnya dikelola pemerintah (WALHI, 2023).

Dengan meminggirkan masyarakat adat, negara justru membuka ruang bagi eksploitasi terselubung yang kerap dibungkus dengan dalih "ekowisata" atau "jasa lingkungan". Akibatnya, konservasi menjadi proyek elitis yang abai terhadap ekologi sosial, memicu deforestasi terselubung, hingga mengancam hilangnya pengetahuan lokal tentang pengelolaan ekosistem.

Menuju Konservasi Berkeadilan: Solusi yang Harus Diambil

Kritik tanpa solusi adalah sebuah pesimisme. Untuk keluar dari lingkaran setan ini, beberapa solusi konkret yang ditawarkan dapat menjadi prioritas untuk memperbaiki tata kelola konservasi di Indonesia:

  1. Revisi dan Perbaikan UU 32/2024 dengan Partisipasi Publik Sejati
    Pemerintah dan DPR harus membuka kembali ruang dialog yang transparan dan inklusif, dengan melibatkan masyarakat adat, akademisi, dan organisasi lingkungan. Revisi UU 32/2024 perlu menghapus pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat dan memastikan pengakuan atas hak-hak mereka di kawasan konservasi. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi memiliki kesempatan penting untuk menegaskan perannya sebagai penjaga konstitusi. Jika MK mengabulkan uji formil, itu akan menjadi pesan tegas bahwa legislasi yang mengabaikan partisipasi publik tidak bisa dibenarkan. MK dapat memerintahkan penghentian implementasi UU ini dan mewajibkan proses legislasi ulang yang lebih adil dan partisipatif.
  2. Penguatan Skema Konservasi Berbasis Komunitas
    Pemerintah harus mendorong model Community-Based Conservation dengan memberikan legalitas penuh kepada masyarakat adat sebagai pengelola konservasi. Hal ini bisa dilakukan melalui percepatan pengakuan hutan adat dan penetapan wilayah kelola masyarakat.
  3. Penegakan Hukum Lingkungan yang Progresif dan Berkeadilan
    Aparat penegak hukum perlu diberikan pemahaman tentang hukum lingkungan dan hak masyarakat adat. Pelatihan khusus bagi polisi, jaksa, dan hakim tentang ecological justice sangat penting agar hukum tidak lagi menjadi alat kriminalisasi warga.

Panggilan untuk Bertindak

Kasus uji formil UU KSDAHE ini lebih dari sekadar sengketa hukum di menara gading. Ini adalah pertaruhan nasib ekosistem dan keadilan sosial di Indonesia. Membiarkan sebuah produk hukum yang cacat prosedur tetap berlaku sama saja dengan menyerahkan kunci brankas kekayaan alam kita kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, mengawal proses di Mahkamah Konstitusi adalah kewajiban kita bersama. Ini adalah momentum untuk menuntut negara agar kembali ke khitahnya: melayani publik dan menjaga amanat konstitusi. Ini adalah pertaruhan untuk memastikan bahwa kata "konservasi" tidak menjadi sinonim dari perampasan ruang hidup rakyat.

Infografis kontroversi UU Konservasi Baru (Sumber: Doc milik penulis/Lipul/AI)
Infografis kontroversi UU Konservasi Baru (Sumber: Doc milik penulis/Lipul/AI)

*Penulis: Lipul, mahasiswa Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam di Universitas Al-Azhar Indonesia

**Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun