Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Danau Toba: Festival Babi, Wisata Halal, dan Potensi Politisasi

9 November 2019   13:35 Diperbarui: 11 November 2019   18:09 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Balap Babi (Foto: Doug Duran/Bay Area News Group)

Festival Toba
Di antara kemacetan Jakarta, saya sempat membaca artikel menarik. Festival Babi Toba di Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Festival ini diselenggarakan pada 25 dan 26 Oktober 2019 yang lalu.

Beberapa media memberitakan soal penonton yang bergembira dan terhibur pada Festival ini. Lucu dan seru memang.


Selain lomba balap babi, terdapat pula lomba menangkap babi dengan mata tertutup. Lomba yang terbilang unik ini benar-benar menguji ketangkasan. Pasalnya, babi yang harus ditangkap berukurkan 20-30 Kg per ekornya.

Lomba Balap Babi dan Lomba Tangkap Babi hanyalah dua dari puluhan mata acara. Terdapat mata acara lain, seperti pelatihan pengolahan pakan babi, manajemen kandang babi sehat, dan lain lain.

Festival babi ini mengundang banyak wisatawan dan dianggap sukses. Wisata adalah salah satu andalan pendapatan Danau Toba. Adalah wajar bila berbagai budaya yang ada di Toba menjadi bagian dari apa yang ditonjolkan untuk mengundang wisatawan.

Panitia Festival Babi menyebutkan bahwa selain untuk menghibur masyarakat, festival ini menjadi satu bentuk dialog (sebagian orang membacanya sebagai penolakan) pada adanya upaya yang mengharuskan wilayah Toba sebagai wisata halal. Artinya restoran dan lingkungan Toba hendak dijadikan halal, ketika sertifikat wisata halal telah diberikan. Memang sertifikasi ini disebut beberapa pihak membawa potensi dan juga tantangan. 

Beberapa media memberi apresiasi pada penyelenggaraan Festival Babi. Apalagi ini diadakan di antara kasus Kolera Babi yang sedang terjadi di Sumatera Utara. Tak kurang, 14 kabupaten di provinsi Sumatera Utara terserang virus Kolera Babi. Sekitar 5.000 babi mati karena serangan virus. Festival ini justru berharap agar pengelolaan peternakan menjadi lebih baik.

Ketika saya menyinggung masalah babi Toba, seorang sahabat mengingatkan saya "No, jangan tulis itu. Please, jangan bawa babi dalam artikelmu. Itu akan membawa perdebatan tak produktif. Kamu kan masuk nominasi Kompasiana Award".

Saya sempat tercenung. Apa hubungannya, ya? Saya hormati dan berterimakasih atas nominasi itu. Dan, saya tidak melihat tulisan ini memicu hal yang tidak produktif.

Saya jadi ingat suatu saat sahabat saya melarang anaknya yang balita memegang boneka berbentuk babi 'Pigglet' dan berucap 'itu haram'. Memakannya adalah haram, tetapi memegang boneka?

Babi dan Kisahnya
Ternyata, festival babi bukanlah dominasi orang Batak. Pak Prof Felix boleh mengoreksi saya deh. Di Alaska, terdapat All-Alaskan Pig Racing yang telah diadakan selama lebih dari 30 tahun. Penonton lomba balap babi memang biasanya keluarga. Festival memperkenalkan kehidupan pertanian dan juga bagaimana peran binatang ternak dan piaraan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan pertanian.

Di wilayah tersebut bahkan terdapat pengelolaan festival babi secara 'profesional'. Memang, ada juga pengelola festival yang dikritik karena membawa babi berkeliling kota mirip sirkus. Namun, ini kemudian tidak lagi dilakukan. Usaha pengelolaan festival ini kemudian dibuka di Oregon dan Colorado, agar para babi tidak harus melakukan perjalanan jauh.

Mungkin anda ingat film tersohor yang meraih 7 nominasi Oscar "Babe"? Ini adalah kisah tentang babi piatu yang dibawa pulang seorang petani, Arhur Hoggett. Babe yang beruntung tidak menjadi santapan Natal ini akhirnya malah menjadi pahlawan.

Babe, sang babi pandai memisahkan ayam berwarna coklat dan putih, dan bahkan ikut lomba menggiring sapi. Babe bahkan dibantu Rex, anjing Pak Tani Hoggett yang sempat mondok di rumah penitipan anjing karena membuat kegaduhan bersama seekor ayam dan tak sengaja menggigit pak tani. Rex memberikan sandi yang dipahami sapi kepada Babe. Alhasil, sapi bisa digiring rapi dan cepat ke kandang. Babe jadi juara! Pak Tani sangat gembira dan memuji Babe. Babe menjadi babi terkenal karenanya.

Di kalangan pembaca 'Animal Farm' karya George Orwell dikenal tiga tokoh babi Napoleon, Snowball dan Squealer. Mereka meneruskan kerja 'Old Major' yang mati di peternakan 'Old Manor Farm'. Old Major rupanya telah meninggalkan pesan revolusi peternakan. 

  • Pertama, apapun yang merupa dua kaki adalah musuh
  • Kedua, apapun yang merupa empat kaki, atau bersayap adalah kawan
  • Ketiga, tak satu binatangpun boleh pakai baju
  • Keempat, tak satu binatangpun boleh tidur di tempat tidur
  • Kelima, tak satu binatangpun boleh minum alcohol
  • Keenam, tak satu binatangpun boleh membunuh sesama binatang
  • Ketujuh, semua binatang adalah setara

Pada akhirnya revolusi gagal karena adanya pengkhianatan, Peternakan tetap merana dalam kepemimpinan diktator Napoleon. Penulisnya, Orwell mengatakan bahwa fabel ini alogari situasi sejak revolusi Rusia di tahun 1917 yang bergulir ke era Stalin. Orwell yang demokratik sosialis membawa kritik pada pemerintahan Joseph Stalin dan situasi Moskow.

Jadi, babi memang ada di banyak budaya. Di panggungnya, mereka bisa jadi pahlawan maupun penggerak revolusi, meski ada pula yang berakhir tak bahagia. Babi bisa jadi pelaku politik, tetapi juga bisa saja jadi obyek politik. Ia punya peran di dunia.

Sedikit saja Soal Posisi Babi di kalangan Budaya Batak
Nah, di budaya Batak, babi merupakan binatang yang penting. Teori ini ada di antara berbagainya versi tentang peran babi dalam budaya Batak. Terdapat teori yang mencatat bahwa babi sempat menduduki posisi kurang beruntung di masa penjajahan Belanda. Rupanya Belanda menggunakan politik devide et empera melalui babi.

Mengapa demikian? Belanda sengaja memisahkan masyarakat Islam dan non Islam di dalam suku Batak dengan 'mengeluarkan' babi dari kumpulan binatang yang ada di budaya Batak. Misalnya, dalam hal peliharaan, leluhur Saragih Garingging memelihara kerbau bernama Si Nangga Lutu.

Sementara itu, Marga Saragih memelihara burung enggang sebagai binatang peliharaan. Marga Damanik memelihara harimau. Intinya, sejak penjajahan Belanda, babi bukanlah binatang kesayangan bangsa Batak. Ia bahkan bukan binatang untuk menu makanan. Babi dihidangkan ketika tidak ada pilihan lain.

Tentu kita paham bahwa dalam agama Islam, sudah jelas bahwa babi adalah salah satu makanan yang diharamkan. Kita tidak perlu berdebat. Saya paham dan mempercayainya. Dan saya sebagai muslim dan sekaligus vegetarian, tidak mengkonsumsinya. Kita sebagai penganut keimanan kepada yang Esa tentu percaya bahwa Allah menciptakan babi dengan suatu tujuan atau 'purpose'.

Kisah peran babi ini berubah di masa kemerdekaan. Diskriminasi dihapuskan, dan babi kembali punya peran penting dalam budaya Batak. Suatu artikel Rithaony Hutajulu tentang 'Tourism's Impact on Toba Batak Ceremony' pada jurnal terbitan JSTOR di tahun 1995 menuliskan bahwa budaya Batak kembali dikenal ketika wisata budaya dikembangkan.

Budaya, termasuk agama dan kepercayaan asli 'indigeneous' kembali dikenang melalui promosi budaya, setelah sempat dilupakan selama masuknya agama Kristen dan juga kebijakan pemerintah terkait agama di Indonesia. Ini termasuk pada dilakukannya lagi upcara adat yang melibatkan babi sebagai pengorbanan. 

Wisata Halal dan Kolera Babi
Wisata Halal sedang menjadi salah satu agenda Indonesia. Apa sih definisi wisata halal?

Halal tourism is a subcategory of tourism which is geared towards Muslim families who abide by rules of Islam. The hotels in such destinations do not serve alcohol and have separate swimming pools and spa facilities for men and women. Malaysia, Turkey and many more countries are trying to attract Muslim tourists from all over the world offering facilities in accordance with the religious beliefs of Muslim tourists. Currently, there exists no internationally recognized standards on Halal tourism (e.wikipedia.org)

Belum lama ini Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mendorong pelaksanaan wisata halal di wilayah yang masyarakatnya dominan beragama Kristen di area Danau Toba. Ini membawa tanggapan yang beragam.

Sebagian masyarakat menyetujuinya. Sementara, sebagian lainnya menolak. Memang, penerapan wisata halal akan mendorong masuknya lebih banyak kalangan wisatawan muslim, utamanya dari negara jiran, yang hendak hadir di danau indah itu.

Sebagian masyarakat, terutama karena terpe garuh sas sus bahkan sempat berpraduga soal upaya mendorong penerapan apa yang disebut Islamisasi di wilayah yang mayoritas Kristen (the Jakarta Post, 2 September 2019).

Tentu saja kemudian muncul komentar bahwa ini hanyalah pandangan paranoid sebagian masyarakat. Sebagian yang lain mengatakan wajar bila masyarakat gundah karena keputusan ini akan memaksa mereka menanggalkan aspek budaya yang telah dipakai untuk mengundang wisatawan.

Ada satu hal yang perlu kita bicarakan, sebetulnya, yaitu seberapa pemerintah telah mendiskusikan, mensosialiasikan, dan mendialogkan apa itu wisata halal?. Untuk Indonesia yang memiliki masyarakat muslim terbesar di dunia, dan sekaligus wilayah negara dengan keberagaman yang luar biasa tingginya, upaya khusus untuk mengurai apa itu wisata halal sangat diperlukan. Ini tidak bisa dilakukan hanya dengan mendorong dalam bentuk surat perintah, keputusan ataupun bahkan undang undang.

Sosialisasi yang memadai dan dialog diperlukan agar masyarakat mengenal lebih baik konsep dan persyaratan wisata halal, disamping bisa mengidentifikasi mana yang bisa disertifikasi dalam wisata halal, mana yang masuk dalam wisata budaya, atau bahkan mana yang ada pada perpotongan keduanya.

Sosialisasi dan dialog secara terbuka juga mendidik masyarakat untuk berpikir sehat dan terbuka dan logis mengenai apa yang mereka lihat dan terjadi di depannya atau di dalam kehidupannya. Dengan merebaknya begitu banyak berita hoaks dan juga upaya pecah belah ataupun untuk tujuan lainnya, menjadi lebih penting peran penyebaran informasi yang obyektif.

Pemberitaan soal bisa menularnya kolera babi kepada manusia itu sudah menjadi bahan perbincangan di media sosial. Ini hanyalah suatu usulan, tentu saja.

Peristiwa adanya wabah kolera babi adalah peristiwa serius. Apalagi kemudian berita merilis ditemukannya pembuangan bangkai babi terkena kolera di sungai sungai di sekitar wilayah yang terwabah. Semestinya pemerintah cepat melakukan tindakan.

Ada kesan keterlambatan dalam isu ini. Kolera sudah terjadi sejak September 2019 dan pencegahan perluasan wabah seharusnya bisa dilakukan.

Diperlukan Pemerintah yang Sensitif dan Responsif
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan pihaknya memperketat isolasi menyusul kematian ribuan babi di Sumatera Utara (Sumut) diduga akibat virus flu babi Afrika (African swine fever/ASF). Flu babi juga telah membuat China pusing belakangan ini.

Mentan mengatakan sudah mengirim surat kepada Gubernur dan Bupati terkait untuk melaksanakan isolasi untuk mencegah meluasnya penyakit. Ia mengatakan sementara ini telah dibentuk desk di tingkat nasional, provinsi, kabupaten sampai ke tingkat peternakan.

Secara pribadi, saya melihat peristiwa ini perlu menjadi peluang bagi pemerintah dan warga untuk memperbaiki situasi dan kondisi peternakan kita. Ini berkait semua jenis peternakan. Kita sering menerima 'banned' atas ekpor komoditas peternakan kita, termasuk telur, ayam, dan lainnya. Artinya, peristiwa ini perlu menjadi bahan refleksi pemerintah daerah dan nasional tentang pembinaan di sektor peternakan secara luas, bukan hanya soal peternak babi.

Kita pernah alami wabah flu burung di awal tahun 2000 an. Wabah bukan hanya mengena pada burung dan unggas lain tetapi juga puluhan orang meninggal di Indonesia.

Kematian pasien flu burung di Bengkulu beberapa saat yang pekan lalu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah korban H5N1 tertinggi di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO menyebutkan dari 349 kematian akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003, 155 diantaranya terjadi di Indonesia.

Pada Buku Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2018 Kementerian Pertanian, tercatat populasi ternak babi mencapai 8,542 juta ekor pada tahun lalu. Jumlah ini meningkat sekitar 11% dari populasi pada 2014 yang hanya 7,694 juta ekor.

Bila pemerintah membiarkan persoalan persoalan di atas mengemuka, saya kuatir tentang beberapa hal. Soal budaya daerah, soal kesehatan lingkungan, soal perekonomian, dan bisa saja akan berkembang menjadi soal politik. Akan ada pilkada Sumut 2020, dan isu isu di atas bisa jadi santapan empuk mereka yang menggunakan politik identitas. Pecah belah masyarakat berdasar agama, seperti masa penjajahan Belanda harus dicegah.

Saya juga ingat peristiwa the Black Cat Death di masa kegelapan. Kucing, khususnya kucing hitam dituduh menjadi penyebab kematian separuh warga Eropa. Kucing hitam yang dianggap piaraan tukang sihir dibantai habis. Ini tentu mengerikan sekali. Barulah pada masa Renaissance, kucing kembali menjadi bagian dari keluarga. Ini pernah saya tuliskan dalam artikel saya di Kompasiana.

Masyarakat perlu diedukasi dengan memadai dan seimbang. Media perlu pula mendidik diri dan bukan hanya melakukan pemberitaan untuk mengejar iklan dan viral.

Akan terdapat 23 kabupaten /kota di Sumut yang akan menggelar Pilkada Serentak pada 23 September 2020. 

Isu ternak dan kolera babi perlu disikapi dengan kebijakan dan tindakan konstruktif untuk perbaikan wilayah kerja, sektor, lingkungan sekitar, dan bukan malah digunakan untuk memecah belah warga berdasar agama dan kepercayaan. Sudah lelah kita dengan isu semacam ini, sejak Pilkada Jakarta 2016 dan Pilpres 2019. 

Pertama dan sekali lagi, pemerintah harus cepat bertindak membantu memecahkan persoalan kolera babi, berikut melakukan tindakan pencegahan dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat dan lingkungan. 
Kedua, pemerintah mendialogkan rencana implementasi wisata halal secara nasional. Ini termasuk membangun pemahaman masyarakat dan pelaku ekonomi, serta mendialogkan solusi atas implementasi di wilayah yang mayoritas non muslim.
Ketiga, bangun kearifan diri dan juga kearifan sosial, budaya, dan juga sensitivitas berdemokrasi sembari tetap melakukan sikap dan hormat pada sesama penganut agama. Emosi emosi tidak konstruktif perlu dikelola.
Keempat, cegah hoaks dan potensi penggunaan politik identitas melalui persoalan yang ada di wilayah dan di tingkat nasional.
 

Perekonomian wilayah yang berbasis halal dan wisata berbasis budaya sama sama penting dan perlu diapresiasi. Keutuhan bangsa kita tak kalah pentingnya, karena keberbagaian adalah realita kita dan bukan hanya sekedar wacana.

Adalah omong kosong kita bicara soal NKRI tetapi kita tetap membincang perbedaan agama sebagai persoalan, dan bukan sebagai keberbagaian yang menyatukan. Apalagi bila kita mempermainkan isu lokal sebagai isu politik yang membahayakan kesatuan bangsa. Bagaimana menurut anda?

Pustaka: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun