Mohon tunggu...
L I D Y A
L I D Y A Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah

Menonton Movie/Drama

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lingkaran Kekerasan yang Tak Berujung, Impunitas dan Budaya Menyalahkan Korban

26 Agustus 2025   19:15 Diperbarui: 26 Agustus 2025   19:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Source: pinterest.com)

Berita tentang kasus kekerasan seksual seolah tak pernah absen dari media massa. Saking banyaknya kasus tersebut pada tahun 2024 Komnas Perempuan mencatat 17.305 kasus, di mana 26,94% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Hal ini semakin mempertegas urgensi penanganan kasus tersebut. Dengan rata-rata 16 kasus/hari tetap menunjukkan bahwa kekerasan seksual terus terjadi setiap saat, dan yang terungkap hanyalah sebagian kecil dari realitas pahit yang terjadi di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika setiap hari kita dihadapkan pada realitas pahit bahwa ruang-ruang yang seharusnya menjadi benteng keamanan mulai dari lingkungan pendidikan, kehangatan keluarga, hingga profesionalisme tempat kerja justru bisa berubah menjadi sarang predator. Di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang terbukti secara data terus meningkat ini, sorotan acap kali justru lebih menyoroti korban daripada para pelakunya. Kita seolah terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung, di mana impunitas menjadi pupuk subur bagi keberulangan kekerasan dan budaya menyalahkan korban terus-menerus membungkam suara-suara yang membutuhkan keadilan.

Kasus Cianjur dan Pola Impunitas yang Menganga

Dari ribuan kasus yang dilaporkan ada satu kisah pilu yang mengoyak hati nurani. Tragedi gadis berusia 16 tahun asal Cianjur, Ia diperkosa oleh 12 pria secara bergiliran selama empat hari. Korban yang masih di bawah umur terperdaya oleh pelaku yang mengiming-iminginya dengan ajakan ngopi dan membelikan barang, sebelum dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain untuk mengalami kekerasan tak manusiawi. Ini adalah kisah nyata tentang hidup yang hancur, trauma yang membekas, dan keadilan yang seringkali terasa begitu jauh. Di balik setiap pengungkapan kita sering melihat pola yang sama yaitu impunitas pelaku.

Dalam kasus memilukan ini betapa mengerikannya bahwa begitu banyak individu bisa terlibat dalam tindakan keji tersebut, sementara korban harus menunggu berhari-hari untuk berhasil pulang dan melaporkan. Pola ini tak jarang diperparah oleh keraguan atau bahkan penyangkalan dari berbagai pihak. Bahkan dalam skala yang lebih besar, kita pernah menyaksikan narasi penyangkalan datang dari tokoh publik. Pernyataan seorang Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyoal diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan tragedi Mei 1998 adalah contoh nyata bagaimana upaya mengaburkan skala kekerasan dapat memperkuat impunitas. Ini menunjukkan bahwa tantangan bukan hanya pada penangkapan pelaku, tetapi juga pada melawan narasi-narasi yang menormalkan atau meragukan penderitaan korban.

Budaya Menyalahkan Korban yang Mengakar Kuat

Di sinilah letak persoalan fundamental lainnya, budaya menyalahkan korban yang masih mengakar kuat di masyarakat kita. Komnas Perempuan secara konsisten menyoroti bagaimana budaya ini menjadi hambatan serius dalam penanganan kasus. Begitu sebuah kasus terungkap, pertanyaan-pertanyaan yang muncul kerap kali bukan “Mengapa pelaku melakukan ini?” melainkan “Mengapa korban tidak melawan?” atau “Apa yang dipakai korban?” Narasi semacam ini secara sistematis mengalihkan tanggung jawab dari pundak pelaku kepada korban, menciptakan rasa malu dan ketakutan yang membuat korban enggan bersuara. Rasa takut akan stigma sosial dan kurangnya empati dari lingkungan inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa korban enggan melapor.

Faktanya, dalam banyak kasus korban mengalami freeze response karena syok atau ancaman, membuat perlawanan fisik nyaris mustahil. Posisi korban yang masih sangat lemah dalam sistem peradilan pidana yang diperparah oleh budaya menyalahkan, menjadi salah satu alasan kuat mengapa UU TPKS sangat krusial. Undang-undang ini berupaya memperkuat posisi korban dan perspektif mereka dalam proses hukum. Akibatnya, tanpa UU ini pelaku leluasa melancarkan aksinya, merasa kebal hukum dan moral karena mereka tahu bahwa sebagian masyarakat akan lebih sibuk menguliti pilihan korban daripada mengutuk kejahatan mereka

Urgensi Penegakan Hukum yang Berpihak pada Korban

Keadilan bagi korban kekerasan seksual adalah harga mati. Namun, penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Proses hukum yang panjang dan berbelit, kurangnya perspektif korban, serta ancaman reviktimisasi di ruang sidang, seringkali menjadi penghalang. Sudah saatnya kita menuntut sistem hukum yang lebih responsif, empati, dan tegas terhadap pelaku.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah sebuah langkah maju yang krusial. Namun, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 menyoroti bahwa implementasinya masih belum optimal karena baru empat dari tujuh peraturan pelaksana yang disahkan. Oleh karena itu, pengawasan ketat terhadap implementasi UU TPKS sangat krusial agar semangat dan tujuannya untuk melindungi korban benar-benar tercapai di lapangan. Ini berarti aparat penegak hukum harus dilatih secara komprehensif untuk memahami dinamika kekerasan seksual. Pelatihan ini sebaiknya mencakup aspek psikologi trauma dan pendekatan yang berpusat pada korban. Selain itu, diperlukan juga pendampingan psikologis dan hukum yang memadai bagi korban, serta pembenahan sistem peradilan agar lebih ramah korban. Keseriusan ini harus ditunjukkan dengan penjatuhan hukuman maksimal bagi pelaku dan penghapusan segala bentuk impunitas.

Pentingnya Pendidikan Seksualitas dan Pencegahan Holistik

Selain penegakan hukum, pencegahan adalah kunci. Pendidikan seksualitas yang komprehensif harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan bukan hanya di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Pendidikan ini bukan semata-mata tentang biologi reproduksi, melainkan tentang membangun pemahaman mengenai persetujuan (consent), batasan tubuh, relasi yang sehat, dan bagaimana mengenali serta melaporkan tanda-tanda kekerasan.

Di sisi lain, pendidikan ini juga harus mencakup pengajaran tentang kesetaraan gender dan penghormatan terhadap individu. Ini adalah investasi jangka panjang untuk memutus mata rantai kekerasan, membentuk generasi yang lebih sadar dan berani. Lingkungan kerja juga perlu membangun mekanisme pengaduan yang aman, kebijakan nol toleransi, dan tim respons cepat yang terlatih untuk menangani laporan kekerasan seksual, memastikan kerahasiaan, dan memberikan dukungan kepada korban.

Kesimpulannya, Kasus-kasus kekerasan seksual adalah cerminan dari kegagalan kolektif kita dalam menciptakan masyarakat yang aman dan adil. Untuk mengakhiri lingkaran setan ini, kita harus bersama-sama melawan budaya menyalahkan korban yang merusak, memastikan penegakan hukum yang kuat, dan menggalakkan pendidikan yang transformatif. Hanya dengan keberanian untuk menyuarakan kebenaran, menolak segala bentuk penyangkalan, dan keseriusan untuk bertindak, kita bisa berharap untuk masa depan di mana setiap individu merasa aman dan dihormati. Para pelaku harus merasakan konsekuensi penuh dari perbuatannya, dan korban harus mendapatkan keadilan serta pemulihan yang layak, tanpa ada lagi yang dibungkam atau disalahkan.

Daftar Pustaka

https://komnasperempuan.go.id/download-file/1316

https://news.detik.com/berita/d-8006556/gadis-cianjur-diperkosa-12-pria-selama-4-hari-di-puncak-10-pelaku-ditangkap

https://www.historia.id/article/klarifikasi-fadli-zon-soal-pemerkosaan-massal-dalam-kerusuhan-mei-1998

https://jdih.kemenpppa.go.id/dokumen-hukum/produk-hukum/undang-undang-nomor-12-tahun-2022--uu-tpks

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun