Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkawinan Anak Marak di Pasca Bencana: Keterpaksaan Ekonomi dan Restu Sosial Budaya

13 November 2019   11:38 Diperbarui: 18 November 2019   16:22 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perkawinan Anak (Foto: UNICEF) Via Kompas.com

Di Nigeria, Somalia dan Uganda, pernikahan anak adalah salah satu strategi bertahan di masa kekeringan dan kekurangan pangan. Di Liberia dan Sierra Leone, pernikahan anak adalah pengalihan persoalan ekonomi dan kekerasan di dalam tenda pengungsian.(girlsnobride.com, Juli 2014). 

Perkawinan Anak dan Kehamilan Risiko Tinggi
Risiko pernikahan anak sudah kita pahami bersama. Anak anak itu putus sekolah dan menjalankan peran baru sebagai perempuan berkeluarga.

Ketika kami mendampingi pengungsi di Lombok Timur sekitar setahun yang lalu, kami dibantu dokter spesialis kebidanan dan obstetric dan dokter umum relawan untuk melakukan penapisan terhadap 409 ibu hamil di 11 desa di Kabupaten Lombok Timur. Jumlah 409 ibu hamil di 11 desa tersebut adalah 80% dari seluruh jumlah ibu hamil yang dilaporkan oleh bidan desa setempat.

Dari sisi usia, terdapat 296 ibu hamil (72%) berusia antara 20 sampai dengan 34 tahun, 93 ibu hamil (23%) berusia antara 15 sampai dengan 19 tahun atau dari perkawinan anak, dan 20 orang ibu hamil (5%) berusia antara 35 sampai 42 tahun. Ini membuat kami terkejut dan pada saat yang sama melihat bahwa data jumlah ibu di bawah umur atau dari perkawinan anak adalah konsisten dengan SUSENAS 2015.

Dari 409 Ibu hamil yang didata terkait pengalaman diperiksa dengan Ultrasonografi (USG), dicatat terdapat 79 % belum pernah diperiksa dengan USG sebelumnya.

Yang menarik, pemeriksaan kesehatan maternal dengan USG oleh dokter spesialis kandungan dan obstetric merupakan salah satu daya tarik yang membuat ibu hamil bersemangat memeriksakan kehamilannya kepada tim kami. Ini menjadikan layanan kesehatan bisa sekaligus menjadi bahan studi.

Dari Jakarta saya membawa USG yang saya sewa dan ini memfasilitasi proses pemeriksaan sehingga kami juga mendapat data untuk dianalisis. Pada umumnya, Ibu hamil yang diperiksa tidak semuanya memahami bahwa pemeriksaan dengan USG dapat membantu melihat kesehatan bayi dalam rahim dalam pemeriksaan ante natal. 

319 dari 409 ibu hamil belum pernah memeriksakan kandungan dengan USG. Terbatasnya pemeriksaan kandungan dengan USG disebabkan oleh terbatasnya keberadaan USG yang hanya ada di beberapa Puskesmas di Kecamatan.

Mahalnya pemeriksaan dengan USG yang harus dibayar sekitar Rp 150.000, dan tidak dipahaminya proses pengurusan pemeriksaan USG dengan pembiayaan melalui BPJS. Sementara itu, prosedur pemeriksaan kehamilan yang ditanggung BPJS adalah pemeriksaan USG yang disarankan oleh dokter yang memeriksa.

Studi kami menunjukkan bahwa satu dari empat kehamilan adalah berisiko tinggi, dan separuhnya adalah dari pernikahan anak. Ini adalah suatu kondisi sangat serius pada situasi kedaruratan. 

Ibu hamil dengan status 'Anak-anak' ini memiliki begitu banyak kerentanandan risiko tambahan lainnya, yaitu : 

  • Kerentanan karena dikucilkan, malu, dijauhkan dari akses pemeriksaan kesehatan, dan tanpa uang karena pasangan juga berusia anak anak. 
  • Ibu hamil dengan status anak anak memiliki potensi kekurangan gizi dan tidak terpantau kondisi kehamilannya. 
  • Pernikahan anak anak ini membawa situasi anak menikah sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikhologis untuk bertanggung jawab terhadap perniakahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.
  • Selain dikeluarkan 'drop out' dari sekolah, ia punya potensi risiko pada persoalan kesehatan, termasuk di antaranya peningkatan risiko terkena kanker serviks, penularan penyakit seksual menular (HIV), dan kecenderungan mempunyai anak yang banyak. Terkait peningkatan risiko kanker serviks, penyebabnya adalah faktor sel leher rahim yang belum matang, sehingga dengan adanya trauma saat berhubungan seksual akan sangat mungkin menyebabkan virus dan bakteri lainnya, dan hal ini akan mudah menginveksi leher rahim. Sementara itu, penularan HIV daoat terjadi karena epitel dari leher rahim yang belum sempurna pada usia muda yang sudah melakukan hubungan seksual.
  • Dengan kurangnya edukasi, pernikahan anak dapat menjadi pencetus adanya kehamilan dengan jumlah anak yang banyak karena waktu usia perkawinan yang relatif panjang. 
  • Anak anak yang dilahirkan oleh perempuan 'anak anak' memiliki kecenderungan melahirkan bayi prematur dengan berat rendah dan karena terbatasnya kemampuan merawat anak, terdapat risiko kekurangan gizi dan tumbuh kembang anak.
  • Karena kebutuhan ekonomi, mereke didorong masuk ke pekerjaan yang rentan dan tidak terlindungi, misalnya penjadi pekerja migran tanpa dokumen dan kekerasan berbasis gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun