Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Massa Menuju Otoritarianisme Baru?

10 Agustus 2021   07:48 Diperbarui: 10 Agustus 2021   08:00 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: businesstopia.net

Oleh Ludhy Cahyana*

Dalam buku-buku mengenai demokrasi, pers menduduki tempat yang istimewa sebagai salah satu dari empat tiang emokrasi. Filsuf Jerman Jurgen Habermas yang memperkenalkan demokrasi deliberatif, mengemukakan pentingnya ruang publik yang netral, tempat para warga beradu argumen.

Ruang publik yang dimaksud adalah media massa dan media sosial. Keduanya harus bebas dan tak boleh dimonopoli kebenarannya. Tidak boleh juga ditindak secara represif bila terdapat pendapat-pendapat yang kritis ke arah penguasa. Alhasil, demokrasi deliberatif menuntut pers yang bebas.

Lalu, pertanyaan kritisnya, apakah pada era demokrasi pers bisa bebas? Bisa bersuara makin lantang? Kian variatif atau seragam? Atau kian berkualitas seiring dengan kuantitasnya makin banyak?

Mari mendedah realitas sosial untuk menjawab satu per satu pertanyaan itu. Apakah pers makin bebas pada era demokrasi? Tidak juga. Hal ini disebabkan adanya oligarki, sebagian kecil orang yang sangat berkuasa. Fenomena oligarki merupakan sekian dari anomali demokrasi. 

Oligarki muncul, karena biaya demokrasi yang tinggi bagi seorang aktor memaksanya mencari sponsor. Dari sinilah pintu masuk para oligark, yang biasanya juga memiliki media massa. Para oligark leluasa mengatur pemberitaan, karena tak ada lagi sekat atau firewall antara redaksi dan pemilik modal -- pengusaha yang menjadi oligark. Mereka menyensor berita yang merugikan dirinya dan penguasa.

Di sini, jelaslah demokrasi tak mampu menjamin kebebasa pers. Bahkan, kepentingan bisnis membuat pers menjadi partisan bukan karena urusan ideologi, tapi hanya persoalan bisnis belaka. Otomatis, pada era demokrasi sekalipun pers tak bisa bersuara lantang, karena pemilik modal yang jadi sponsor penguasa. Atau, perusahaan media tak akan mendapat iklan dari pemerintah atau perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor penguasa.

Selanjutnya, benarkah pada era demokrasi pers kian variatif? Belum tentu juga. Saat angin Reformasi bertiup kencang di tanah air ini, pada era Presiden Habibie, terbit 1.700-an Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Lalu berapa jumlah media resmi atau berbadan hukum saat ini?

Secara signifikan jumlah penerbitan baru bertambah. Dalam masa setahun pemerintahan di era Habibie, diterbitkan 1700 SIUPP baru. Pada 2018, angka itu membiak menjadi 47.000 media.

Dari sisi jumlah, memang besar. Namun terdapat fenomena unik, yakni konglomerasi media. Konglomerasi media adalah perusahaan media raksasa, yang biasanya menguasai berbagai macam jenis media, dari televisi, cetak, online, bahkan percetakan tersendiri. Pada awal tahun 2000, media-media bermodal besar membentuk konglomerasi, dengan membeli media-media lokal. Akibatnya, media-media di kota kecil menjadi keluarga besar para perusahaan media yang ada di ibu kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun