Mohon tunggu...
Lilih Wilda
Lilih Wilda Mohon Tunggu...

Ho ho ho

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penantian di Ujung Kematian

27 Juli 2012   11:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:33 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13434054881535988232

[caption id="attachment_190107" align="aligncenter" width="640" caption="waiting (isolapos.com)"]Penantian di Ujung Kematian

[/caption]

Aku adalah seorang perempuan tua. Masih bisa menghirup udara saja sepertinya suatu keberuntungan. Dalam keengganan untuk melanjutkan hidup ternyata Tuhan masih memberi kesempatan aku untuk hidup lebih lama, walau perjalanan ini harus tertatih dan berat buatku.

Pandangan mataku selalu nanar menatap jauh kedepan. Tatapan seseorang yang selalu menunggu akan kehadiran seorang tambatan hati yang kini entah dimana.

Aku kini tinggal di gubuk tua. Walau tua, tetapi asri. Jika aku buka jendela, pemandangan hijau langsung menohok sudut mata. Tempat tinggal seperti ini sebetulnya menjadi cita-citaku selama ini. Hidup bahagia bersama suami yang bekerja keras di sawah, bersama anak-anak yang kuat yang berlarian di pematang. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, aku harus menikmati ini semua sendiri.

Sebetulnya aku tak benar-benar sendiri. Aku selalu di temani emak, emak lah yang selama ini menjagaku. Memberiku makan. Bahkan jika aku malas membuka mulut dialah yang selalu menyuapi aku. Bersamanya aku merasa aman. bersamanya pula aku bisa mencurahkan segala isi hati.

Pagi ini aku menunggu emak, sambil duduk di bale aku merenung, pikiranku menjelajahi masa lalu, mengingat keadaanku waktu itu. Aku adalah seorang perempuan aktif, memang pekerjaanku hanya menjadi karyawan pabrik di kota Tangerang. Sudah lama aku menjadi buruh pabrik, tapi aku menikmati semua itu. Berangkat pagi dan pulang malam adalah kebiasaanku.

Sehabis menamatkan sekolah SMA di kampung halaman di Ciamis, aku nekat pergi ke kota untuk mencari kerja. Orang tuaku melarang, dan malah menyuruh aku melanjutkan kuliah. Tapi aku enggan. Aku tahu diri, gaji ibuku yang hanya pegawai kecamatan sangat sedikit, hanya cukup untuk makan dan menyekolahkan adik serta membayar uang kuliah kakak ku.

Aku merasa mempunyai kewajiban untuk membantu orang tua. Apalagi ayahku sudah meninggal lima tahun kebelakang. Dan krisis ekonomi melanda bangsa ini, menambah kesusahan hidup keluarga kami.

Menjadi buruh pabrik menjadi pilihanku. Memang tidak enak, tapi aku sangat menikmatinya, sebulan sekali aku mengirimi ibuku uang dari hasil gajiku, sisanya untuk makan, menyewa kos-kosan dan sedikit aku tabung.

sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 2007 aku bertemu laki-laki bernama erik. Erik tinggal di palembang. Bertemu dengannya tanpa di sengaja, saat itu facebook adalah barang baru. Tak banyak yang menggunakan. Tapi aku sudah mengenal facebook walau hanya menggunakan HP. Aku sering mengobrol dengan laki-laki itu, lewat komentar-komentar di status atau lewat inbox.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun