Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hobi Ini Pernah Menghidupi Saya

17 Januari 2020   17:51 Diperbarui: 18 Januari 2020   10:26 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pxhere.com

Bicara tentang membiayai hobi, saya mengingat suatu masa puluhan tahun silam. Kala itu, saya seorang mahasiswa yang cukup kepayahan membiayai kuliah. Jadi, jangankan menjalankan hobi yang membutuhkan biaya, berpikir ke arah sana pun tak pernah.

Bahkan yang terjadi sebaliknya, saya harus memeras otak mencari-cari cara membuat sebuah kegiatan bisa digunakan untuk menafkahi hidup, atau setidaknya membiayai pendidikan.

Ketika itu saya merasa memiliki sebuah kemampuan yang mungkin bisa menghasilkan uang. Namun, saya sendiri sempat ragu apakah istilah "hobi" pantas disematkan bagi aktivitas yang tengah saya geluti saat itu.

Entah Hobi, Entah Bukan
Sepertinya kegiatan yang saya maksudkan tidak saya rasakan sebagai sebuah hobi. Perhatikan saja definisi hobi yang dimuat dalam laman KBBI. Menurut kamus itu, hobi berarti kegemaran, kesenangan istimewa pada waktu senggang dan bukan merupakan pekerjaan utama.

Kata "kegemaran" dan "kesenangan" telah menciutkan nyali saya untuk menyatakan bahwa kegiatan yang saya tekuni saat itu, yakni menulis, sebagai hobi. Kala itu, saya menulis demi mengejar duit. Jika pun ada alasan lain yang tampak ideal seperti menyalurkan gagasan atau yang semacamnya, porsinya amat sedikit. 

Ketika tulisan saya terbit pada sebuah majalah misalnya, bukan tulisan itu yang terutama saya tunggu-tunggu. Seusai gembira sesaat, nongolnya tulisan di media justru membikin hati saya merasa gelisah.

Kegelisahan yang disebabkan penantian saya akan datangnya wesel yang sulit dikira. Anak-anak zaman kini mungkin tak sempat mengenali, sarana pengiriman uang pada masa saya sekolah dinamakan wesel pos atau dalam keseharian disebut wesel gitu aja. Dan yang mengurusnya adalah sebuah institusi bernama Kantor Pos.

Zaman itu saya tak memiliki rekening bank, karena nyaris tak pernah memegang uang untuk disimpan di dalamnya. Jangan pula bayangkan Gopay, Ovo, dan sebangsanya. Suara oroknya pun belum kedengaran.

Saya mengingat betul saat seorang lelaki bersepeda motor warna oranye mendatangi tempat kos saya. Orang yang dikenal sebagai tukang pos itu mengulurkan sehelai kertas serupa kartu pos berwarna abu-abu ke tangan saya. Di atas kertas yang bernama wesel pos itu tertera nominal sebesar 125 ribu rupiah. Sebuah bilangan yang sangat bernilai.

Uang sejumlah itu bisa saya gunakan untuk melunasi biaya SPP satu semester yang kala itu bernilai 90 ribu rupiah. Sebagian dari sisanya tentu saja untuk sesekali menambah gizi, makan protein hewani bernama ayam goreng. Jenis makanan yang sangat jarang berada di piring saya menemani sego pecel atau nasi rames di warung-warung sekitar kampus.

Hasil jerih payah menulis telah membawa kegirangan bagi saya. Melalui pesawat telepon di sebuah wartel, saya berseru bangga kepada bapak saya, "Pak, Bapak ndak perlu memikirkan uang kuliah saya semester ini. Saya telah melunasinya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun