Dunia Kampus yang Buta terhadap Mereka Yang Terluka oleh Kekerasan Berbasis Gender
Di balik slogan seperti "kampus unggulan" dan "kampus inklusif," tersembunyi realitas kelam. Banyak mahasiswa terpaksa menempuh pendidikan dalam ketakutan akan kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence) yang perlahan menghancurkan jiwa korbannya. Kekerasan ini tidak selalu berbentuk serangan fisik, tetapi sering hadir lewat ucapan, sikap, dan perlakuan yang merendahkan secara bias. Inilah yang disebut kekerasan struktural. Kampus yang seharusnya menjadi ruang tumbuh  justru membuat korban merasa tidak diinginkan, tidak cukup baik, takut bersuara, dan meragukan eksistensinya untuk tetap hidup.
Bagi mahasiswa yang dianggap minoritas, seperti perempuan, queer, penyandang disabilitas, atau mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi dan ras tertentu, luka itu lebih dalam. Trauma mereka tidak hanya membayangi hari-hari di kampus, tetapi juga meninggalkan bekas dalam perjalanan hidup mereka.
Kekerasan yang Tidak Selalu Kasat Mata
Kekerasan struktural berbasis gender yang didalami di kampus sering kali menghantam dalam bentuk tak kasat mata, berikut adalah sebagian contoh dari kekerasan struktural yang dialami di lingkungan kampus:
Komentar yang merendahkan saat berbicara di dalam kelas.
Pemberian stigma serta menunjukkan sikap diskriminasi yang bias.
Penghentian program atau organisasi berbasis minoritas.
Lelucon seksis dan perundungan verbal terhadap mahasiswa dari kelompok yang dianggap minoritas.
Sindiran dan penghinaan terhadap mahasiswa, baik secara langsung di kelas maupun secara online di social media dan grup kelas.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!