Pernahkah kamu membayangkan, seorang ulama sepuh---berusia lebih dari 70 tahun---berdiri di hadapan sepuluh ribu pasukan, bukan sebagai penasihat, tapi sebagai panglima tertinggi?
Namanya Asad bin al-Furt.
Lahir pada tahun 759 M (142 H) di Harran, wilayah Syam, ia tumbuh sebagai murid para ulama besar seperti Imam Malik di Madinah dan Imam Abu Hanifah di Kufah. Ia bukan hanya ahli fiqih, tapi juga seorang qadhi (hakim agung), dai, dan pemikir ulung. Namun di usia senjanya, Asad memilih jalan yang berbeda: ia angkat pedang.
Tahun itu, 827 M (212 H), dunia Islam sedang berhadapan dengan tantangan besar. Kekaisaran Bizantium masih bercokol di banyak wilayah, dan Sisilia---pulau subur di jantung Laut Tengah---menjadi salah satu titik kunci yang diperebutkan.
Ifriqiyah (Tunisia sekarang), di bawah kekuasaan Aghlabiyah, memutuskan untuk bergerak. Dan pemimpin tertingginya, Ziyadatullah I, menunjuk Asad bin al-Furt---bukan jenderal militer, tapi ulama tua yang saleh---untuk memimpin ekspedisi pembebasan Sisilia.
Laut Tengah, 827 M
Kapal-kapal berlayar dari Pelabuhan Sousse. Di atas gelombang biru, 10.000 mujahid dan 70 kapal bergerak ke arah barat laut, menuju pulau yang sejak lama disebut oleh para pelaut sebagai "permata di antara dua dunia". Sisilia bukan hanya wilayah strategis, tapi juga pusat budaya dan ekonomi.
Saat kapal mendekati pantai, Asad naik ke geladak, jubahnya berkibar, suaranya menggema:
"Wahai pasukan Allah! Kita datang bukan sekadar menaklukkan pulau. Kita datang membawa cahaya ilmu. Di tanah ini, akan lahir para ulama dan ilmuwan yang menerangi dunia."
Itulah yang membedakan ekspedisi ini. Bagi Asad, perang bukan sekadar tentang kemenangan, tapi tentang melahirkan peradaban.
Kota Demi Kota Tunduk