Mohon tunggu...
Lion Star
Lion Star Mohon Tunggu... Buruh - Undergrad student

Hidup adalah proses belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen ǀ Bubarnya Negeri Kami

22 Maret 2018   04:05 Diperbarui: 22 Maret 2018   04:16 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock.com

Cak Hiu termenung lagi di dermaga. Entah sudah berapa tahun ini dia selalu termenung.  Tumpukan ikan segar banyak di perahu kecilnya,  tetapi tidak ada orang yang mau membeli ikan di pelelangan. 

Cak Hiu tidak sendirian, para pengepul yang  beberapa tahun lalu banyak berkumpul dan berebut ikan ketika perahu mendarat, saat ini kini bisa dihitung dengan jari.  Cak Hiu tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi, mengapa penduduk kota tidak lagi mau makan ikan.  Mak Icih sang pengepul yang masih tersisa hanya pernah bercerita,  ada berita kalau makan yang yang bersisik bisa menimbulkan penyakit benjolan tidak tersembuhkan.  

Berita itu menjadi viral, karena satu penduduk yang mendengar cerita itu,  saat bertemu kawannya, langsung bercerita dengan semangat menggebu, seolah memberitakan kabar baik.  Cak Hiu tambah bingung, sejak jaman kakeknya mengajarkan dia berlayar dan menjadi nelayan,  semua ikan memiliki sisik, dan tidak pernah makan ikan menyebabkan penyakit. 

Bila hari ini tidak laku ikannya, Cak Hiu terpaksa harus menjual perahunya,  sudah banyak dia berhutang beras ke warung,  dan tidak mampu lagi dia membeli bahan kebutuhan untuk berlayar. Apa mau dikata,  terbayang sudah profesi nelayan akan  bubar di negeri ini.

Kang Endog sedang menanti si Kabayan yang biasa menjadi sopir untuk memasarkan telur-telur dari peternakannya. Sebagai juragan di desa, Kang Endog terkenal sebagai juragan telur ayam dan bebek yang sukses.  Banyak rumah makan dan penjual pasar tradisional yang mengambil langsung dari peternakannya, karena kualitas yang prima dan harganya yang merakyat.  

Ambillah keuntungan yang wajar, demikian ejangan dari kakek buyutnya yang selalu diingatkan turun temurun.  Sore menjelang, wajah Kang Endog terlihat gelisah, walau mencoba untuk tenang sambil menikmati teh di beranda.  Jelang sangkalala terbenam, terlihat gerobak si Kabayan memasuki halaman.  

Terlihat tumpukan telor masih menumpuk.   "Kang,  tidak ada yang mau mengambil telor hari ini, walaupun sudah ditawarkan harga produksi saja",  lapor si Kabayan.  Tersenyum pahit, kang Endog yang tinggal di desa tidak mengerti mengapa sudah setahun lebih ini penjualan telor menjadi sangat sulit.  

Harga turun karena peternakan lain pun siap menjual rugi, daripada produksi tidak laku dan membusuk, sedangkan pekerja dan unggas perlu biaya pemeliharaan. Dia mendengar dari tetangganya yang dua minggu lalu pulang kampung,  bahwa makan telor bisa menyebabkan tidak subur, dengan ciri telor yang memiliki warna kuning, yang menyebabkan masalah kesuburan.  

Masyarakat langsung percaya, dan berita mulut-ke-mulut, mewabah tanpa dapat dikendalikan ke seluruh penjuru kota.  Tambah tidak mengerti lagi Kang Endog, sejak era Sang Eyang masih hidup,  telor dari semua peternakan selalu memiliki putih dan kuning telor, tetapi mengapa kini menjadi masalah. Bila minggu ini tidak laku juga, maka telor akan membusuk dan terpaksa harus dimusnahkan. Itu prinsip yang diajarkan turun temurun, jangan menjual telor yang tidak layak.   

Terbayang pula rencana untuk menutup peternakannya, karena modal dalam setahun ini sudah hampir habis untuk ongkos produksi dan menopang hidup karyawannya.   Peternakan dari kampung sebelah sudah tutup dua bulan lalu, , apa mau dikata, kini gilirannya untuk bubar sudah di ambang mata.

Di perkebunan yang asri di kaki gunung,  Mang Salak sedang gembira melihat hasil panenan kali ini.   Tapi ketika melihat tumpukan buah-buahan yang sudah dibungkus rapi dan menumpuk di gudang, matanya menerawang jauh.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun