Mohon tunggu...
Lion Andro
Lion Andro Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa/pelajar

Menjadi Mahasiswa di salah satu Universitas Negeri di Kota Malang.Menjadi pelajar adalah hal terindah yang saya alami, Terima kasih kepada seluruh masyarakat Indonesia atas bantuan dana,mengingat sekolah negeri adalah subsidi pemerintah dari pajak yang diperoleh dari masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Budaya Konflik yang Elegan Asli Nusantara

3 Oktober 2020   19:32 Diperbarui: 3 Oktober 2020   22:24 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mulai dari zaman kekhalifahan, bisa dilihat bahwa sejarah mencatat hampir selalu ada pertumpahan darah besar besaran ketika ada pergantian kekuasaan. Entah itu dari sistem monarki ke sistem diktator, dari sistem diktator ke sistem pemerintahan junta militer semuanya hampir ditulis sejarah dengan adanya pertumpahan darah besar besaran. Itu baru dilihat dari pergolakan yang di latar belakangi oleh ketidak puasan sistem pemerintahan. 

Belum lagi pergolakan yag hadir karena adanya kepercayaan baru yang cenderung ingin keluar dari pemahaman sebelumnya. Dari munculnya aliran Syi'ah, mu'tazilah, serta tarekat tarekat lain. Maka kemunhkinan besar adanya suatu tragedi di suatu wilayah dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka.

Lalu bagaimana budaya konflik yang diwariskan oleh nenek moyang nusantara kepada anak cucunya? Bisa dikatakan budaya konflik peninggalan nenek moyang merupakan salah satu budaya yang indah nan elegan. Semenjak era kerajaan konflik perebtan kekuasaan yang terjadi di nusantara cenderung ingin meminimalkan pertumpahan darah. Mungkin bisa dikatakan kalau pertumpahan darah antar saudara yang terjadi di nusantara terakhir terjadi di zaman Majapahit dengan nama Parengreg. Setelah Majaphit melemah perlahan budaya perang ditinggalkan dan tergantikan oleh budaya diplomasi budaya,politik maupun Agama. Dan ini juga ditandai oleh islamisasi besar besaran di Nusantara.

Walaupun sempat terjadi perang antara pewaris tahta kerajaan Demak, budaya perang hampir tidak penah terjadi lagi. Baru setelah itu perang besar besaran terjadi secara meluas di seluruh pelosok nusantara atas kehadiran negeri kolonial dari Eropa. Perang antar kerajaan yang terjadi ketika itu umum diketahui karena adanya campur tangan negara kolonial yang mengadudomba pihak kerajaan. Memasuki abad ke 17 hampir seluruh nusantara sudah dikuasai oleh penjajah.

Memasuki abad ke sembilan belas, baru terjadi pergerakan untuk bebas dari penjajahan. Tentunya pergerakan yang dilakukan disini dengan cara sistematis dan halus. Tidak ada unsur perang yang digembor gemborkan dalam pergerakan ini. Setelah merdeka sebagai bangsa Indonesia, tidak bisa dikatakan kalau indonesia bebas dari kata perang. Tetapi juga harus di garis bawahi kalau pemerintahan yang ada tidak ingin rakyat tumpah ruah dalam agenda perang saudara yang ingin disuarakan pihak pemberontak. 

Nampaknya sudah menjadi adat yang mendarah daging ketika ada konflik yang mendesak sebuah pemerintahan mundur sebagian besar rakyat tidak ingin perang dengan saudara sendiri. Begitu juga dengan pemerintah, yang ketika ada kritik dari pihak yang tidak puas mereka tak serta merta menumpas habis para pembangkang sampai anak cucunya. 

Diplomasi tetap menjadi pilihan utama. Inipun juga dilihat dari sejarah agresi milliter oleh pihak kolonial. Pemerintah mengirimkan wakil wakil nya yang jago dalam berdiplomasi dengan tujuan meminimalisir pertumpahan darah yang sewaktu waktu bisa terjadi. Aroma pergolakan berbau perang saudara dengan dalih perebutan kekuasaan terus terjadi ketika era presiden pertama. Sebut saja PKI madiun, DI/TII, dan yang paling membekas hingga sekarang adalah G 30 S PKI. Begitu juga pada era presiden kedua yang pernah melakukan operasi Seroja di Tmor Timur.

Pemerintahan era presiden pertama memang tidak bisa dikatakan pemerintahan zero blood begitu juga pemerintahan era presiden kedua. Begitu juga presiden presiden yang selanjutnya. Namun sekali lagi mari kita bandingkan dan kita renungkan mengenai arah dan jalan konflik yang terbentuk di Indonesia pasca merdeka. 

Apakah setiap ada pihak yang berusaha mengguncang pemerintahan selalu ada tindakan militer? Dan yang paling penting meskipun terjadi kontak senjata apakah serat merta menimbulkan goncangan di masyarakat sehingga pecah dan timbul mobilisasi masyarakat untuk satu suara mengumumkan perang kepada pemerintahan yang ada? Tentu saya katakan tidak. 

Peristiwa apa yang dari presiden pertama hingga sekarang bisa menimbulkan konflik kontak senjata dengan animo masyarakat yang satu padu mengumumkan perang kepada masyarakat? Sejauh pemahaman saya tidak pernah terjadi. Kalaupun terjadi peristiwa besar besar an yang melengserkan kediktatoran Presiden Soeharto pun tidak sampai menimbulkan korban jiwa sebanyak Timur tengah atau negara ASEAN lainnya seperti di Vietnam,Thailand, atau Myamar. 

Izinkan saya mengatakan bahwa Kedewasaan berkonflik yang dimilki oleh masyarakat Indonesia tidak dimiliki oleh negara lain. Utamanya saya pakai pembanding negara Timur Tengah karena mayoritas penduduknya yang sama dengan Kita bergama islam. Jelas sekali kalau negara kita lebih matang dalam mengahadapi konflik internal yang terjadi dibanding mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun