Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjalanan Balik, Semoga Tak Seperti Perjalanan Mudik

26 Agustus 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Rin, maaf ya. Kayaknya jadwal pertemuan kita mesti di-cancel. Habis jalannya macet sih. Nggak pasti.” Sebuah sms masuk ke ponsel saya pada Jumat pagi (17/8) lalu. Sms dari teman saya yang mernatau ke Jakarta dan ceritanya dia sedang dalam perjalanan mudik menuju kampung halamannya di Lampung Tengah.

Tak berapa lama kemudian, masuk lagi sms darinya ke ponsel saya. Kali ini isinya keluhan dan curhatan mengenai perjalanan mudiknya. “Mudik terburuk dalam sejarahku, Rin ! Terjebak macet di Merak hingga 13 jam !” Belum sempat saya membalas, dia mengirim sms lagi, “ No pillow, no blangket, no food, no water and no toilet. I’m so wanna take a pee now.” Saat saya balas,”Tahan.” Teman saya ini dengan sigap membalas,” OMG, nahan kencing dari pagi Rin, itu sesuatu banget. Mau nangis rasanya.”

Lalu jam berapa teman saya itu tiba di Bandar Lampung (dia ngetem di Bandar Lampung dulu, baru esok harinya lanjut ke Lampung Tengah) ? Pukul 10 malam, teng-teng ! “Mudik terburuk, ke Lampung kok sampe 24 jam ?! Itu mah sama aja Jakarta-Lampung, Lampung-Jakarta dan Jakarta-Lampung, kan 24 jam. Aku lo di Merak sampe 15 jam, Hadoh...” cerocosnya melalui sms kepada saya, usai tiba di Bandar Lampung.

Iseng-iseng saya juga bertanya kepada seorang teman saya lagi. Dia perantauan di Jakarta asal Pemalang, Jawa Tengah. Seingat saya, dia berangkat mudiknya tanggal 16 Agustus (Kamis) malam, menumpang mobil kerabatnya yang tinggal di Bekasi. Saya pikir jika mudiknya dengan mobil pribadi – tentulah akan lebih menghemat waktu. Nyatanya dugaan saya meleset. Saat saya kira keesokan harinya (mungkin) teman saya ini telah tiba di rumahnya di Pemalang, eh apa jawabnya ? “Belum sampai ! Macet total, coba lihat berita,” Jawabnya melalui sms kepada saya.

Malangnya, teman saya ini juga baru tiba di rumahnya di Pemalang pada Jumat (17/8) sekitar pukul setengah sebelas malam. Berarti jumlah jam perjalanan teman saya yang berkampung halaman di Pemalang ini sama dengan jumlah jam perjalanan yang harus ditempuh oleh teman saya yang berkampung halaman di Lampung Tengah.

Selalu Buruk

Mendengar kisah teman saya ini, saya dibuat mengelus dada. Karena, pertama saya merasa bersyukur. Sebab saya tidak perlu melakukan “mudik” seperti itu. Pasalnya saya tinggal dan bekerja di kota yang sama. Kedua, saya mengelus dada karena dipicu oleh keprihatinan yang amat sangat oleh perjuangan teman saya dalam melakukan mudik ke kampung halaman.

Bayangkan saja, harus berlelah-lelah dan bersabar diri. Terjebak macet dan mentok di pelabuhan dengan tambahan minimnya perhatian dari penyedia jasa transportasi terhadap penumpang mereka. Jadi sungguh luar biasa perjuangan para pemudik ini. Juga kalau kita flashback, mereka kan juga harus berebutan dalam berburu tiket bus, kereta dan pesawat yang merupakan moda transportasi untuk mengantar mereka ke tempat tujuan.

Namun, jika masih ada pemudik yang curhat betapa susahnya mendapatkan tiket, betapa lamanya harus mentok di Pelabuhan Merak, betapa susahnya hanya untuk buang air kecil di toilet pada saat mudik. Seperti kedua orang teman saya tersebut. Jelas itu membuktikan bahwa pemerintah dan pihak-pihak yang bersangkutan masih abai terhadap para pemudik.

Dalam Kapal, Mencekam !

Saya pernah merasakan betapa mencekamnya perjalanan dari Lampung menuju Jakarta dengan menggunakan Bus Damri AKAP. Ketika pada pertengahan bulan Juli kemarin saya memutuskan untuk ke Jakarta lantaran ada keperluan. Saya memilih jadwal keberangkatan di malam hari, tepatnya pukul 10 malam. Perjalanan bus dari stasiun Kereta Api Tanjung Karang (tempat mangkalnya)-Pelabuhan Bakauheni berjalan lancar. Sekitar pukul satu dini hari WIB, bus yang saya tumpangi telah tiba di Pelabuhan Bakauheni.

Saya sempat melihat antrean panjang truk di Pelabuhan Bakauheni namun saya bersyukur bahwa Bus Damri yang saya tumpangi diberi prioritas untuk lebih dahulu menyeberang. Usai Bus Damri diparkir di dalam lambung kapal, lantas supir busa mematikan mesin dan menginformasikan kepada seluruh penumpang supaya turun dari bus. Penumpang diminta menuju ke ruang tunggu di bagian atas kapal.

Bingung juga saya. Sebab sepengetahuan saya, rasa-rasanya tak apa toh bila selama menyeberang – para penumpang tetap berada di dalam mobil/ bus yang mereka tumpangi. Entah sejak kapan peraturan ini mulai diberlakukan. Saya menduga pemicu diterapkannya peraturan ini lantaran kasus terbakannya Kapal KMP Laut Teduh 2 pada tanggal 28 Januari 2011 yang menewaskan 29 penumpang kapal. Berdasarkan penyelidikan, diketahui penyebab terbakarnya lambung kapal tersebut dari api (rokok) yang bersumber dari Bus Handoyo – yang turut diangkut dalam kapal.

Jadi lantaran takut kecolongan, maka ditegakkanlah peraturan bahwa para penumpang bus dilarang berada dalam bus selama penyeberangan berjalan. Namun, disinilah ketegangan dimulai !

Rupanya Bus Damri yang saya tumpangi diparkir cukup jauh dari pintu tangga menuju dek kapal. Supaya bisa menuju ke pintu kapal, kami (seluruh penumpang) harus melewati celah-celah jalan dari kendaraan yang terparkir disitu. Tak masalah bila kendaraan yang terparkir disitu ialah sedan, minibus, pick up. Tetapi menjadi masalah dan was-was bila kendaraan-kendaraan besar semacam truk tronton atau truk petikemas yang terparkir di situ.

Sungguh luar biasa mengguncang batin ketika saya bersama penumpang lain harus melewati celah-celah sempit di antara kendaraan-kendaraan raksasa tadi dan dini hari pula ! Bayangkan, celah jalannya hanya selebar 45 sentimeter (dan bahkan ada yang kurang dari itu) dan hanya cukup dilewati untuk satu orang.

Saat melewati celah-celah itu, yang terpikir ialah perasaan takut terjepit, deg-degan dan ingin cepat-cepat sampai ke pintu tangga menuju dek. Tiba-tiba saya serasa di film action yang pada salah satu adegannya menampilkan aksi para bintangnya berlari guna mengecoh musuhnya dengan cara melewati celah-celah parkiran truk-truk tronton/ petikemas. Mendebarkan tapi saya tidak sedang berakting di film ! Dini hari itu, harus dua kali saya mengalami “scene” melewati truk layaknya di film-film aksi.

Berbenahlah, Please !

Saya jadi bertanya-tanya. Tak pernahkah pihak pembuat peraturan memikirkan perasaan para penumpang ? Saat mereka harus turun dari kendaraan yang mereka tumpangi lalu “bergerilya” berjalan melalui celah-celah sempit kendaraan yang terparkir, supaya bisa menuju ke pintu dek kapan dan sebaliknya ?

Sesungguhnya saya mendukung positif kebijakan yang mengharuskan kendaraan dikosongkan pada saat kapal berlayar. Tetapi apakah tidak bisa lebih manusiawi ? Kan bisa saja para penumpang bus lebih dahulu dimintakan turun dari kendaraan yang mereka tumpangi sebelum kendaraan (bus) itu diparkir di lambung kapal.

Para penumpang yang telah lebih dahulu turun kendaraan bus, nantinya bisa naik ke kapal melalui pintu pelabuhan yang memang dikhususkan untuk orang yang mau menyeberang. Pun pada saat turun kapal. Para penumpang bus yang bersangkutan diminta terkonsentrasi di satu tempat dari pelabuhan. Lalu saat bus yang mereka tumpangi keluar dari lambung kapal, maka mereka bisa masuk ke dalam bus mereka lagi.

Oh ya, teman saya yang terjebak di Pelabuhan Merak selama 15 jam kan juga menyinggung mengenai susahnya hanya untuk sekedar “buang hajat kecil”. Saya pun merasakan serupa yang dialaminya.

Waktu itu, berhubung saya memilih Bus Damri AKAP yang kelas bisni maka toilet tidak tersedia di dalam bus yang bersangkutan. Jadilah mengandalkan WC umum dan WC dalam kapal untuk menuntaskan hajat buang air seni. Tapi, alamak !!! Kok WC-nya begini ?! WC di kapal, luar biasa tidak terurus. Masalah standar seperti WC-nya bau, basah, kotor dan tidak ada air (bersih) – tumplek jadi satu saat saya menumpangi Kapal Victoria 5 menuju ke Lampung (ini setelah saya selesai urusan di Jakarta).

Bahkan yang lebih ekstrem, pada saat keberangkatan Lampung menuju Jakarta-nya saya tahan untuk tidak minum air. Saya bela-belain menahan dahaga supaya saya tidak berkeinginan ke belakang. Sebab pasti susah deh urusannya.

Kalau mau jujur, saya agak sedikit ilfeel. Kok perjalanan antar provinsi yang jaraknya tak seberapa, mirip kayak orang mau ke Antartika yang di ujung dunia ? Saya jadi makin kasihan dengan para pemudik yang telah capek-capek tenaga, waktu dan biaya namun pelayanan transportasi mudik yang mereka terima tidak sepadan dengan harga yang telah mereka bayarkan.

Hari ini, tepatnya malam ini (26/8) diprediksi sebagai puncak arus balik. Entah itu mudik, entah itu balik – keduanya tetaplah menggunakan moda transportasi. Saya tidak mudik, saya pun tidak balik. Namun saya berharap semoga perjalanan yang ditempuh oleh orang-orang yang melakukannya bisa lebih baik dalam hal fasilitas yang lebih manusiawi.

Berharap pemerintah dan yang berkepentingan masih memiliki hati nurani untuk berbenah dan membenahi manajemen mudik dan balik. Saya punya mimpi bisa mudik asyik. Kapan ya terwujud ?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun