Di tengah kehidupan yang penuh tekanan, kegelisahan, dan rasa kehilangan arah, banyak anak muda mulai mencari pelarian yang bisa menenangkan hati. Salah satu pilihan yang sering mereka ambil adalah hijrah. Meski awalnya istilah ini merujuk pada perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, kini hijrah sering dimaknai sebagai perubahan diri menuju hidup yang lebih baik, terutama dalam aspek keagamaan.
Namun, muncul pertanyaan: apakah hijrah mampu menjadi solusi atas persoalan kesehatan mental?
Banyak orang memutuskan berhijrah justru karena sedang mengalami luka batin yang mendalam. Ada yang sedang patah hati, gagal meraih cita-cita, merasa hampa, atau tidak tahu arah hidup. Pada saat seperti itu, ada dorongan dalam hati untuk mencari ketenangan yang lebih dari sekadar pelarian dunia, yakni ketenangan batin lewat pendekatan spiritual.
Fenomena ini dikenal dalam psikologi agama sebagai titik balik atau turning point, di mana seseorang menemukan kembali makna hidup melalui pendekatan spiritual. Hijrah dalam hal ini menjadi cara untuk bangkit, bukan sekadar simbol atau gaya hidup.
Dari kacamata psikologi, seseorang dikatakan sehat mentalnya jika mampu mengelola emosi, stres, dan tujuan hidup dengan baik. Dalam ajaran agama, kita diajarkan untuk sabar, bersyukur, menerima takdir, dan menyandarkan diri hanya kepada Tuhan. Nilai-nilai inilah yang membuat seseorang lebih kuat secara batin.
Saat seseorang mulai menata kembali hubungannya dengan Tuhan, mulai rutin beribadah, berdzikir, atau membaca Al-Qur'an, ia pun mulai merasakan ketenangan yang berbeda. Aktivitas-aktivitas ini bukan sekadar ritual, tetapi juga membantu meredakan kecemasan secara psikologis.
Proses Hijrah Tidak Selalu Mulus.
 Sayangnya, banyak yang mengira bahwa setelah hijrah, hidup akan langsung membaik. Kenyataannya, proses perubahan diri itu sering diiringi ujian baru. Misalnya, merasa tidak cukup baik, dihantui masa lalu, atau merasa tertekan karena ingin terlihat sempurna secara agama.
Ada juga yang kesulitan bersosialisasi, kehilangan teman-teman lama, atau bingung memilih jalan yang benar di antara banyak panduan. Tanpa bimbingan dan pemahaman yang mendalam, hijrah bisa menjadi beban mental baru.
Maka dari itu, penting untuk memahami bahwa hijrah adalah perjalanan panjang, bukan perlombaan. Kita tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Yang penting adalah konsisten memperbaiki diri setiap hari.