Mohon tunggu...
Masayu Kirania Rahman
Masayu Kirania Rahman Mohon Tunggu... Pelajar

I love Kim Hongjoong, movies and fictions. Did I mention "I love Kim Hongjoong" before?

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Aku, Tari, yang Hanya Sempat Menitipkan Bisik. Sudikah Kau Meneriakkannya Untukku?

23 September 2025   18:17 Diperbarui: 25 September 2025   08:38 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Butir-butir hujan yang kurindukan, rupanya adalah air mata langit yang turut meratapi kepergianku. Hening. Hangat yang selalu kurasakan dari belalai lembut ibuku, kini terasa begitu pelan, kian berubah menjadi renungan duka. Suaranya yang riuh rendah, yang biasanya selalu menenangkanku, kini terdengar seperti ucapan selamat tinggal.

Aku, Tari, tahu ini perpisahan. Tapi, bukan berarti cerita ini harus berakhir. Ini justru permulaan. Dan aku titipkan padamu, sebuah bisik yang harus kalian teriakkan: bahwa kami ingin hidup, bahwa kami butuh tempat berpijak, bahwa punah bukanlah pilihan. Dengarlah.

Gugur Sebelum Berkumandang

Source: iStock 
Source: iStock 

Ini aku, Tari. Tepat dua tahun lalu—31 Agustus 2023—Ibuku, Lisa, menyambutku dengan sukacita di hutan Tesso Nilo yang rimbun. Mereka memanggilku bayi, harapan, gadis kecil atau sekadar nama yang manis, Kalistha Lestari—yang berarti ‘kecantikan yang abadi’.  Aku tumbuh dengan langkah kecil yang gemetar, dibayangi Ibu dan kawanan kami. Di mataku, hutan adalah dunia: pepohonan yang tinggi menjulang, tanah yang lembap berlumut, jejak keluarga yang ku susuri setiap pagi.

Kehadiranku disebut simbol harapan, karena jumlah keluargaku, Gajah Sumatra, yang kian terancam. Aku masih ingat betapa ibuku selalu menempelkan belalainya ke tubuhku setiap kali aku terjatuh. Aku juga ingat saat berlari kecil bersama teman-temanku, merasakan tanah basah dan bau dedaunan yang menenangkan. Tapi perlahan tubuhku melemah. Napasku berat, kakiku tak lagi mampu menopang, dan perutku membengkak. Dan pada suatu pagi di Taman Nasional Tesso Nilo, aku tak lagi terbangun.

Lebih dari satu minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 September 2025, aku ditemukan dalam keadaan tak bernyawa oleh seorang mahout (pawang gajah). Tidak ditemukan bekas pukulan atau pun darah di tubuhku, hanya perut yang sedikit membengkak dan keheningan yang membungkam. Pemeriksaan tim dokter hewan lalu menunjuk pada satu musuh yang tak terlihat. Para manusia berbaju putih itu menyebutnya ‘virus EEHV’. Tetapi aku menyebutnya ‘pembunuh’. Sebab, dalam hitungan jam, nyawaku berhasil direnggut olehnya.

Pembunuh Senyap dari Dalam

EEHV—Elephant Endotheliotropic Herpes Virus—adalah pembunuh senyap yang mengintai bayi-bayi gajah seperti aku. Virus ini hidup laten dalam tubuh gajah dewasa tanpa gejala, tetapi bisa aktif dan mematikan bagi gajah muda berusia 1–8 tahun. Ia menyerang dari dalam, merusak pembuluh darahku, menyebabkan pendarahan internal masif yang berujung pada gagal organ. Yang paling mengerikan adalah kecepatannya. Dalam 12 hingga 72 jam sejak gejala muncul, nyawa seorang anak gajah bisa direnggut, bahkan jika sehari sebelumnya ia tampak ceria dan sehat. Tingkat kematiannya bahkan mencapai 80%—hanya dua dari sepuluh anak gajah yang berhasil selamat.

Gejala-gejalanya samar dan mudah terlewat. Di antaranya lesu dan kehilangan nafsu makan, pembengkakan pada wajah atau perut dan lidah yang membiru (sianosis) akibat kekurangan oksigen dalam darah. EEHV tidak memberi waktu bagi dokter hewan untuk bertindak. Bayi gajah sangat rentan terinfeksi karena sistem imunnya yang belum matang. Antibodi dari induk menurun di usia 1–2 tahun, tepat saat EEHV sangat mematikan. Deteksi dini cukup sulit untuk dilakukan: biaya tes PCR mahal dan tidak tersedia di semua wilayah konservasi. Pengobatan anti-virus dan transfusi plasma sering kali terlambat. Vaksin masih dalam tahap penelitian, dan harapan tertinggi adalah pencegahan melalui pemantauan kesehatan ketat.

Kematianku bukan yang pertama. Ini adalah daftar panjang yang memilukan. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada seekor anak gajah Asia berusia 16 bulan di Kebun Binatang Nasional di Washington, DC. Sementara di Riau, 2023 lalu, Damar dan Ryu—dua anak gajah seusiaku—juga jatuh karena serangan virus EEHV.

Mungkin kalian bertanya: “Virus? Bukankah ancaman terbesar gajah adalah perburuan liar atau konflik manusia?” Tidak salah, ancaman-ancaman itu nyata, tetapi ada juga musuh kecil yang tak kalah mematikan. EEHV menyerang dari dalam tubuh, dan anak-anak seperti aku tak punya cukup kekebalan untuk melawannya. Kudengar, para ahli mulai menyarankan pemeriksaan secara rutin, pemberian suplemen, dan perhatian ekstra pada anak gajah agar tragedi ini tak lagi berulang.

Angka dalam Statistik yang Murung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun