Mohon tunggu...
Lian Gayo
Lian Gayo Mohon Tunggu... Administrasi - Desliana Maulipaksi

Mantan wartawan, Staf Humas Kemendikbud, Ibu Negara.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menantang Tuhan

22 November 2019   14:40 Diperbarui: 22 November 2019   14:41 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Hidup lo kayaknya nggak pernah susah, Dek," ujar Abangku suatu hari.

Ya, hingga sekarang aku sangat ingat perkataannya itu. Tak bisa kubantah. Jalan hidupku selama ini memang mulus-mulus saja jika dibandingkan dengan Abangku (minimal). Di bangku sekolah, aku selalu ranking di kelas, berhasil masuk SMA favorit, lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri (sementara Abang dan Adikku tidak lulus seleksi masuk PTN).

Di kampus negeri pun hepi-hepi saja selama jadi mahasiswa. Aktif sebagai anak BEM, sibuk dengan kegiatan kampus, tapi tetap lulus dengan nilai cumlaude. Kalaupun hidup pas2an sebagai anak kost di Jatinangor bisa dianggap sebagai kategori "susah", ya mungkin itulah momen tersusah dalam hidupku. Aku harus mengatur uang jajan dari (almarhum) ayah yang dikirimnya setiap minggu, bahkan kadang telat. Toh aku tetap bisa makan meski nggak bisa mewah seperti teman lain yang jajannya berlebih. Aku tetap bisa bergaul dan punya banyak teman.

Tapi memang aku tidak pernah menganggap Tuhan pernah memberikan ujian atau cobaan berat kepadaku. Kesulitan hidupku selama ini kuanggap sebagai kerikil-kerikil yang tidak terlalu mengganggu. Hanya batu-batu kecil yang kujumpai di jalan kehidupan yang tetap bisa kulewati begitu saja. Tak ada batu besar yang menghadang atau sulit kutahan bebannya. Aku sadar benar akan anugerah Tuhan atas jalan hidupku itu.

Namun, ada kalanya aku mempertanyakan mengapa Tuhan tidak pernah memberikan ujian berat kepadaku? Apakah Tuhan merasa aku nggak akan mampu menghadapi ujian hidup yang sulit? Apakah Tuhan menilai aku nggak akan sanggup menanggung beban yang berat? Karena aku ingat ada ayat Alquran yang menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al Baqarah: 286).

Dari situ aku berpikir, mungkin begitulah penilaian Tuhan kepadaku. Seorang pribadi yang rapuh, yang tidak akan bisa menghadapi cobaan berat dariNya. Karena itulah Tuhan hanya memberikan ujian retjeh kepadaku selama ini. Tapi, aku kembali teringat suatu hadits, bahwa kita harus berprasangka baik terhadap Tuhan. "Aku bersama prasangka hambaKu terhadapKu" [Muttafaq 'alaih: HR.Al-Bukhari (no. 7405, 7505) dan Muslim (no. 2675) dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu].

Jadi bagaimana aku harus berprasangka kepada Tuhan? Ketika orang-orang sekitarku mendapatkan ujian dariNya, yang tidak pernah diberikanNya kepadaku. Saat jalan hidupku biasa-biasa saja, bahkan terkesan baik-baik saja, sementara orang-orang sekitarku memiliki masalah hidup yang tak pernah kumiliki. Bisakah Tuhan berikan saja ujian kepadaku sehingga aku bisa memperlihatkan padaNya kalau aku mampu menghadapi ujianNya? Aku ingin buktikan kalau aku sanggup menanggung beban yang diberikanNya.

Astaghfirullah. Kesombonganku muncul. Sebuah keyakinan diri bahwa aku kuat, bahwa aku mampu dan siap menerima ujian apapun dariNya. Aku ibarat menantang Tuhan. Padahal aku tahu, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. "Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri" (QS. Luqman: 18).

Lalu, bagaimana jika Tuhan kemudian memberikanku sebuah ujian yang berat? Sebuah beban yang bahkan tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan menanggungnya suatu hari. Bagaimana jika tiba-tiba, suatu hari, ujian itu hadir di hadapanku? Masihkah aku sanggup sombong kepadaNya? Benarkah aku kuat dan mampu menanggung beban berat yang diberikanNya? Akankah aku mempertanyakan, "Tuhan, mengapa Engkau memberikanku beban berat ini? Mengapa beban yang seperti ini? Mengapa harus aku?".

Mungkinkah ujian berat yang diberikan Tuhan itu merupakan balasanNya terhadap perbuatan dosaku di masa lalu? Entah dosa yang mana, karena aku sadar akan banyaknya dosaku sebagai manusia. Namun kembali, aku teringat sebuah frasa dari Andrea Hirata dari novelnya, Edensor. "Tuhan tahu, tapi menunggu". Frasa itu digunakan Andrea Hirata saat salah satu tokoh dalam novel seperti menerima balasan dari Tuhan akibat perbuatan nakalnya di masa kecil. Bahkan dosa di masa kecil pun dibalas Tuhan, apalagi dosa yang kita perbuat saat dewasa dan sudah baligh? Ya, Tuhan tahu, tapi menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun