"Bekisar Merah"
Begitulah judulnya di sampul. Bagi orang awam, tentu istilah "bekisar" tampak asing. Kutebak itu adalah seekor binatang, dan memang benar. Bekisar adalah sebutan pada ayam yang berasal dari persilangan ayam kampung dan ayam hutan. Istilah ini pun disematkan pada perempuan cantik yang tidak secantik nasibnya.
Namanya Lasiyah, kerap dipanggil Lasi di kampungnya yang bernama Karangsoga. Seorang perempuan cantik, campuran pribumi dengan Jepang. Kulitnya putih, matanya sedikit sipit dengan bola mata yang hitam pekat disertai kelopak tebal, dan berlesung pipi. Dia telah bersuami, Darsa, seorang penyadap nira di Karangsoga. Meski belum dikaruniai anak di usia pernikahan yang telah menginjak tiga tahun tersebut, hubungan keduanya masih harmonis.
Naas, peristiwa kecelakaan menimpa Darsa akibat terjatuh dari pohon kelapa yang sedang disadapnya. Dengan berbagai drama kesedihan diiringi keikhlasan dengan harapan kesembuhan dari Sang Pencipta, akhirnya Darsa mampu sembuh. Ini semua juga berkat bantuan Bunek, seorang perempuan tua yang dikenal dengan keahliannya sebagai dukun beranak.Â
Ternyata, di balik kesembuhan Darsa muncul malapetaka baru yang membuat rumah tangga Lasi dan Darsa di ujung tanduk. Berat hati, Lasi meninggalkan desa tempat kelahiran sekaligus ia dibesarkan. Di tempat di mana ia sering dicemooh karena dianggap sebagai anak hasil peninggalan tentara Jepang, dan kini ia disakiti oleh perkara suaminya sendiri. Darsa memang sembuh, tapi kesembuhannya telah membuatnya harus bertanggungjawab atas kehamilan Sipah. Sebagai bentuk balas budi, kejantanan yang baru sembuh tersebut harus dibagi pada anak gadis Bunek.Â
Bagai guntur di siang hari, hati Lasi amat tersakiti hingga ia memilih minggat tanpa permisi. Perginya Lasi membawa misteri bagi kelanjutan hidupnya di masa mendatang. Pertemuannya dengan ibukota negeri ini perlahan membawa perubahan nasib pada dirinya. Kecantikannya yang selalu bisa menekuk lutut kaum pria yang menyukai perempuan berwajah Jepang telah menciptakan keberuntungan pada hidupnya. Kemegahan dan kesenangan dunia telah diraihnya tanpa susah payah, bahkan melalui Bu Lanting semuanya tampak dengan mudah dicapai.Â
Lasi, perempuan desa yang sangat polos ini memang penurut. Sifatnya yang tidak suka berutang budi membuatnya kini menjadi Nyonya Slipi, istri seorang Direktur Tata Niaga. Harga kecantikannya layak untuk mendapatkan itu semua. Balutan kimono merah yang dikenakannya juga makin menunjukkan sisi paras dan eloknya perempuan Jepang. Pantas ia layak menyandang gelar "Bekisar Merah", perempuan yang lahir dari seorang pribumi dan lelaki Jepang.
Di tengah-tengah perjalanan akan menjadi seorang Nyonya, Lasi diberi kesempatan Sang Pencipta bertemua dengan Kanjat, teman masa kecilnya yang ternyata pujaan hati yang sebenarnya. Namun, hati Lasi menolak pria terpelajar yang akan segera lulus insinyur tersebut. Dirinya terlalu insecure bisa menikah dengan anak Pak Tir, tengkulak gula aren yang terkenal kekayaannya di Karangsoga. Keputusan Lasi pun berujung pada nasibnya yang hidup mewah namun hatinya terus gelisah.Â
Kisah Bekisar Merah dalam novel Ahmad Tohari ini memang menarik. Gaya bahasa yang dituturkan mampu mengilustrasikan keelokan dan kehangatan Desa Karangsoga beserta kehidupan masyarakatnya dengan diksi yang indah. Seolah membawa pembaca mengarungi kehidupan masyarakat di Karangsoga tersebut. Namun, sejujurnya bagi saya tokoh "Lasi" ini cukup mengesalkan. Apalagi untuk kaum perempuan masa kini yang sering memperjuangkan feminisme di tengah-tengah budaya patriarki masyarakat Indonesia.Â
Lasi, sebagai tokoh utama perempuan dalam cerita tersebut terkadang mengesalkan lantaran sifatnya yang begitu polos, penurut, serta tidak memiliki keberanian untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Memang benar dia merasa sakit hati akan kelakuan suaminya, tapi bukan berarti dia pula harus memilih hidup bersama lelaki tua yang sebenarnya ia rela dinikahi karena merasa sungkan dan pasrah akan nasibnya.Â
Bagi perempuan masa kini, menikah bukan sekadar gelimang harta atau bahkan cinta sejati semata. Menikah adalah hal yang sakral dan diperhitungkan betul. Mungkin, wajar saja Lasi memiliki sifat tersebut karena memang belum terbuka pandangannya. Sayang sekali, sebenarnya cerita ini sangatlah menarik. Hanya saja, tokoh Lasi ini sepertinya dapat menuai kekesalan bagi para perempuan yang memilih hidup masing-masing dan bebas dari belenggu budaya patriarki. Lasi adalah tokoh yang cocok untuk penggambaran perempuan masa dulu, tapi di masa sekarang sepertinya kurang relevan meski tokoh-tokoh seperti Lasi ini masih ada.Â