Mohon tunggu...
Lia Nathalia
Lia Nathalia Mohon Tunggu... -

Penyuka seni

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

MoU Helsinki, Salah Satu Warisan SBY untuk Indonesia

3 Januari 2014   16:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suksesi kepemimpinan di negara ini sebentar lagi akan kita hadapi, Presiden SBY yang telah dua periode memenangi pemilihan presiden secara langsung akan digantikan oleh tokoh nasional lainnya yang dianggap kredibel oleh rakyat. Periode sepuluh tahun memimpin negara ini pasti banyak mewarisi kebijakan-kebijakan maupun kinerja yang positif meskipun ada beberapa yang dianggap negatif tentu oleh para kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah.

Lika-liku dalam memimpin negara dialaminya sedemikian rupa, apalagi ketika pemilihan Presiden di tahun 2004 merupakan pilpres yang pertama kali di Indonesia menggunakan pemilihan langsung, one man one vote, jadi, rakyatlah penentu semuanya dalam memilih pemimpin, sehingga rakyat juga yang menilai kinerja presidennya.

Sejak tumbangnya orde baru, Indonesia mencari-cari jati dirinya dalam memperbaiki kondisi dalam negeri, tidak itu saja, sejak turunnya Soeharto yang digantikan oleh BJ. Habibie, kondisi tanah air sangat tidak menentu, seperti bait lagu dari Grup Armada "Mau dibawa kemana negara kita?" itu lah kira-kira kondisi Indonesia ketika itu, beragam presiden bergantian, dari BJ. Habibie, kemudian terpilihlah Abdurrahman Wahid atau Gusdur, tetapi hanya sekitar 20 bulan menjabat digantikan oleh Megawati Soekarno Putri sampai tahun 2004.

Tulisan saya disini tidak ingin membanding-bandingkan cara memimpin negara ini diantara para presiden tersebut, saya disini hanya ingin menyampaikan bahwa Era SBY yang sekarang ini tidak seperti yang banyak diwacanakan oleh berbagai kelompok yang tidak senang dengan SBY, yang katanya SBY tidak mempunyai warisan yang berarti dalam memimpin negara ini.

Wilayah Indonesia yang terdiri dari Sabang sampai Merauke sangat beragam, baik suku, golongan dan sebagainya, sehingga memungkin sekali untuk terjadinya perpecahan ataupun pisah dari Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Dahulu pada tahun 1999 Timor Timur akhirnya pisah dari negara ini, sehingga kita tidak ingin lagi ada daerah yang pisah dari Indonesia.

Sebut saja Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sejak tahun 1976 warga Aceh selalu diselimuti dengan ketakutan dan kengerian, berbagai macam tragedi berdarah terjadi di Aceh, berita peculikan, pembantaian, pembakaran rumah dan sebagainya merupakan makanan sehari-hari di Serambi Mekah ini. Kelompok yang menyatakan dirinya sebagai Gerakan Aceh Merdeka terus menghantui, hal tersebut dilakukan karena Aceh sebagai salah satu dari wilayah Indoensia merasa dianaktirikan.

Sejak jaman Orde Baru, negeri Serambi Mekah ini diperlakukan tidak adil, ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok antara pusat dan daerah, padahal kekayaan alam di Aceh sangat banyak dan juga sebagai jalur logistik yang potensial, tetapi Warga Aceh hanya mendapat sedikit yaitu 1% dari APBN, sedangkan kontribusi Provinsi Aceh ketika itu 14% dari total GDP Nasional.

Produksi minyak bumi di Aceh ketika itu seakan-akan diberarti banyak bagi warganya, kontribusi US$ 1,3 miliar ternyata diabaikan oleh penguasa orde baru, dengan penghasilan sebesar itu bukan berarti memperbaiki kondisi rakyat Aceh, malah semakin terpuruk, maka timbullah gerakan separtisme, gerakan yang menginkan Aceh merdeka dan pisah dari bumi pertiwi ini. Apalagi kemudian di tanggal 26 Desember 2004, Aceh mengalami bencana yang sangat dahsyat, Tsunami meluluhlantakan sebagian besar provinsi di Ujung Indonesia ini, yang mengakibatkan kurang lebih 200.000 jiwa meninggal dunia, korban hilang sekitar 90.000 jiwa dan kerugian material lainnya yang melumpuhkan segala aspek kehidupan masyarakat Aceh.

Tetapi, setelah SBY dilantik menjadi Presiden pada tahun 2004, dan berkaca pada pengalaman yang pernah terjadi, menjadikan Provinsi Aceh sebagai perhatian khusus agar tidak terjadi disintegrasi kembali seperti yang terjadi di Timor Timur. Beragam pendekatan dan kesepakatan dilakukan oleh pemerintah, penanganan bencana tsunami ditangani dengan baik, bahkan bantuan berdatangan dari hampir seluruh pelosok dunia, dan pada akhirnya setelah kurang lebih 30 tahun rakyat Aceh bisa bernafas lega, pada tanggal 15 Agustus 2005 bertempat di Helsinki Finlandia ditandatangani nota kesepahaman antara pihak GAM dan Pemerintah Indonesia, dimana kesepahamn tersebut menandakan telah terjadinya perdamaian di bumi Serambi Mekah.

Perdamaian yang menitikberatkan pada pemberian hak otonomi khusus tersebut disambut rakyat Aceh dengan suka cita.  Aktivitas berjalan dengan normal kembali, pertanian, perkebunan dan lain sebagainya dilakukan oleh warga Aceh tanpa ada rasa ketakutan seperti yang tejadi pada masa konflik, dan tekad pemerintah untuk membangun Aceh terus dilakukan, berbagai macam infrastruktur seperti membangkitkan kembali PT. Arun, dan membangun pelabuhan logistik pun dilakukan, demi terciptanya warga Aceh yang lebih sejahtera lagi.

Pencapaian yang positif tersebut haruslah kita apresiasi, warisan SBY dalam meredam konflik di Aceh janganlah dipandang sebelah mata, karena pada akhirnya provinsi NAD menjadi daerah yang damai bebasa dari konflik sehingga tidak terlepas dari NKRI ini, bahkan sekarang ini terlihat lebih sejahtera, sehingga wujud dari apresiasi tersebut, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh memberi gelar Honoris Causa, karena SBY dianggap berjasa dalam mengembalikan hak konstitusional rakyat Aceh dan juga penanganan yang baik pasca bencana tsunami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun