Mohon tunggu...
Inovasi

Jurnalisme Online: Jurnalisme Kelas Dua?

14 April 2016   20:52 Diperbarui: 15 April 2016   12:23 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Journalism is about people, not technology – bukan teknologi yang membuat jurnalisme menjadi tidak kredibel. Dimulai dari kita sebagai manusia. Dan bagaimana manusia yang bekerja pada sebuah ruang redaksi meramu informasi menjadi produk jurnalistik yang berkualitas dan berkelas pada jenis media manapun, baik itu online maupun konvensional.

Ada anggapan seperti ini, “Pers sebagai penjaga gerbang informasi, memutuskan informasi apa yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui oleh publik.” Kini anggapan itu banyak menuai perubahan. Dengan media online semua bisa terlihat secara jelas dan nyata. Gerbang informasi apapun terbuka lebar. Arah pers diseluruh negara di dunia inipun menuju kesana. Membuat segalanya menjadi mungkin untuk diakses. Namun, sudahkah hal tersebut berlandaskan etika jurnalistik yang ada? Sudahkah filosofi terdalam media massa yakni untuk membebaskan publik dari keterbodohan terjawab dengan hadirnya new media?

Kehidupan saat ini membawa banyak perubahan bagi manusia. Jelas perubahan membawa kita kearah yang lebih maju. Termasuk salah satunya yang kini berkembang pesat dan memiliki pengaruh besar ialah teknologi. Dihadapan dan digenggaman kita saat ini saja ialah hasil dari kemajuan teknologi itu sendiri. Seluler pintar dan komputer yang semakin canggih dengan aksesnya yang tersambung dengan internet. Hal tersebut ternyata mendorong dunia jurnalistik untuk masuk didalamnya.

Jurnalisme online berkembang seiring dengan perkembangan dan kehadiran new media atau segala jenis teknologi komunikasi digital dan sarana publikasi berbasis internet atau online. Kegiatannya serupa dengan bidang jurnalistik media konvensional. Meliputi kegiatan peliputan, penulisan, dan penyebarluasan berita melalui internet, situs web, atau media online. Karenanya berita yang diproduksi selalu update dan aktual (real time, running news), pembacanya dari seluruh dunia (global audience) selagi ada gadget atau komputer yang tersambung dengan internet, dan berita dapat disebarkan dan diakses dimana saja dan kapan saja.

Terlebih saat ini media telah memasuki era konvergensi. Ini menggambarkan adanya perubahan teknologi, industri, budaya, dan sosial yang datang bersama-sama dari industri yang sebelumnya terpisah (komputasi, dicetak, film, audio, dan sejenisnya) yang semakin menggunakan teknologi yang sama dan terkait dengan para pekerja yang terampil. Dalam praktiknya perusahaan dan penerbitan pers yang menerapkan konvergensi multimedia harus melahirkan dan melibatkan wartawan multitasking atau mampu melakukan berbagai jenis pekerjaan, multiplatform atau berperan serta di berbagai unit kerja, danmultichannel yaitu mendistribusikan produk melalui berbagai saluran.

Pernyataan diatas membuat publik yakin untuk mendapatkan informasi yang cepat, media online ialah solusinya. Namun saat ini publik dibuat melihat secara jelas fenomena yang terjadi pada media online, khususnya di Indonesia. Media online yang hanya dianggap sebagai penebar isu-isu sensasional, hanya untuk mengerjar ratting (walaupun ratting juga penting), dan mengejar keuntungan perusahaan semata tanpa mempedulikan apa yang sesungguhnya diinginkan publik dari sebuah informasi. Yang amat disayangkan ialah bahwa hal tersebut selama ini dianggap benar oleh pengelola media online. Tidak mengherankan jika media online tidak seperti media konvensional. Berita online kerap tidak dianggap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan kebijakan. Fenomena ini seakan-akan menempatkan berita online diizinkan dibuat tanpa mengindahkan kaidah kode etik jurnalistik. Rumor apapun bisa naik seketika tanpa dicek kebenarannya.


Tentu muncul sebuah pertanyaan apakah media online dapat menyajikan kesahihan informasi pada produk jurnalistik layaknya media konvensional? Apakah dengan mengejar kecepatan media online mengesampingkan etika jurnalistik yang harus dilakukan dalam setiap pekerjaanya?

Seperti kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalistik. Mereka sepakat bahwa esensi dari jurnalistik ialah verifikasi. Meski telah memasuki era digital,teknik yang digunakan pada setiap media tidak menutup kemungkinan akan menjadi berlainan atau bahkan sangat berlainan. Namun pada hakikatnya, prinsip yang menggarisbawahi tetap sama. Kebenaran mutlak harus ada dalam produk jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan publik akan sebuah informasi.

Sekarang kita tengok apa yang terjadi pada media online hingga akhirnya membuat stigma tidak mengenakkan ditengah masyarakat dan media online itu sendiri. Karena sifat dan prinsipnya mengejar kecepatan, terkadang keakuratannya perlu dipertanyakan. Contoh kasus seperti dikutip pada artikel remotivi, ada portal media online terkemuka di Indonesia yang memberitakan tentang terdamparnya imigran asal Rohingnya, Myanmar di Aceh Utara. Sebelum berita itu berkembang lebih luas, portal berita online tersebut mengemukakan data bahwa disana terdapat 120 orang yang terdampar. Otomatis dengan cepatnya, berita tersebut dikutip dan disebarluaskan oleh media online lainnya. Padahal konfirmasi dari pihak terkait masih belum ada kepastian. Beberapa jam setelah isu itu menyebar, tim evakuasi datang untuk mendata berapa banyak orang yang terdampar. Data yang diberikan kemudian sangat jauh perbandingannya dengan yang dituliskan oleh portal media online diatas. Sejumlah 660 orang terdiri atas pria, wanita, ibu hamil, dan anak-anak.

Dari sini terlihat bahwa kecepatan sekan merupakan segala-galanya. Perannya sangat berpengaruh atas kehidupan atau eksistensi media tersebut. Hal ini ada kaitannya dengan lalu lintas atau traffic visitors, atau kunjugan pembaca. Dari banyaknya kunjungan pembaca maka akan membuat para pengiklan kepincut untuk beriklan dimedia tersebut. Hasrat kecepatan media online tak ayal menimbulkan konflik tersendiri, yakni masalah pelanggaran kode etik jurnalistik. Hal ini tentu menyatakan bahwa media tidak dapat memenuhi harapan publik terhadap berita atau isu yang sedang hangat terjadi terjamin kebenarannya.

Setidaknya dari contoh kasus diatas portal media online manapun perlu bersabar untuk menguak kasus tersebut. Mungkin saat itu keadaannya media tersebut ingin menjadi yang terdepan mengabarkan, sehingga ia tidak kehilanggan publik yang akan menjadi pengikut setia. Akan lebih baik jika data yang belum pasti tidak disebut atau disebut dengan menyebut ‘ratusan’ jika memang terlihat sangat banyak, dan tidak memungkinkan kondisinya untuk menghitung saat itu juga.

Pikiran sederhananya seperti ini, masalah tersebut nampaknya akan membuat sebagian publik memilih untuk mempertahankan tradisi untuk membaca media konvensional. Publik akan lebih percaya dan terjamin karena media konvensional memiliki akurasi yang tidak main-main. Walaupun media konvensional tidak bisa lebih cepat dari media online. Namun tidak ada perbedaan yang begitu berarti pada dua jenis media ini. Mereka sama-sama memiliki ruang redaksi yang“menggodok” berita sebelum layak tayang. Jika media konvensional cenderung lebih akurat, hal itu dikarenakan media cetak tidak langsung naik cetak dan tersebar saat itu juga, saat sebuah peristiwa terjadi. Karena memiliki waktu yang cenderung panjang ketimbang media online, maka sah-sah saja jika media konvensional masih digemari.

Lain lagi masalah foto-foto yang tidak melalui proses sensor. Ketika anak dibawah umur menjadi korban pemerkosaan misalnya, dengan gamblang dan mudahnya media online menyajikan berita tersebut. Memang publik akan dibuat penasaran degan sensor yang dibuat, namun karena jurnalistik menuntut para pekerjanya memiliki hati nurani dan melindungi korban, seharusnya hal tersebut tidak dilakukan.

Belum selesai masalah foto. Terkadang foto-foto yang tampil dalam media online bukanlah foto yang sebenarnya menggambarkan peristiwa tersebut. Atau bisa juga foto tersebut menimbulkan propaganda dengan mengeditnya sedemikian rupa seolah-olah nampak terjadi suatu penindasan dan kekejian.

Cara yang dianggap tepat untuk dilakukan guna memastikan berita itu benar adanya ialah dengan mem-follow up berita  dengan mencatumkan hyperlink pada berita yang terkait. Sehingga dengan mudah publik dapat mengikiuti perkembangan dan perubahan yang terjadi atas sebuah peristiwa. Ini tentu merupakan bentuk ketaatan media online pada etika jurnalistik. Atau jika media melakukan kesalahan dalam menampilkan data, foto, dan hal-hal bombastis lain dengan mudah membuat surat permintaan maaf yang di publish pada media tersebut. Bukan hal yang salah memang. Alangkah baiknya hal tersebut kebiasaan media online yang demikian diteruskan. Karena besar kemungkinan, kesempatan untuk memajukan jurnalisme online di Indonesia menjadi semakin buruk karena menurunkan ini kepada generasi berikutnya. Pikiran baiknya ialah tetap berpikir bahwa generasi mendatang akan memperbaiki hal tersebut, tidak meniru, dan lain sebagainya. Ya kalau demikian? Kalau tidak? Sudah dipastikan jurnalisme online kedepannya menjadi tak terbayangkan.

 Berkaca pada standar yang ada, media online tetap harus menjaga standar akurasi dan keberimbangan berita yang tak lantas dikorbankan atas nama kecepatan. Tidak merugikan kan pikiran itu? Bahkan bila perlu, media online Indonesia mempraktikkan sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk meninggalkan kecepatan untuk mengecek setiap berita sebelum diunggah ke internet.

Tentu saja budaya cepat dan tidak melandaskan verifikasi ini tidak bisa dibiarkan. Karena dua hal berikut. Pertama, jurnalisme online ialah wilayah masa depan jurnalisme Indonesia diletakkan. Sama halnya dengan negara lain, jurnalisme Indonesia bergerak dengan kecepatan tinggi menuju jurnalisme online. Kedua, jurnalisme online justru menawarkan banyak kemungkinan yang tidak pernah tersedia sebelumnya. Ini diluar konteks kecepatan.

Era digital menyediakan peluang bagi jurnalisme online di Indonesia utnuk menyajikan laporan yang mendalam dengan memanfaatkan konvergensi media. Sehingga membuka peluang juga bagi wartawan untuk menembus ruang, format, waktu, dan arah berita. Dengan melibatkan interaktivitas viewers untuk mengoreksi sekaligus memperkaya produk jurnalistik.

Bagaimana dengan kriteria pekerja media yang akan dibutuhkan untuk berkontribusi memajukan jurnalisme online?

Munculnya internet dan masuknya jalur komunikasi kabel yang lebih maju, tidak merubah konsep penerapan berita yakni upaya untuk memutuskan apa yang diperlukan publik. Justru dengan adanya kemajuan teknologi malah membuat kebutuhan akan informasi semakin besar. Dengan demikian pada era ini dunia jurnalistik juga membutuhkan SDM yaitu para wartawan yang mumpuni untuk menjawab kebutuhan dan menyelesaikan masalah yang masih seirng terjadi dalam media online. Masalah verifikasi yang hingga saat ini selalu ada kasus yang tercatat di Dewan Pers. Ini merupakan salah satu cara agar etika jurnalistik harus diatas segala-galanya dalam seluruh jenis media.

Wartawan perlu kemampuan untuk melihat masalah atau berbagai persoalan yang terjadi dari berbagai macam perspektif dan kemampuan untuk sampai pada inti. Sehingga wartawan saat ini tidak perlu memutuskan apa yang seharusnya diketahui publik. Melainkan wartawan berkewajiban untuk membatu publik mengerti secara runtut apa yang harus mereka ketahui. Sehingga pada hasil akhirnya wartawan harus menambahkan interpretasi atau analisis pada sebuah laporan beritanya.

Sehingga dapat disimpulkan saat ini bahwa wartawan era baru saat ini tidak bisa mengabaikan verifikasi. Memverifikasi apakah informasinya bisa dipercaya, lalu meruntutkannya sehingga publik dapat memahaminya secara efisien. Hingga pada akhirnya jurnalisme online dianggap sebagai jurnalisme serius dan minim kontroversi.

 

 

Referensi Buku

Briggs, Mark. 2010. Journalism Next: A Practical Guide To Digital Reporting and Publishing. CQ Press: Washington DC.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik.  Pantau: Jakarta.

Margianto, J Heru dan Asep Saefulloh. 2013. Media Online : Pembaca, Laba dan Etika. AJI Indonesia dan Ford Fondation: Jakarta. 

Papacharissi, Zizi. 2009. Journalism and Citizenship: New Agendas in Communication. Routledge: New York.

Referensi Jurnal

Dharmasaputra, Karaniya. 2011. Jurnalisme Online: Asal Seru dan Saru? Dalam Jurnal Dewan Pers Edisi 4 Januari 2011, Jakarta.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun