Mohon tunggu...
Lia
Lia Mohon Tunggu... Lainnya - A Science and Pop Culture Enthusiast

Passionate on environment content, science, Korea and Japanese culture.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menanti Nahkoda Indonesia dalam Mewujudkan Transisi Nyata Energi Berkelanjutan

7 Februari 2024   00:05 Diperbarui: 16 Februari 2024   20:57 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini, perubahan iklim menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Isu tersebut sebenarnya telah lama mencuat sejak para ilmuwan memperingatkan akan panasnya suhu Bumi yang kian memperparah perubahan iklim. 

Bahkan, para ilmuwan menyebutkan bahwa tahun 2023 lalu telah menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. 

Bumi Cetak Rekor Suhu Terpanas pada 2023

World Meteorological Organization (WMO) atau Badan Cuaca Dunia dibawah PBB secara resmi juga menyatakan pada 2023, Bumi mencetak rekor suhu terpanasnya sejak masa pra-industri (1850).

Tercatat, suhu global rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat Celcius di mana rekor kenaikan tertinggi terjadi antara bulan Juni dan Desember 2023. Padahal, pemerintah dunia telah berkomitmen untuk mencegah kenaikan suhu Bumi pada batas 1,5 derajat Celcius dalam Perjanjian Paris. 

Naiknya suhu Bumi ini pun membuat perubahan iklim makin nyata sehingga memicu cuaca ekstrem yang kerap menyebabkan bencana alam di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Dampaknya juga sudah bisa dirasakan seperti kekeringan parah akibat El Nino telah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia yang berujung pada gagal panen sehingga merugikan ekonomi.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), perubahan iklim berpotensi merugikan Indonesia hingga Rp 544 triliun sepanjang periode 2020 hingga 2024. Hal ini dikarenakan perubahan iklim tidak hanya menyebabkan panas ekstrem tapi turut mengganggu seluruh sistem kehidupan seperti krisis air, naiknya permukaan air laut, kekeringan ekstrem, hingga menyebarnya wabah penyakit. 

Komitmen Dunia Atasi Perubahan Iklim, Ambisi atau Omong Kosong?

Mengingat banyaknya dampak buruk perubahan iklim tersebut, para ilmuwan terus mewanti-wanti pemerintah dunia agar benar-benar berkomitmen melakukan transisi energi dan mengurangi emisi karbon global. Namun, realitanya komitmen tersebut belum sepenuhnya terlaksana. 

Pasalnya, hingga saat ini masih banyak negara yang bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil. Dalam KTT COP28 pada Desember tahun 2023 lalu, para pemimpin dunia pada akhirnya tetap bersepakat menggunakan bahan bakar penghasil emisi tinggi tersebut meski dalam drafnya menyatakan akan menghentikannya. 

Para ahli menyebut, KTT COP28 di Dubai hanya sebuah 'omong kosong' mengingat komitmen tersebut hanya sekadar janji dalam tiap pertemuan pemimpin dunia. Mirisnya lagi, pemimpin konferensi, Sultan Dubai Ahmed Al Jaber mengatakan bahwa 'tidak ada ilmu pengetahuan' yang mendukung penghentian pemakaian bahan bakar fosil tersebut. 

Padahal, ada banyak sumber energi terbarukan yang sebenarnya dapat diimplementasikan oleh negara-negara pengguna energi kotor tersebut. Sejumlah sumber energi terbarukan seperti panel surya, kincir air, geotermal, dan lainnya adalah contoh pemakaian bahan bakar ramah lingkungan yang sudah banyak diterapkan. 

Di sisi lain, United Nations for Environment Program (UNEP) telah mencatat bahwa hampir 90% karbon dioksida global saat ini berasal dari bahan bakar fosil. Lebih lanjut, UNEP melaporkan bahwa ternyata data produksi energi kotor seperti batu bara, minyak, dan gas di 20 negara produsen utama malah tidak sesuai dengan batasan produksi global dalam Perjanjian Paris. 

Tentunya, hal ini akan jadi malapetaka jika dunia tak segera tobat dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Pada akhirnya, hasil dari setiap pertemuan pemimpin dunia guna mengatasi perubahan iklim tersebut hanya sekadar ruang mimbar bagi para elite global. 

Tidak hanya dalam skala global, kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Langkah menuju Net Zero Emission di dalam negeri justru diperparah oleh kerusakan sumber daya alam (SDA). 

Net Zero Emission di Indonesia Dibelenggu Eksploitasi SDA

Indonesia memang dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alamnya terutama pada bahan bakar fosil. Namun, kekayaan ini kian menjerumuskan Indonesia untuk terus memanfaatkan energi kotor. 

UNEP melaporkan bahwa Indonesia termasuk negara yang ekonominya sangat bergantung pada energi fosil. Tercatat, industri minyak dan gas masih menyumbang hingga 12% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

Saat ini, data Kementerian ESDM menunjukkan, pemanfaatan energi terbarukan secara nasional baru mencapai 12,3% pada 2022. Sedangkan pemerintah Indonesia menargetkan angkanya mencapai 23% pada 2025. Target yang rasanya hampir tidak mungkin mengingat batu bara masih merajai sumber energi di tanah air. 

Bisa dikatakan transisi energi di Indonesia berjalan lambat dan ironisnya lagi hal tersebut disertai pemanfaatan SDA secara ugal-ugalan. Ada dua Program Strategis Nasional (PSN) yang digagas pemerintah saat ini, yakni food estate dan hilirisasi. 

Kedua proyek tersebut amat dibanggakan lantaran menguntungkan secara ekonomi. Realitanya, proyek-proyek inilah yang telah membabat jutaan hektar hutan di Indonesia. 

Misalnya pada food estate, program yang dicanangkan sejak era Presiden Soeharto ini berhasil menggunduli 1,45 juta hektar hutan di lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lalu, pada era pemerintahan Jokowi dilaporkan lebih dari 1.500 hektar hutan di Kalteng dibuka untuk ditanami komoditas food estate. 

Sementara pada program hilirisasi, Climate Rights International (CRI) melaporkan telah terjadi kerusakan hutan setidaknya seluas 6.000 lapangan sepak bola akibat aktivitas tambang nikel. Pemerintah menilai nikel sangat ekonomis sebagai salah satu bahan dalam industri mobil listrik. 

Namun, keuntungan yang didapatkan jelas tak sepadan dengan kerusakan yang ada. Baik food estate maupun hilirisasi tambang nikel tidak lebih dari keserakahan penguasa dengan dalih peningkatan ekonomi bagi masyarakat. 

Bukannya sejahtera, malah mengancam masyarakat adat yang selama ini kehidupannya bergantung pada hutan. Sebab itu, patut dipertanyakan "ekonomi siapa yang sebenarnya ditingkatkan". 

Di sisi lain, pemerintah juga berupaya mendorong transisi energi lewat pembangunan PLTS Terapung di Waduk Cirata dan subsidi kendaraan listrik. Terkesan ramah lingkungan, tapi di balik itu hutan sebagai penyerap karbon dunia turut dibabat habis-habisan. 

Ibaratnya, transisi energi ini tak lebih dari sekadar formalitas layaknya pemimpin global dalam KTT COP28. Tak mengherankan jika kebijakan transisi energi di Indonesia pantas disebut "abu-abu" alias tidak jelas arahnya ke mana. 

Mengharap Transisi Energi Nyata pada Pemimpin Kedepannya.

Indonesia sekarang ini sedang menuju pemilu 2024. Tentunya, ada banyak harapan untuk menguatkan kembali komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. 

Pergantian pemimpin diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik terhadap kelestarian lingkungan dan alam Indonesia. Bukan tidak mungkin untuk mewujudkan target transisi energi sebesar 23% pada 2025 jika semua pihak benar-benar berkomitmen ke arah sana. 

Besar harapannya agar pemimpin berikutnya dapat menjadi nahkoda yang mampu menghadirkan transisi energi yang berkeadilan. Dengan begitu, pemanfaatan energi berkelanjutan bisa direalisasikan tanpa harus mengorbankan sumber daya alam demi kemajuan Indonesia. 

Di samping itu, tulisan ini memang hanya sekadar gagasan dalam bentuk opini semata. Meski demikian, inilah salah satu suara rakyat yang harus terus kita sebarluaskan. Melalui gagasan ini, tertuang kritik berdasarkan fakta dan ruang bicara untuk menyampaikan aspirasi khususnya mengenai pemanfaatan energi berkelanjutan. 

Setidaknya dalam gagasan tersebut, terselip banyak masukan dan harapan agar kedepannya pemimpin negeri ini berhasil berlabuh menjadi nahkoda yang sustainable untuk lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun