Sekolah secara ideal merupakan tempat di mana peserta didik memperoleh pengetahuan, membentuk karakter, serta mengembangkan potensi diri secara utuh. Namun, realita di lapangan sering kali menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Banyak siswa datang ke sekolah bukan dengan semangat untuk belajar, melainkan dengan perasaan tertekan, cemas, dan bahkan takut. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar: apakah sekolah hari ini masih menjadi tempat belajar, atau telah bergeser menjadi tempat bertahan?
Tekanan Akademik yang Melelahkan
Sistem pendidikan saat ini cenderung menekankan pada pencapaian akademik semata. Ujian, nilai, dan peringkat menjadi tolok ukur utama keberhasilan siswa. Akibatnya, proses belajar yang seharusnya menyenangkan dan membebaskan justru berubah menjadi beban berat yang harus dipikul setiap hari.
Banyak siswa merasa harus "bertahan hidup" di tengah tumpukan tugas, ujian, dan ekspektasi tinggi dari orang tua maupun guru. Ironisnya, tekanan akademik ini tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas berpikir. Justru, siswa cenderung menghafal materi demi lulus ujian, bukan memahami konsep secara mendalam. Proses pembelajaran pun menjadi kering dan transaksional.
Lingkungan Sekolah yang Tidak Ramah
Selain tekanan akademik, banyak siswa menghadapi tantangan psikologis dan sosial di lingkungan sekolah. Kasus perundungan (bullying), diskriminasi, dan ketidakadilan dalam perlakuan masih sering terjadi.
Sebagian siswa merasa tidak aman secara emosional, bahkan di dalam ruang kelas. Alih-alih menjadi tempat perlindungan, sekolah kadang justru menjadi arena kekuasaan yang menekan.
Guru yang terlalu otoriter, sistem disiplin yang kaku, serta kurangnya ruang dialog antara guru dan murid membuat siswa merasa tidak didengar. Dalam kondisi ini, mereka tidak lagi belajar karena termotivasi, tetapi karena takut dihukum atau dipermalukan.
Kurikulum yang Kurang Kontekstual
Kurikulum yang diterapkan di sekolah sering kali bersifat seragam dan kurang mempertimbangkan konteks sosial dan psikologis peserta didik. Kurangnya fleksibilitas dalam pendekatan pembelajaran membuat siswa kesulitan memahami relevansi materi pelajaran dengan kehidupan mereka.
Padahal, pendidikan yang sejati seharusnya menghubungkan antara pengetahuan dan realita kehidupan. Ketika siswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari tidak menyentuh kebutuhan dan aspirasi mereka, maka proses belajar tidak akan bermakna.
Peran Guru dan Kepemimpinan Sekolah
Guru dan pemimpin sekolah memegang peran krusial dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga fasilitator yang membimbing, menginspirasi, dan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa. Sayangnya, beban administratif yang tinggi dan kurangnya pelatihan pedagogis membuat sebagian guru kehilangan sentuhan humanis dalam mengajar.
Demikian juga kepala sekolah perlu menjadi pemimpin visioner yang menumbuhkan budaya sekolah yang inklusif, demokratis, dan berpihak pada kesejahteraan psikologis peserta didik. Tanpa komitmen bersama dari seluruh elemen sekolah, sulit mewujudkan lingkungan belajar yang sehat dan transformatif.
Menuju Sekolah yang Membebaskan
Pendidikan bukan semata soal transfer ilmu, melainkan proses membentuk manusia seutuhnya. Sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk mengenal dirinya, mengembangkan potensi, dan membangun relasi yang sehat.