Mohon tunggu...
Leyla Imtichanah
Leyla Imtichanah Mohon Tunggu... Novelis - Penulis, Blogger, Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga dengan dua anak, dan penulis. Sudah menerbitkan kurang lebih 23 novel dan dua buku panduan pernikahan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Generasi Berencana untuk Indonesia Lebih Baik

4 Oktober 2014   21:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:22 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412405339750915628

[caption id="attachment_327280" align="aligncenter" width="300" caption="Generasi Berencana"][/caption]

“Bu, kemarin ada lagi yang meninggal di kampung saya. Umurnya juga baru 17 tahun. Nggak tau kenapa, tiba-tiba aja meninggal. Padahal lagi hamil 7 bulan. Bayinya juga ikut dikubur sama ibunya.”

Saya, seketika menghentikan kegiatan yang tidak penting-penting amat semenjak 80% pekerjaan rumah tangga dipegang si bibi, saking terkejutnya mendengar cerita wanita berusia 40 tahunan itu. Pertanyaan pun mengalir bertubi-tubi dari mulut saya. Si bibi cerita, mungkin ibu hamil itu jantungan, lalu meninggal. Sempat dibawa ke rumah sakit, tapi belum sampai di rumah sakit, keluarganya balik lagi karena si ibu hamil sudah meninggal. Tanpa dicek apakah bayi di perutnya masih hidup, ibu hamil itu langsung dikuburkan saja bersama bayinya yang barangkali masih hidup. Mungkin juga karena walaupun bayinya dikeluarkan dan masih hidup, siapa yang akan mengurusnya? Bapak si bayi itu juga baru berumur 17 tahun, sedangkan orang tua keduanya tidak mau direpotkan!

Itu bukan cerita pertama yang saya dengar dari si bibi mengenai ibu hamil berusia 17 tahun yang meninggal karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebelumnya, saya juga sudah mendengar tentang ibu yang baru 40 hari melahirkan dan meninggal karena pendarahan. Usianya juga 17 tahun. Di kampung si bibi, anak-anak berusia belasan—belum cukup umur untuk menikah—sudah dinikahkan, baik itu atas kehendak si anak maupun orang tuanya. Contohnya, anak sulung si bibi sendiri yang menikah di usia 16 tahun. Si bibi sudah memberi saran kepada anaknya, agar sekolah dan kerja dulu, tapi memang si anak sudah naksir sama lelaki yang mau melamarnya itu, jadi si bibi merelakan anaknya menikah di usia muda.

Malah ada yang sudah duduk di kelas dua SMA, putus sekolah karena menikah. Sayang sekali, bukan? Kok tidak menunggu sampai anaknya lulus SMA dulu? Setidaknya kan punya ijazah SMA, lumayan. Pernikahan tidak terjadi karena si anak sudah hamil duluan, tapi memang kebiasaan warga setempat yang memaklumkan pernikahan di bawah umur. Bagi mereka, pendidikan tidak penting. Sudah bisa diduga, kebanyakan warganya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, tukang ojek, bahkan maling motor! Yang terakhir tidak dibuat-buat. Sudah sering terjadi kasus pencurian kendaraan bermotor di sekitar kampung, dan mulai masuk ke komplek-komplek perumahan.

Nah, pernikahan di bawah umur itu sudah banyak memakan korban. Tak hanya masa depan tergadai, karena anak-anak belum mendapatkan pendidikan yang layak, tapi juga banyak nyawa ibu-ibu muda yang terampas akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Menikah di usia belasan juga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk karena masa reproduksi mereka sangat panjang. Coba hitung saja kalau hamil dari usia 17 tahun dan tidak ber-KB, lalu setiap tahun hamil? Ironisnya, anak-anak itu lahir dari orang tua yang kurang pendidikan dan tidak mengutamakan pendidikan. Kelak, kebanyakan dari mereka akan mengikuti jejak orang tuanya, sebagaimana di kampung si bibi. Ibunya jadi pembantu, anaknya juga jadi pembantu. Syukurlah, si bibi sekarang sudah memprioritaskan pendidikan dua anaknya yang lain. Walaupun si bibi hanya pembantu dan suaminya tukang angkut sampah, anak kedua diusahakan sekolah setinggi-tingginya, bahkan dimasukkan ke Pesantren supaya tidak tergoda untuk menikah dini sebagaimana teman-temannya. Sayangnya, masih banyak yang belum berpikiran maju seperti si bibi.

Sudah tentu masalah ini sangat pelik bagi kemajuan negara dan bangsa Indonesia. Anak yang lahir dari orang tua tak berpendidikan yang berpenghasilan di bawah standar hidup layak dan tak mengutamakan pendidikan kelak hanya akan membebani negara, karena pendapatan pajak akan banyak dialokasikan kepada mereka melalui bantuan pendidikan dan kesehatan. Keluarga dari kalangan kurang mampu yang tidak mengutamakan pendidikan, lebih memilih menggunakan uangnya untuk makan, pakaian, dan kebutuhan rumah tangga, ketimbang biaya sekolah. Mereka juga tidak menabung untuk asuransi kesehatan, wong untuk makan saja seringkali tidak cukup. Akibatnya, sudah tentu pemerintah harus memberikan subsidi pendidikan dan kesehatan lebih banyak untuk sekolah negeri dan rumah sakit-rumah sakit pemerintah. Berbeda dengan keluarga yang mampu dan berpendidikan, kebanyakan justru memilih menyekolahkan anak di sekolah swasta yang terpadu dengan biaya sendiri, tanpa membebani subsidi pemerintah. Mereka juga biasanya mendapatkan biaya kesehatan dari perusahaan tempat bekerja atau menggunakan asuransi kesehatan. Jika kalangan keluarga mampu di Indonesia jumlahnya lebih banyak daripada yang tidak mampu, subsidi pendidikan dan kesehatan dapat dialokasikan ke pembangunan negara, seperti pembangunan wilayah tertinggal, mengurai kemacetan dengan pembangunan jalan-jalan raya dan penyediaan fasilitas kendaraan umum yang nyaman, dan lain-lain.

Itulah mengapa, program Generasi Berencana yang diluncurkan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) sangat penting untuk diterapkan demi mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. BKKBN adalah lembaga negara nondeparmental berdasarkan UU No. 52 tahun 2009 yang ditindaklanjuti dengan Perpres, ditujukan untuk menyukseskan program Keluarga Berencana dan mengatasi masalah-masalah kependudukan di Indonesia.

Program Generasi Berencana memberikan penyuluhan kepada para remaja agar menunda proses reproduksi, baik melalui seks bebas maupun terikat dalam pernikahan, demi masa depan yang lebih baik. Tak hanya penting untuk mempersiapkan alat reproduksi wanita, tapi juga dapat memberikan kesempatan kepada generasi muda agar menyelesaikan pendidikan guna mencapai cita-cita setinggi-tingginya. Remaja harus dapat memaksimalkan potensi yang ada di dalam dirinya, dan memanfaatkan masa mudanya untuk kemajuan dirinya sendiri dan orang lain.

Ini GenRe versi saya:


  • Berhati-hati dalam berhubungan dengan lawan jenis, apalagi kalau kamu naksir berat sama doi. Yakin bisa nahan nafsu saat berdekatan dengannya? Ingat lho, kamu masih SMP/A, orang tuamu pasti mau kamu lulus sekolah bukan karena MBA (Married by Accident). Semua akan indah pada waktunya, begitu kata yang tertulis di novel-novel. Percayalah.
  • Ikuti program belajar minimal 12 tahun, tapi itu belum cukup. Sueer! Zaman sekarang, ijazah SMA itu kalau tidak disertai dengan keberanian, kreativitas, dan produktivitas maka hanya akan teronggok di atas lemari berdebu karena sulitnya mencari pekerjaan. Jadi, penting untuk terus menuntut ilmu setinggi-tingginya sampai ke kursi Sarjana.
  • Pilih teman gaul yang oke, seperti pepatah Arab: bergaul dengan tukang minyak wangi, maka akan tertular wanginya. Bergaul dengan tukang ikan, maka akan tertular bau amisnya. Pilih teman yang bisa menyemangati dan memotivasimu untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Bukan teman yang akan menjemuruskanmu ke dalam lubang hitam, misalnya: pemakai narkoba, tukang tawuran, pergaulan bebas, dan sebagainya.
  • Jatuh cinta boleh, tapi menikah harus pakai rencana. Menikah itu adalah tanggungjawab, bukan sekadar pemenuhan nafsu biologis. Ketika kamu memutuskan untuk menikah, berarti kamu harus bertanggungjawab terhadap hidup orang yang kamu nikahi, juga anak-anakmu kelak. Yang lelaki, harus bisa kasih nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Untuk bisa kasih nafkah, ya harus punya penghasilan dulu. Semakin tinggi pendidikan, semakin besar posisi tawarmu untuk mendapatkan gaji yang besar. Keluarga terjamin, istri dan anak-anak pun tersenyum senang. Yang perempuan, memiliki tanggungjawab reproduksi, melahirkan anak-anak yang sehat dan mendidik mereka menjadi generasi berkualitas. Kehamilan memang sudah bisa terjadi sejak wanita mengalami menstruasi, tapi belum tentu alat reproduksi beserta hal-hal yang menyertainya (misalnya, mental calon ibu), sudah siap melaksanakan kehamilan. Bukan berarti saya menyarankan untuk menikah di usia tua, karena itu akan rentan juga terhadap alat reproduksi. Tapi, menikahlah saat kamu benar-benar siap mental, fisik, dan ilmu guna menjalani kehamilan dan membesarkan anak-anak.
  • Rencanakan masa depanmu sebaik-baiknya. Proyeksikan masa depanmu, misalnya: kuliah 4 tahun-kerja 3 tahun-mencicil rumah-menabung biaya menikah-menikah-merencanakan biaya pendidikan anak-dan sebagainya. Kapan menikah? Lakukan pada saat kamu benar-benar sudah siap. Siap, menurut saya, dilihat dari empat hal: siap ilmu pernikahan (banyak orang bercerai karena menikah tanpa ilmu), siap mental (menikah disebut juga dengan menempuh hidup baru. Anggap saja kita akan memasuki hutan belantara, harus siap mental menghadapi segala hal yang ada di dalamnya), siap materi (siapa bilang menikah tidak butuh uang? Semua orang juga tahu, penghulu saja harus dikasih amplop), dan siap jasmani (menikah adalah kerja keras. Tubuh harus sehat untuk bisa menghasilkan keturunan yang sehat).
  • Rencanakan jumlah anak. Ada doktrin bahwa “banyak anak banyak rejeki.” Memang benar, setiap anak membawa rejekinya masing-masing, tapi jangan salah, orang tua juga bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak-anak. Tak hanya makanan, tapi juga pendidikan. Mengasuh anak zaman sekarang ini gampang-gampang susah. Teknologi banyak memudahkan, tapi juga membahayakan. Ibu-ibu sudah tidak perlu lagi mencuci pakai tangan karena ada mesin cuci, jadi punya banyak anak pun masalah. Tapi, lihatlah ancaman-ancaman yang ada di sekitar anak-anak masa kini: pengaruhnegatifinternet dan televisi, kekerasan di lingkungan rumah maupun sekolah, penculikan anak, narkoba, dan sebagainya. Susahnya menjadi orang tua zaman sekarang. Sudah siap menghadapinya? Kata pemerintah, dua anak lebih baik. Memang benar, saya pun merasakan punya anak tiga ini terlalu banyak. Apalagi kalau jarak usianya berdekatan. Dulu saya terprovokasi punya anak tiga, karena dua anak sebelumnya laki-laki. Orang-orang menyuruh saya hamil lagi, siapa tahu dapat anak perempuan. Ternyata tidak, anak ketiga juga laki-laki. Sekarang, orang-orang kembali memprovokasi supaya hamil lagi anak keempat, tapi saya menolak. Tiga anak laki-laki semua, memangnya kenapa? Nanti juga menantunya perempuan semua. Ada tetangga mertua saya yang saking inginnya punya anak perempuan, akhirnya sampai  anak kesembilan, tak ada satu pun yang perempuan. Sembilan anak laki-laki??? Anak laki-laki atau perempuan sama saja di zaman sekarang.

Semoga Generasi Berencana melahirkan anak-anak berkualitas, yang akan membangun Indonesia menjadi lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun