Mohon tunggu...
Lia Pram
Lia Pram Mohon Tunggu... Freelancer - a writer

"Just life, we're still good without luck. Even if you lose your way, keep taking light steps that make a click clacking sound. Take your time. There's no right, honestly perhaps everyone wants to cry. Maybe they get angry because they don't want to get sad." –Lee Jieun

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pasca PHK: Kekuatan untuk Bangkit

20 Agustus 2023   21:25 Diperbarui: 22 Agustus 2023   10:26 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengangguran | Sumber: Freepik

Halo.

Sudah lama sekali, ya. Terakhir saya menulis di sini pada tahun 2020, itu pun karena pekerjaan.

Banyak sekali yang terjadi selama tiga tahun belakangan: tempat kerja baru, kolega baru, tanggung jawab baru, anggota keluarga baru, sampai pengalaman baru terkena layoff (PHK).

Di masa-masa itu saya terlalu sibuk untuk menjalin hubungan dengan pekerjaan dan tanggung jawab saya, sampai saya lupa untuk berhubungan dengan diri saya sendiri. Perlahan-lahan saya kehilangan minat terbesar yang sudah menjadi bagian dari diri saya sejak kecil: membaca dan menulis.

Bahkan hingga detik ini, sulit sekali rasanya bagi saya untuk menikmati kembali kegiatan membaca. Saya lebih suka membaca utas di Twitter—yang sayangnya sekarang sudah berubah menjadi X.com—atau melakukan mindless scrolling selama berjam-jam di LinkedIn maupun Instagram sambil berharap bisa menemukan lowongan yang tepat.


Tapi mulai semalam saya mencoba melakukan perubahan. Saya mulai membaca buku lagi meskipun tidak bisa langsung selesai dalam sekali duduk seperti dahulu.

Saya membeli Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Berpikir Positif, menyelesaikan delapan dari seratus satu cerita yang ada, lalu berpindah ke kisah Oei Hui Lan: Kisah Putri Sang Raja Gula dari Semarang di aplikasi iPusnas.

Saya senang. Senang sekali.

Meski hanya sedikit, akhirnya ada progress untuk kembali mencintai minat baca saya yang sebelumnya terkikis oleh kesibukan dan perjalanan pulang-pergi dari rumah hingga ke kantor. 

Di tengah rasa lelah untuk mengejar ketinggalan agar bisa scale up seperti teman-teman saya, juga rasa pengar setelah sekitar delapan jam menuntaskan kewajiban di laptop, kadang tebersit keinginan untuk menyelesaikan buku Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan karya Jeon Seung-hwan. 

Tetapi hal itu sering saya urungkan karena baru menghabiskan seperempat bagian buku, saya sudah menangis. Terlebih setelah saya terkena PHK, saya semakin tidak kuat melanjutkannya karena kata-kata dalam buku tersebut begitu mengena.

Sebenarnya, pada saat mengetik tulisan ini, saya sudah memasuki bulan kedelapan menyandang status sebagai pengangguran.

Saya masih ingat betul. 8 November 2021 adalah hari di mana saya mulai bekerja di salah satu perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia. 

Meski tertatih-tatih karena ada banyak hal yang harus saya kuasai dengan cepat agar bisa deliver pekerjaan dengan maksimal, saya senang sekali! Rekan-rekan dan lingkungan kerja yang begitu suportif, atasan saya pun luar biasa. 

Sesi one-on-one bersama atasan saya selalu mendebarkan namun penuh semangat karena hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit saja yang keluar dari mulutnya ilmu semua.

Terus terang, saya adalah orang yang sedikit pemalu dan terkadang canggung. Tapi berkat berbagai dorongan dan dukungan, serta melihat bagaimana rekan-rekan saya bekerja, saya tergerak untuk sedikit demi sedikit mulai lebih berani bersuara, menyatakan pendapat, diberi challenge untuk menjadi PIC beberapa proyek dalam waktu dekat, mengambil beberapa keputusan penting, bahkan memberikan materi melalui webinar di hadapan ratusan online sellers di Indonesia. Saya banyak bertumbuh di sini.

Saya punya banyak teladan di sana sehingga saya bertekad, suatu saat nanti jika saya menjadi seorang leader, saya ingin bisa seperti mereka. 

Saya mulai merencanakan banyak hal, termasuk menabung untuk mengikuti kursus saham dan digital marketing, kelas yoga, mencari tempat hunian baru, menabung untuk membantu kebutuhan keponakan dan bisnis nastar kakak ipar saya, hingga bercita-cita ingin pensiun di perusahaan ini saja. Saya ingin mengembangkan karier di sini, tidak mau pindah ke perusahaan lain.

Ada satu momen di mana setiap Kamis kami mengadakan internal meeting untuk sesi sharing. Saat itu, salah seorang rekan kerja saya mengangkat topik mengenai cita-cita.

Pembahasan tersebut berakhir dengan saya yang tidak berhenti kembali memikirkan mimpi, passion, dan purpose saya sebenarnya dalam berkarier. Apa tujuan saya dalam hidup ini? Apa yang saya kejar, nikmati, dan seriusi? Adakah mimpi atau cita-cita terpendam yang belum terwujud, yang bisa menjadi pemantik agar saya terus berusaha keras dan menjalani hidup dengan "lebih hidup"?

Sejak kecil, saya selalu menggebu-gebu ingin menjadi seorang penulis ataupun editor, tapi tidak sedikit pun karya saya yang pernah terselesaikan. Jangankan dimuat di majalah atau diterbitkan menjadi sebuah buku, terkadang baru menyelesaikan dua-tiga bab cerita saja sudah saya tinggalkan. Apakah passion saya masih menjadi seorang penulis?

Sejak saat itu, setiap malam, saya mencoba menggali apa yang sebenarnya saya inginkan. Saya break down satu per satu: apa saja minat saya, apa yang bisa dijadikan karier dan terus berkembang, apakah saya yakin akan bertahan menggelutinya, bagaimana jika pekerjaan tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang stabil, hingga mencoba mengingat momen-momen yang saya sukai, yang saya syukuri, yang membuat saya puas, pencapaian-pencapaian saya, sampai hal-hal super menjengkelkan yang tidak ingin dilalui kembali selama saya bekerja dan membangun hubungan dengan orang lain.

Setelah melalui minggu-minggu penuh pertanyaan, akhirnya saya mengambil sebuah keputusan: saya ingin switch career menjadi HR. 

Sejak dulu, saya memang memiliki minat besar terhadap dunia psikologi, bahkan sempat ingin mengambil jurusan Psikologi ketika kuliah. Tetapi di minggu-minggu terakhir sebelum mendaftarkan diri untuk SNMPTN, setelah banyak berdiskusi dengan Bapak, akhirnya saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena keinginan saya saat itu untuk menjadi seorang penulis dan menyelami dunia media kreatif justru lebih kuat.

Kenapa ingin menjadi HR? Well, I'm passionate about people and I have a genuine interest in them, and I want to support them to scale up. 

Berkaca dari pengalaman saya bekerja di perusahaan tersebut, saya percaya bahwa orang-orang di dalamnya adalah aset terbesar bagi suatu perusahaan untuk terus berkembang. 

Bukankah untuk membangun sebuah perusahaan, terlebih dahulu kita harus membangun orang-orang di dalamnya? Finding the best talent and developing them, also creating a positive culture as a business partner, saya rasa itu bisa meningkatkan kreativitas dan produktivitas, serta mendorong karyawan untuk terus berusaha memberikan yang terbaik karena mereka merasakan bahwa lingkungan kerjanya positif dan perusahaan pun memberi dukungan dengan baik.

Saya mulai mencari tahu bagaimana caranya switch career, menelusuri daftar HR bootcamp bersertifikasi dengan harga ramah di kantong yang bisa saya ikuti, menyusun kata-kata dan argumen untuk disampaikan kepada leader saya di tahun depan (saat itu kami sedang sibuk menyusun laporan kinerja akhir tahun dan perencanaan untuk 2023) agar bisa meyakinkan dirinya bahwa saya mantap untuk switch career. 

Saya juga mencari info perihal internal hiring, bahkan mencoba mencari tahu bagaimana salah satu anggota tim yang dahulu akhirnya bisa pindah ke divisi People.

I was planning to talk to my leader about this when suddenly the news hit me like a bullet. Perusahaan startup dan teknologi di berbagai belahan dunia mulai melakukan PHK massal. Saya ketakutan. Jika begini terus, bukan tidak mungkin perusahaan di tempat saya bekerja ini juga akan melakukan hal yang sama.

... Dan benar saja. Peristiwa itu terjadi. Sialnya, saya kena, begitu pula dua orang lainnya di tim saya. Tim kami memang salah satu yang paling banyak terdampak di direktorat perusahaan pada saat itu. 

Saya masih ingat... malam itu, ketika akhirnya muncul sebuah surel masuk yang berisi permintaan maaf dan menginfokan bahwa saya termasuk salah satu karyawan yang terdampak, rasanya kaki saya seperti tidak menapak lantai. Telapak tangan saya dingin dan badan saya lemas, tetapi tidak ada setitik pun air mata yang menetes di pipi saya.

Saya baru setahun berkontribusi di perusahaan tersebut. Belum banyak challenge yang sempat saya eksplorasi, masih ada banyak pencapaian pula yang ingin saya raih di sana. Saya pun hanya bisa menutup akhir tahun seperti orang linglung karena semua rencana yang telah disusun sejak lama menjadi berantakan tak karuan.

Pasca kejadian tersebut, tidak pernah saya menangis sekalipun di depan teman-teman terdekat, bahkan keluarga. Saya berulang kali merapal mantra, "This isn't the end. What doesn't kill you make you stronger." Tetapi ketika tiba harinya exit interview, saya tidak bisa menahan tangis di depan HR dan leader saya. Meski berulang kali leader saya meyakinkan bahwa ini bukan soal performa kerja, melainkan restrukturisasi yang tidak bisa dihindari, saya tetap tidak bisa berhenti menggigit bibir dan membiarkan masker saya basah karena air mata.

Ada satu hal yang masih membuat saya bingung hingga detik ini. Saat exit interview, tidak sedikit pun muncul rasa marah. Justru kata-kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu adalah, "Are you okay?" karena melihat kedua mata leader saya sembap bekas air mata. Bahkan ketika saya menceritakan hal tersebut kepada salah seorang teman saya, dia mengata-ngatai saya bodoh.

"Bodoh dan terlalu baik itu beda tipis, tapi lo punya keduanya. Harusnya pas bos lo bilang, 'Silakan kalau kamu mau mau marah sama aku, mau nangis di sini sepuasnya, that's okay,' ya lo marah, dong! Lo protes, kok bisa kejadian kayak gini sampai banyak karyawan kena dan lo juga kena!? Bisa-bisanya lo malah nanyain kondisi bos lo. Duuhh..."

Maybe I should've done that. But I wasn't sure... I just didn't know what to do. I was already tired because things weren't going as planned. PHK ribuan karyawan itu tidak mudah, tidak murah, dan tidak seharusnya terjadi. 

Kalau kata teman saya, "In the end, we're just numbers to the company." Tapi satu hal yang yakini: bahwa keputusan tersebut juga pasti berat diambil oleh leader saya, leaders lainnya, direksi, dan stakeholders papan atas lainnya di perusahaan. 

Realistically speaking, tidak ada perusahaan yang sempurna. Kalau perampingan menjadi keputusan terakhir yang harus diambil oleh para petinggi, divisi yang paling awal terdampak sudah pastilah mereka yang mostly bersifat support or operational dan bukan business-centered, atau justru berdampak pada karyawan yang belum lama menjadi bagian dari perusahaan.

Toh pasca-PHK semua hak saya dipenuhi oleh perusahaan. Kalau perusahaannya mangkir dari kewajiban tersebut, mungkin akan lain ceritanya.

But the problem started here. Ternyata saya tidak bisa sepenuhnya legawa. Mungkin memang seharusnya saya marah seperti yang teman saya katakan. Sehingga proses berduka yang seharusnya saya lewati secara berurutan tidak saya paksa langsung loncat ke tahap akhir: acceptance. Tetapi sekeras apa pun berusaha, saya tetap tidak bisa menyalahkan leader saya maupun perusahaan. Yang ada justru saya malah semakin banyak menyalahkan diri sendiri, semakin mempertanyakan kapabilitas saya, dan saya pun semakin terpuruk dari waktu ke waktu.

Tiga bulan pertama saya habiskan dengan senyuman. Saat orang lain menanyakan keadaan dan bagaimana perasaan saya pasca-PHK, saya masih bisa tersenyum dan berkata, "Everything will be okay." 

Saya masih bisa positive thinking, menghabiskan waktu dengan tawa bersama keponakan, menjadi salah satu panitia penanggung jawab untuk acara pernikahan sepupu, bahkan saya masih bersemangat untuk jalan-jalan dan menghadiri pernikahan teman di Semarang sekaligus reuni kecil-kecilan. 

Saya pun akhirnya berani mendaftarkan diri untuk mengikuti HR bootcamp dan mengambil sertifikasi BNSP yang harganya kalau dipikir-pikir lagi tidak sebanding dengan pelatihan yang saya terima dan bikin mau nangis.

Di masa-masa itu pula, salah seorang rekan setim kemudian terkena PHK gelombang kedua. Kami membentuk group chat yang tujuannya untuk saling support dan share lowongan. 

Saya paling bersemangat saat itu—atau setidaknya, saya berusaha bersemangat—karena biar bagaimanapun, hadirnya negative vibes justru akan semakin menciutkan tekad untuk lolos dari status pengangguran. Yang saya pikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya supaya bisa turut menyemangati teman-teman yang senasib dan saling membantu agar tetap tercipta suasana yang kondusif di tengah carut-marut berita PHK massal di mana-mana.

Kalau dilihat-lihat lagi daftar yang kami susun, sampai detik ini tercatat ada 521 lowongan. Itu pun belum termasuk puluhan, atau mungkin ratusan lowongan lainnya yang entah saya maupun kedua teman lainnya lupa tulis. Semua lowongan yang berada di ranah content writing, learning and development, marketing communication, sampai management trainee, semuanya saya masukkan. 

Peduli setan kalau syarat management trainee sebagian besar membatasi umur dan pengalaman kerja yang hanya sampai satu-dua tahun. Saya berpikir, kalau memang sudah rezekinya, siapa tahu Tuhan pun bakal kasih meski syarat yang dituliskan dalam lowongan terlihat mustahil.

Saya pun akhirnya mencoba realistis. Tidak jadi HR tidak apa-apa, mungkin memang belum saatnya. Masih berkarier di area content writing dan marketing communication pun tidak masalah, yang penting perusahaan tersebut stabil dan karier saya bisa berkembang di sana sebagai seorang pekerja full-time (permanen). Sebab saya menyadari masih ada tagihan Telkom dan IPL yang harus dibayar setiap bulannya, juga impian lainnya yang belum saya raih: membantu meringankan beban Bapak yang sudah pensiun dan masih membayarkan tagihan listrik, air, dan internet rumah setiap bulannya. Saya pun tidak bisa terus-terusan bergantung pada pesangon dan dana JKP.

Doa saya sepertinya dijawab oleh Tuhan. Saya mendapat panggilan wawancara, bahkan saat perjalanan pulang selepas wawancara saya dikabari bahwa saya diterima. Secepat itu. Namun setelah melalui beragam pertimbangan satu dan lain hal, peluang tersebut saya lepas. Saya pun kemudian mendapat kesempatan di perusahaan yang lebih besar, yaitu salah satu perusahaan otomotif asal Jepang. 

Di saat yang bersamaan, saya juga mengikuti proses rekrutmen management trainee di salah satu perusahaan retail ternama yang berasal dari negara yang sama pula. Rekrutmen Bersama BUMN pun saya ikuti, meski harus gagal di tahap awal karena nilai TKD saya mepet sekali, kurang satu angka dari batas ambang yang sudah ditentukan (padahal saya sudah banyak belajar dan semangat sekali akhirnya saya bisa apply lowongan HR karena syaratnya menerima jurusan saya juga).

Pada akhirnya, saya juga gagal di perusahaan otomotif tersebut. Padahal sudah sampai tahap akhir, yaitu wawancara dengan C-level. 

Saya terus mencoba menyemangati diri sendiri, "Baiklah, tidak apa-apa. Ayo, berjuang lagi," meski sebenarnya dari hari ke hari batin saya semakin diliputi rasa cemas. Bagaimana kalau di perusahaan retail ini saya juga gagal? Bagaimana kalau saya pada akhirnya menganggur dalam jangka waktu lama sampai tidak ada perusahaan yang mau melirik saya? Bagaimana dengan umur saya yang tahun depan sudah memasuki kepala tiga, apakah masih ada kesempatan di luar sana untuk saya?

Lucunya, di saat-saat terpuruk seperti itu, saya masih sempat menyemangati teman-teman saya untuk tidak patah semangat. Saya juga rajin berbagi tips kepada mereka seputar pengalaman wawancara saya, baik dengan level user maupun c-level. 

Saya berusaha untuk tetap optimis, bahwa support yang tak terbendung dari mana pun asalnya suatu saat akan membuahkan hasil yang manis. Oleh karena itu, saya terus berusaha memberi dukungan, sharing lowongan—berharap suatu saat kami bisa bangkit kembali dan menemukan titik terang.

Management trainee di perusahaan retail tersebut menjadi satu-satunya harapan saya, karena setelahnya saya masih belum mendapat panggilan lagi di tempat lain (tapi saya juga masih tetap aktif melamar ke sana-sini, kok). Meski deg-degan tak karuan karena pegangan saya kini tinggal satu, tak henti-hentinya saya mengucap beribu syukur sebab pada akhirnya bisa lolos sampai tahap store internship. 

Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa di usia segini saya masih bisa mendapat kesempatan untuk mengikuti proses rekrutmen management trainee. 

Duluuu sekali saya pernah mengikuti proses rekrutmen untuk program yang sama di salah satu bank swasta dan perusahaan multinasional asal Sri Lanka yang bergerak di bidang fashion. Keduanya gagal di tahap akhir.

Salah satu hal yang membuat saya semakin bahagia adalah rekan setim saya yang sama-sama terdampak PHK juga lolos sampai tahap yang sama! 

Saya bersyukur sekali pernah membagi info lowongan ini kepadanya, jadi kami bisa sama-sama saling share pengalaman, lalu berdiskusi mengenai apa yang harus dilakukan untuk tahap selanjutnya agar kami berdua lolos. 

Sepanjang mengikuti proses rekrutmen, saya sering berkata dalam hati, "Jadi ini yang namanya kekuatan berbagi. Senang rasanya bisa men-support orang!"

Saya sudah membayangkan jika kami berdua diterima. Apalagi jika mendapat penempatan di regional yang sama, wah, senang sekali rasanya masih bisa saling bertemu dan bercerita banyak. Tapi membayangkan saya akan ditempatkan di area lainnya pun juga tak kalah seru, sebab memang sedari kecil saya terbiasa pindah dari satu kota ke kota lainnya karena pekerjaan Bapak. 

Di Nusantara ini, pulau besar yang belum pernah betul-betul saya tinggali adalah Sulawesi (saya hanya sempat tinggal di Makassar sekitar seminggu untuk transit saat proses perpindahan ke Jayapura, serta ke Manado untuk membantu proses pindahan Bapak yang saat itu sudah ditinggal Mama berpulang).

Saya juga belum pernah merasakan tinggal lama di Bali dan Kalimantan. Hmm... di Samarinda sebenarnya sempat tinggal beberapa tahun, sih, tapi saat itu saya masih balita jadi belum ingat banyak.

Saya bahkan sampai berandai-andai, "Bagaimana kalau sampai ditempatkan di area yang benar-benar belum pernah didatangi sebelumnya—Batam misalnya? Wah, pasti seru!" Saat itu saya benar-benar siap, tidak sabar untuk menerima tantangan dan memulai petualangan baru.

Masa-masa internship pun dilalui dengan menyenangkan. Walau sempat kaget karena lumayan physically challenging, but overall, saya suka! Yang awalnya deg-degan setiap didekati customers, lama-lama malah ingin dicari dan inisiatif menawarkan bantuan ke customers. Padahal internship-nya cuma lima hari, tapi rasa senang dan syukurnya bisa bikin saya di perjalanan pulang senyum-senyum sendiri. I learned something new everyday karena pekerjaannya memang begitu dinamis. Kakak-kakak staf tokonya pun super ramah dan baik, sangat cekatan serta ringan tangan. Saya bahkan belajar banyak sekali dari mereka.

I also made some mistakes, but I quickly learnt from that and tried my best not to repeat the same one. Saya bahkan sudah membayangkan jika suatu saat menjadi Store Manager di sini, I'm gonna reciprocate all the help, kindness, and lesson I received, and will truly emphasize yang namanya staff development to enhance the overall customer experience, and also for them to advance their careers.

Saya bangga sekali karena mampu melalui serangkaian proses rekrutmen yang begitu panjang (Februari - Juli). Akhirnya, saya bisa tiba di tahap akhir.

I still remember it, on the first week of July, I went to Jakarta with high hopes. I was full of spirit and getting ready for my last interview, again, with C-level. I have prepared everything: my clothes, my shoes... I even bought a new bag! Saya juga sudah research banyak, mengulang materi selama internship, mengingat kritik, saran—pokoknya apa saja yang pernah diajarkan store managers saya selama internship. 

Saya bahkan berdiskusi banyak dengan teman yang saya ceritakan sebelumnya, termasuk dengan teman-teman magang (saya membuat WhatsApp group agar kami bisa saling sharing serta belajar bersama untuk persiapan wawancara akhir)...

... only to find that my dream would only be just a dream.

Sehari setelah wawancara, sore itu, saya bangun dari tidur siang dengan perasaan kosong. Saya baru saja membuka surel yang memberitahu bahwa saya tidak lolos. I didn't cry when I first received an email regarding the layoff, but this hit me so hard that I cried in my sleep that whole night—weeping and whimpering like a cold, limping dog.

I stopped contacting my family in my hometown. I just wanted to be alone and coped everything at my own pace. The harder I tried, the worse it got. I couldn't stop blaming myself, I even ate instant noodles most of the time during the first three days since I got rejected. 

Saya mencoba mengalihkan perasaan kalut tersebut dengan fokus pada kegiatan bersih-bersih—saya membersihkan seisi unit saya sendirian selama empat hari berturut-turut sampai tangan kanan saya cedera. 

Hal ini tentu mengingatkan saya pada perasaan kehilangan saat ditinggal Mama delapan tahun silam—pada saat itu, saya sering terbangun saat dini hari sampai-sampai saya memutuskan untuk menyikat kamar mandi hingga subuh agar tubuh menjadi lelah dan bisa tidur kembali.

Untungnya, salah seorang teman mengajak nonton konser Epik High, trio hiphop asal Korea Selatan favorit saya, dengan tiket pemberian alias gratis. Daripada mengurung diri dan memikirkan hal yang bukan-bukan, akhirnya saya ambil kesempatan emas tersebut. 

Saya berterima kasih sekali kepada teman-teman saya hari itu karena, setidaknya, sudah membawa saya untuk keluar dari kegelapan walau hanya sesaat. Menyenangkan sekali menonton konser tersebut, saya bahkan sempat melompat-lompat mengikuti hentakan lagu. Namun, ketika sudah pulang dan tiba di atas kasur, perasaan sedih itu kembali menghantui.

Berulang kali saya menjerit dalam hati dengan nada frustasi, "Why me?" namun jujur saja, bahkan hingga detik ini pun, saya belum menemukan jawaban konkretnya. 

Bapak tiba di Jakarta minggu depannya dan mencoba menenangkan saya. Kalimat demi kalimat klise yang keluar dari mulut beliau—seperti, "Ini adalah ujian," atau, "Semua sudah takdir Tuhan," atau bahkan, "Pasti ada hikmahnya,"—sambil sesekali membandingkan kesialan yang sedang saya alami dengan jatuh-bangun beberapa sosok public figure yang beliau kenal. 

Pada akhirnya semua itu hanya masuk ke telinga kiri lalu keluar melalui telinga kanan, berputar-putar dengan nada gemeresik layaknya pita kaset yang telah usang.

Dalam perjalanan pulang menuju kampung halaman, banyak hal yang terlintas dalam benak saya. Bisakah saya bangkit? Apakah saya bisa tersenyum dan bangga pada diri saya sendiri seperti dulu lagi? Kapan Tuhan akan membukakan jalan kembali? Atau saya harus banting setir saja mencoba berbisnis dengan mengembangkan usaha nastar milik kakak ipar saya meski saya tidak punya pengalaman entrepreneurship sama sekali?

Saya pun berpura-pura tidur di dalam mobil, berharap agar Bapak dan Ibu tidak menanyai saya macam-macam. Saya hanya tidak tahu lagi harus merespons seperti apa, takut kalau setiap jawaban yang meluncur dari mulut saya justru akan menyakiti perasaan mereka. 

Saya sadar betul, saat itu, karena tidak ingin menangis lagi dan terlihat lemah, saya lebih sering memutuskan untuk menjadi keras kepala dan terlihat marah sepanjang waktu. Kelakuan saya betul-betul seperti anak kecil.

Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya bertingkah seperti ini sebelumnya. Pastinya sudah lama sekali. Sesekali, sambil menghitung jumlah mobil yang berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi di jalan tol, saya kembali bertanya-tanya, "Kenapa dulu saya memutuskan untuk tetap tertawa dan terlihat tegar, ya? Kenapa saya senang sekali mengelabui perasaan saya dan meyakinkan diri sendiri bahwa saya ini baik-baik saja? Kenapa saya berusaha untuk optimis? Sekarang, ketika semua emosi ini menyeruak keluar, rasanya jadi lebih sulit untuk menahan diri."

Rasanya ingin sekali mengamuk. Tetapi saya ingat kata-kata Bapak ketika pertama kali datang menemui saya saat itu: jangan marah. Penting bagi saya untuk tetap menjaga perasaan orang lain dalam kondisi apa pun. Apalagi, semenjak saya absen mengontak keluarga, orang-orang rumah menjadi khawatir.

Beliau bilang, diamnya saya menimbulkan perasaan bersalah untuk mereka, padahal mereka tidak salah apa-apa. Suasana di rumah jadi tidak enak. Kalau dipikir-pikir sekarang, ternyata lucu juga, ya... karena ketika kita sedang terpuruk dan butuh validasi emosi pun ternyata di saat yang bersamaan, kita tetap harus mengutamakan orang lain di atas segalanya.

Tepat ketika saya hendak meneteskan air mata diam-diam, sebuah surel masuk. Isinya panggilan psikotes dan wawancara untuk Supervisory Development Program di salah satu perusahaan farmasi ternama. Saya buru-buru memberitahu Bapak, mengatakan bahwa tesnya akan berlangsung lusa di Jogja. Saya deg-degan, selain karena tidak ada baju formal yang saya bawa pulang ke rumah, pikiran-pikiran negatif saya langsung tiba-tiba menghilang begitu saja. Batin saya bolak-balik berkata penuh harap, "Inikah? Apakah ini jalannya...?"

Bapak semakin tancap gas. Kalau lusa adalah jadwalnya, berarti harus segera sampai rumah malam ini agar besok bisa berangkat ke Jogja. Bapak juga sempat menawari untuk mengantarkan ke Jogja, tapi saya menolak karena saya tahu pasti akan sangat melelahkan untuk menyetir sekitar empat jam lagi dari rumah ke Jogja, jadi saya buru-buru memesan tiket kereta. Diam-diam, dalam hati, saya berterima kasih karena mempunyai Bapak yang suportif.

Keesokan paginya, saya segera ke toko terdekat untuk membeli atasan putih berkerah dan sepatu. Karena sedang berhemat—mengingat tabungan saya mulai menipis—saya meminjam kerudung dan celana milik kakak ipar, serta tas milik Ibu. 

Saya berangkat sore harinya, sambil terus bertanya-tanya dalam kereta, "Aduh, saya belum sempat belajar banyak untuk psikotes. Worth it enggak, ya, kalau tetap melanjutkan ikut tes? Sepertinya persiapannya kurang matang..."

Saya takut sekali perjuangan dadakan itu menjadi sia-sia. Tetapi saya tetap berusaha, sekali lagi, meyakinkan diri bahwa gagal pun tak mengapa, yang penting saya tidak menyesal karena pernah berusaha. Malam itu, sambil menggenggam tangan lebih erat hingga buku-buku jari memutih, saya berdoa agar tidak membiarkan rasa pesimis menyelinap masuk, juga agar diberi kekuatan apapun hasil yang akan diberi Tuhan nanti.

Saya sempat jengkel karena di tengah perjalanan, saya ditelepon bahwa ternyata ada kesalahan sistem, sehingga tempat penginapan yang sudah saya booking sebelumnya tidak terekam dan saat ini tempatnya sudah penuh. Dengan sinyal hilang-hilangan di kereta, akhirnya saya booking tempat penginapan termurah dan dekat lokasi tes: sebuah hotel kapsul yang letaknya di turunan gang kecil dekat jalan raya. 

Entah bagaimana ceritanya, akhirnya saya tetap bersyukur meski tidur di situ rasanya seperti di peti mati. Sebab setidaknya, saya jadi ada pengalaman tidur di hotel kapsul yang sering dibicarakan orang-orang. Beberapa hal lagi yang akhirnya saya syukuri saat itu adalah: tempat yang bersih, seprai yang harum, penjaga yang ramah dan bertanggung jawab, serta... air panas!

Mungkin terdengar norak, tapi saya senang sekali bisa mandi air panas. Terakhir saya mandi air panas adalah saat berkunjung ke rumah tante saya di Bogor. 

Sewaktu badan saya akhirnya diguyur dengan hangatnya pancuran air tersebut, saya menutup mata sambil tersenyum. Lega sekali... benar-benar rasa lelah saya luntur semua. Sambil menahan tangis—karena aturan di hotel tersebut tidak boleh berisik—saya bolak-balik berkata dalam hati, "Tuhan, terima kasih atas air panasnya. Saya ikhlas. Apa pun yang terjadi besok, apa pun hasilnya nanti, yang penting saya sudah berusaha. Engkau yang paling tahu jalan terbaik untukku."

Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi sekali untuk mandi, lalu sarapan dengan makanan sisa semalam sambil kembali mengulang-ulang materi psikotes apa pun yang bisa saya temui di internet. Setelah itu saya berdandan dan memesan ojek online, lalu berangkat menuju tempat tes. Karena tempatnya berada di Fakultas Farmasi UGM, sepanjang perjalanan saya tersenyum mengingat betapa dulu saya telah menghabiskan waktu sekitar empat tahun sebelas bulan di tempat ini sebagai seorang mahasiswi. 

Dulu saya ke mana-mana pakai sepeda; berangkat dari area Pogung menembus area Teknik hingga Kedokteran, lalu menyeberang dan masuk melalui halaman gedung rektorat sebelum akhirnya sampai ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tempat saya menimba ilmu. Berada di area kampus membuat saya bernostalgia dan menghilangkan stres yang saya alami selama ini.

Jujur, saya tidak melewatkan sesi psikotes dengan sempurna. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, tetapi saya senang sekali ketika sesi wawancara. Itu adalah salah satu sesi wawancara paling menyenangkan seumur hidup saya! Seusai tes pun saya masih menyempatkan diri bertemu dengan seorang kawan semasa kuliah dulu. 

Malamnya, saya makan mi dok-dok di burjo yang jaraknya hanya lima menit jika ditempuh berjalan kaki dari hotel tempat saya menginap. Di burjo tersebut, saya banyak merenung sekaligus bingung, bisa-bisanya seharian ini rasanya begitu menyenangkan.

Keesokan siangnya, ketika saya berada di kereta dalam perjalanan pulang, saya mulai pelan-pelan menarik benang kusut yang selama ini memenuhi seisi kepala. Satu demi satu, saya urai perlahan agar bisa kembali menata diri dan perasaan, mulai memikirkan langkah selanjutnya yang bisa saya ambil demi menyambung hidup. Tetapi jujur saja, bahkan sampai detik ini pun untaian benang-benang tersebut belum seratus persen terurai semua dengan baik. 

Ada kalanya saya baru bisa tertidur jam 3 dini hari karena pikiran saya kembali dipenuhi ketakutan akan hal-hal yang belum terjadi, bahkan sebagian besar waktu saya terkadang dihabiskan di dalam kamar untuk terus belajar dan mengirimkan lamaran kerja, dan setidaknya setiap hari mengalami kekecewaan karena menerima surel berisi penolakan.

Kadang-kadang, kalau melihat keponakan saya yang berusia 3,5 tahun sedang senang-senangnya bermain, saya berpikir, "Enak, ya, jadi anak kecil. Tidak ada tanggungan, tidak ada beban. Kalau menangis atau marah pun tidak lama, pasti bisa tertawa lagi." Tapi anehnya, meski berpikir demikian, saya tidak ingin kembali menjadi anak kecil.

Hingga di titik ini, ketika saya menuliskan ini, saya masih merasa belum sepenuhnya "utuh". Banyak bagian dari diri saya yang telah hilang dan berceceran, dan saya masih berusaha mengembalikan serta memperbaikinya pelan-pelan. Bohong kalau saya bilang saya sudah bisa menerima kondisi ini seratus persen dan berdamai dengan semuanya. Tetapi setidaknya, saya masih mau berusaha untuk menjadi lebih baik dan mencari pintu lain menuju rezeki.

Where there is a will, there is a way. Hope is a dream that doesn't sleep.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun