Mohon tunggu...
Linda Patimasang
Linda Patimasang Mohon Tunggu... Guru -

Lahir di Balikpapan dan belajar disana hingga tamat SMP. Melanjutkan studi di Muntilan dan Yogyakarta. Pernah bekerja sebagai guru privat Bahasa Inggris, tutor Bahasa Indonesia untuk orang asing, reporter dan penyiar radio, MC, penulis di sebuah majalah komunitas, dan saat ini mengajar di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Suka menulis, membaca, mendengarkan musik, nonton, travelling, dan berkeliaran di dunia maya. Saat ini tinggal bersama anak lelakinya di Jakarta dan berharap tetap memiliki ruang untuk mengaktualisasiakan diri dan mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Di Timur Matahari" Konflik dalam Kehijauan Papua

21 Juni 2012   00:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340258621788221852

Mazmur (Simson Sikoway), menanti di sebuah lapangan terbang tua, satu-satunya penghubung kampung dengan dunia di luar sana. Bapak Yakub, seorang penjaga usia lanjut yang masih menjaga tradisi dengan kuat, melihat bagaimana kegelisahan Mazmur tergambar di wajahnya.

Dengan berpakaian seragam putih merah lengkap, Mazmur berlari menuju sekolah dimana teman-temannya menunggu.

"Teman-teman, guru pengganti belum datang…"

Mata teman-temannya begitu kecewa. Mereka terdiam, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

"Ya sudah, kita menyanyi saja...," lanjut Mazmur ceria.

Lalu, berkumandanglah lagu, "Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...." yang dinyanyikan oleh anak-anak Papua, mengiringi keceriaan Mazmur, Thomas, Joakim, Agnes, dan Suryani. berlari menyusuri jalan-jalan kampung.

Demikianlah ironi yang ditampilkan pada awal film "Di Timur Matahari" karya Ari Sihasale. Adegan ini cukup membuat saya terenyuh. Guru pengganti tidak ada, tapi tidak membuat anak-anak yang haus akan pendidikan itu behenti tersenyum dan tertawa.

"Di Timur Matahari" menggambarkan realitas yang terjadi di tanah Papua. Mulai sulitnya mendapatkan guru untuk mengajar, listrik yang belum merata, hingga adat istiadat yang ingin tetap dijaga secara turun temurun.

Itulah Papua. Dalam kehidupan yang dipandang orang-orang modern sebagai sebuah ketertinggalan, mereka tetap hidup dengan cara mereka yang bersahaja. Menunggu guru pengganti bagi Mazmur, Thomas, Joakim, Agnes, Suryani bisa jadi merupakan penantian tak berujung. Namun, tidak ada guru yang mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berhitung tidak menghentikan keinginan mereka untuk belajar karena belajar bisa dimana saja, dengan siapa saja.

Pelajaran mereka peroleh dari Pendeta Samuel (Lukman Sardi) dan Bu Dokter Fatima (Ririn Ekawati), orang-orang yang mau berbagi ilmu; tidak hanya bagi anak-anak Papua, juga bagi masyarakat kampung yang memang jauh dari pendidikan.

Adat istiadat yang mendarah daging juga menjadi norma dan pedoman hidup mutlak. Anak-anak Papua tidak hanya hidup beriringan dengan tradisi, tetapi juga pertikaian dan konflik. Blasius, ayah Mazmur dibunuh oleh Joseph, ayah Agnes. Pertikaian antar kampung tak terhindarkan. Alex, adik Blasius, merasa harus tetap menjalankan apa yang mereka sebut hukum adat, membalas dendam. Hal ini ditentang keras oleh Michael (Michael Idol Jakarimilena), kakak Alex, karena balas dendam sama artinya dengan perang.

Ada pun Michael adalah anak kelahiran kampung setempat yang sejak kecil sekolah dan (akhirnya) menikah di tanah Jawa. Pemikiran modern tentu lebih mendominasi hati nuraninya, sehingga ketika ia mengemukakan pertentangannya, hal ini dianggap Alex tidak masuk akal. Hukum adat itu mutlak harus dilaksanakan.

Isu sosial, pertikaian atau peperangan antar suku/kampung lebih mendominasi film ini, daripada kurangnya fasilitas listrik, kesehatan, pendidikan, yang juga merupakan permasalahan di Papua saat ini. Bahwa perdamaian itu harus dipelihara jika masyarakatnya ingin hidup lebih baik. Anak-anak akan terus tumbuh berkembang di tengah situasi yang sulit dan akan meneruskan keberadaan Papua. Kehidupan sejahtera tidak mungkin diperoleh jika balas dendam dan peperangan tetap terjadi.

Alenia memvisualisasikan pesan ini begitu indah, seindah penggambaran alam Perbukitan Tiom (Lanijaya, Papua), kepolosan dan keceriaan anak-anaknya, kearifan kehidupan masyarakat setempatnya. Seperti biasa, kekuatan film=film produksi Alenia tidak hanya pada cerita yang sarat pesan berharga, tapi juga pemandangan keindahan Indonesia yang luar biasa.

Ari Sihasale dengan transparan memperlihatkan kepada penonton Indonesia, bagaimana masyarakat Papua hidup sehari-hari. Anak-anak kita mungkin belum pernah melihat manusia memakai koteka (pakaian adat Papua), atau kalau pun mereka pernah melihat, mungkin melalui tayangan Discovery Channel atau kartu pos pariwisata. Tapi melalui film ini, kita (sebagai orang tua) bisa memperkenalkan, bahwa mereka hidup di negara yang sama dengan kita, di bawah bendera yang sama. Ini yang menurut saya penting untuk digarisbawahi, bahwa pendampingan orang tua ketika menyaksikan film ini bersama anak-anak penting. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk bisa menjelaskan mengapa konflik intern keluarga atau konflik antar manusia di kampung-kampung bisa terjadi. Termasuk ketika busur panah menancap di punggung Bapak Yakub dan Blasius ketika terjadi penyerangan. Anak-anak tidak mungkin bisa mencerna adegan ini sendirian.

Mereka makan tidak dengan piring, tapi menggunakan daun.

Mereka makan daging kelinci peliharaan, karena itulah yang mereka punya.

Mandi di sungai, tidak punya kamar mandi.

Dan itu tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap bermain dan belajar. Mereka tetap menjadi cerdas dengan cara mereka. Mereka bisa menyediakan listrik ketika Vina (Laura Basuki), istri Michael, perlu me-recharge telepon seluler, padahal kampung mereka tidak punya daya listrik. Caranya? Mereka hanya perlu mengaplikasikan ilmu yang mereka dapatkan secara tidak sengaja, dibumbui dengan sedikit kenakalan khas bocah.

Dengan segala keterbatasan, mereka tetap hidup dengan ceria.

Sayang, film ini diakhiri dengan drama berlebihan. Dua kubu yang sudah siap saling menyerang tiba-tiba batal berperang. Mereka kembali mundur setelah mendengar Mazmur, Agnes, Thomas, Suryani, seluruh anak-anak Papua menyanyikan lagu perdamaian di tengah kedua kelompok; diikuti oleh seluruh pendukung acara (Aktor dan Aktris) juga penduduk. Mereka menyanyi bersama, dan tiba-tiba bergandengan tangan berkeliling dalam bentuk lingkaran setelah menjatuhkan senjata anak panah masing-masing.

Saya mengerti, Ale ingin menampilkan peran anak-anak dalam perdamaian, tapi saya rasa, seharusnya bisa dikemas dengan lebih elegan, tidak didramatisir seperti ending cerita sinetron atau serial Korea. Terus terang, saya melihat adegan ini seperti acara sekelompok orang yang menyanyikan lagu legendaris Kemesraan, sambil bergandengan tangan.

Ini akhir film yang agak fals, anti klimaks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun