Mohon tunggu...
Lilis Nuraeni
Lilis Nuraeni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergeseran Nilai Walimatus Safar (Mengapa Walimatus Safar Seperti Kondangan?)

30 Januari 2017   21:08 Diperbarui: 30 Januari 2017   21:30 7237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sesuai tradisi, di daerah saya setiap keberangkatan ke tanah suci diadakan agenda walimatus safar. Begitu sering, dari tahun ke tahun menghadiri walimatus safar saudara, rekan,dan tetangga. Selalu ada yang menggelitik ke dalam alam pikiran karena melihat sesuatu yang janggal melihat konteks walimatus safar yang agak melenceng dari nilai-nilai mulia yang diusungnya. Prihatin melihat ada muatan tradisi yang keliru ketika walimatus safar dilakukan di masyarakat.

Menurut para ahli secara harfiah walimatus safar artinya “menjamu” atau“pesta” dalam rangka safar “perjalanan” haji. Dengan maksud mengundang sanak saudara, kerabat, dan tetangga untuk hadir dalam acara pamitan calon jama’ah untuk menunaikan ibadah haji. Meskipun tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW walimatus safar mempunyai makna positif karena tujuannya silaturahim, mengundang kedatangan saudara, rekan,tetangga (seharusnya calon jemaah yang datang untuk silaturahmi, tetapi karena kendala waktu, lokasi dsb, sulit untuk dilakukan). Dilanjutkan dengan makan bersama berbagi kebahagiaan (tasyakur bini'mah) terutama dengan fakir miskin, yatim piatu dsb, pengajian dan meminta maaf serta doa.

Sejak dulu momen berangkat haji seseorang/keluarga adalah kebahagiaan untuk semua, baik saudara, tetangga maupun teman. Tanpa diundang pun tak sungkan datang untuk mendoakan. Begitupun ketika tiba di rumah setelah menunaikan ibadah haji, gembira bersua kembali. Saudara, teman, tetangga tak lupa memberikan sesuatu sesuai kemampuan masing-masing tanpa perasaan terbebani sebagai tanda pengikat persaudaraan, biasanya hantaran kepada yang mau naik haji ini seperti beras, ayam, kue dst, untuk kenduri di rumah maupun bekal ke tanah suci. 

Ketika menyambut kedatangan yang naik haji pun berlaku sama, turut menyediakan jamuan dari rumah masing-masing. Sifatnya tentu sukarela berbagi kebahagiaan. Dan sebagai balasannya diberikan buah tangan oleh mereka yang pulang naik haji dari tanah suci.

Zaman bergeser, bekal penganan, beras, ayam tak menjadi prioritas, sebab tidak efisien. Maka munculah tradisi memberi bekal dengan sebuah amplop. Meskipun tak memberatkan, tetapi nampaknya hakikat makna walimatus safar mengalami pergeseran nilai. Yang saya lihat, hampir semua tamu yang datang dalam walimatus safar memberikan amplop. Dengan hantaran amplop acara walimatus safar nampak seperti acara kondangan semacam pesta pernikahan, atau khitanan. 

Antara walimatus safar dengan acara pernikahan, atau khitanan tak dapat disamakan, sebab nuansanya jelas berbeda. Pesta pernikahan, maupun khitanan lebih kepada acara bersukaria, sedangkan walimatus safar penuh nuansa religius, sarat nilai-nilai ibadah, saat yang tepat berbagi kepada yang tidak mampu, dan bukan sebaliknya tangan di bawah, menerima.

Pemberian amplop kepada yang mau naik haji dalam walimatus safar jelas mengurangi nilai-nilai walimatus safar itu sendiri. Bayangkan apabila tamu yang datang, baik saudara, rekan, maupun tetangga yang kebetulan kemampuan ekonominya berada di kelas bawah, alias belum beruntung. Apabila tidak memberikan amplop tentunya ia akan sungkan untuk datang, karena melihat sesuatu yang "guyub" di hadapan mata. Mungkin untuk yang strata ekonominya setara atau di atas calon jemaah haji tak jadi masalah. 

Dalam konteks ini, bukankah yang pantas memberi itu (terutama kepada yang tidak mampu) adalah mereka yang mau berangkat haji, karena secara ekonomi pada umumnya telah mampu. Orang enggan membicarakannya sebab dibalut dalam kemasan ibadah. Secara pribadi saya sudah dapat mengambil sikap, saya tak pernah memberikan amplop, meskipun masih "celingukan" lihat kanan kiri, karena mungkin dianggap aneh. Tetapi alasannya agar saya merasa tak seperti datang ke tempat pesta pernikahan/khitanan. Memberikan amplop, makan dan pulang ke rumah.

Saya terkesan kepada rekan kerja, beberapa tahun silam. Sebelum berangkat menunaikan ibadah haji beliau sudah mewanti-wanti agar tak membawa sesuatu pun ke rumahnya. Sehingga kami pun merasa nyaman untuk bersilaturahmi. Memang ada beberapa teman yang mungkin (secara ekonomi) merasa pantas untuk memberikan sesuatu padanya. Dan itu sah-sah saja untuk suatu ikatan kekeluargaan. Yang penting momen walimatus safar tidak lagi menjadi beban untuk membawa amplop seperti kondangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun