Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kalimantan Timur, Kerlip Bintang, dan Obrolan Warung Kopi Jakarta

27 Oktober 2019   16:11 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:24 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lomba desain ibu kota baru (Sumber: Kompas.com)

Obrolan dan Negosiasi Kalimantan di Warung Warung Kopi Jakarta 
Saya sering melanjutkan kerja di warung kopi sepulang kerja di sore hari. Ini memang jadi kebutuhan. Selain pekerjaan belum selesai, saya juga memerlukan kopi yang "kuat". Sementara, warung kopi juga menawarkan ruang kerja yang ramah dan terjangkau. Colokan listrik dan koneksi internet gratis, paling tidak sampai pukul 21.00 atau 22.00. Saya juga bisa memilih ruang yang bebas rokok.

Karena lokasi kantor adalah di wilayah Jakarta Pusat, saya mencatat hal yang menarik ketika melanjutkan bekerja di warung kopi di wilayah Jakarta Pusat.

Peta Kalimantan Timur (Indonesia-toyrism.com)
Peta Kalimantan Timur (Indonesia-toyrism.com)
Karena frekuensi saya yang cukup tinggi ke warung kopi, sayapun belajar banyak. Biasanya saya konfirmasi Mas dan bak yang bekerja di warung itu. m

Biasanya konfirmasi muncul dalam nuansa bangga, "Di sini banyak anggota DPR, Bu". Mana pula yang berisi banyak pejabat pemerintah.

Sejujurnya, saya ngeri (juga muak). Walaupun saya tidak menguping, banyak pembicaraan di meja meja tetangga sebelah dilakukan dengan suara keras. Menyebut soal lahan, hutan, tanah, tambang Kalimantan. Ini bukan karena saya icam alis ikut campur, namun sering kali diskusi meja sebelah cukup menyolok.

Satu lagi, meja di warung warung itu biasanya diisi para lelaki.

Ini kemudian mengembalikan pada kenangan dan ingatan akan Kalimantan di masa masa yang lalu.

Pada saat yang sama, saya mencatat beberapa hal yang pernah saya tulis di beberapa artikel tentang pemindahan ibu kota baru, antara lain di sini.

Tidur di Bawah Bintang Teluk Sumbang
Perkenalan saya pada Kalimantan terjadi sebelum masa masa reformasi di akhir tahun 1980-an. Saat itu tidak banyak yang saya pahami tentang Kalimantan, kecuali ibu kota provinsinya.

Di akhir tahun 1990-an, Kalimantan adalah isu perempuan, lahan, air, dan lingkungan. Sulitnya akses masyarakat pada air bersih sempat menjadi bagian dari apa yang saya geluti.

Saya ingat itu saya lakukan di awal tahun 2000-an, ketika hanya ada satu hotel di suatu ruko di Landak dan perjalanan dari Pontianak terasa jauh dan lama. Lalu isu banjir dan hutan gundul mulai mengemuka di awal tahun 2000-an. Dan, itu terus berlanjut sampai dengan tahun 2010-an berikut isu Karhutla.

Sejak tahun 2016, mau tidak mau saya harus melakukan cukup banyak perjalanan ke pedalaman Kalimantan, untuk memahami hutan, air, dan aspek sosial ekonomi masyarakatnya. Ada kenangan indah menikmati terangnya bintang di malam pedesaan tanpa listrik di Teluk Sumbang. Ini adalah suatu keindahan yang sekaligus suatu ironi.

Teluk Sumbang adalah salah satu desa di Kecamatan Biduk Biduk di ujung Kabupaten Berau yang berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur. Wilayah pantai ini luar biasa indah.

Saya bersama kawan satu tim kerja yang melakukan penelitian sosial dalam konteks pembangunan pembangkit listrik tenaga matahari. Kala itu kami mengunjungi beberapa desa, yaitu Long Beliu, Merabu dan Teluk Sumbang. Ketiga desa itu memiliki daya tarik alam dan budaya yang luar biasa.

Memang, ketiga desa itu saat ini sudah dapat menikmati listrik 24 jam dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Namun, kala kami berkunjung di penghujung tahun 2017, lampu hanya menyinari perumahan masyarakat melalui genset komunal yang beroperasi 4 jam saja, sejak pukul 18.00 sore dan padam persis pukul 22.00.

Bisa dibayangkan beban ekonomi masyarakat. Bahan bakar berupa minyak solar untuk genset yang relatif mahal bagi masyarakat sederhana itu tak bisa membuat operasional lami bertahan lama. Juga, bahan bakar solar bukanlah enerji yang ramah lingkungan. Setelah menikmati ikan merah bakar, sisa waktu kami hanyalah untuk tidur, atau paling tidak menikmati gelapnya malam.

Apa lagi yang harus dilakukan di tempat seindah dan seterpencil Teluk Sumbang selain tidur di beranda rumah panggung kayu warga dan menikmati ribuan kerlip bintang. 

Lantai kayu tanpa alas memang membuat punggung tua pegal. Signal HP tak ada. Semuanya itu bukan menjadi alasan berkeluh. Yang ada, hanyalah takjub menikmati ketenangan malam gelap dengan kerlip bintang. Semilir angin membuat saya mudah terkantuk.

Di pagi hari, badan terasa luar biasa segar. Pemandangan Teluk Sumbang dari rumah panggung kayu sangatlah indah. Rasanya, enerji bintang dan udara terbuka membuat oksigen di paru paru tergantikan dengan yang baru. Hati damai. Selanjutnya, kami diajak pergi bersama tim mengikuti perahu tim Akuo yang mengembangkan eko wisata laut. Kami berperahu. Beberapa teman mencoba snorkeling. Saya cukup duduk di dalam perahu. Mata saya yang menggunakan soft lens minus tujuh dan tidak membawa pengganti tidak memungkinkan saya bermain air.

Air yang jernih kebiruan. Pasir putih. Dan penyu penyu berkejaran berenang di bawah perahu. Kami antusias mendapat kabar seringnya ikan paus bermain dengan para penyelam. Mudah mudahan ikan paus tidak punah dengan kedatangan wisatawan yang mungkin akan terus berdatangan.

Sepulang dari berperahu dan menikmati teluk yang indah, yang memakan waktu hanya sekitar 2 jam, kami naik motor ke wilayah pemukiman Suku Basap. Kami perlu bertemu dengan warga dan mendengar apa yang mereka ketahui tentang rencana pembangunan instalasi listrik bertenaga matahari dan mikro hidro.

Tidak jauh, hanya 500 meter dari rumah panggung tempat kami menginap, sampailah kami ke rumah warga Dayak Basap. Udara di wilayah perumahan warga Dayak Basap sejuk pagi itu Rumah rumah yang ada pada umumnya adalah "Bale Sapoklit'.

Rumah yang sederhana. Memang nampak terdapat sembilan rumah berbahan material batako dan bersemen serta beratap seng bantuan Dinas Sosial. Oleh masyarakat, rumah itu disebut sebagai rumah batu. Mau tak mau saya perlu belajar tentang suku dayak Basap yang hidup di wilayah ini.

Perumahan Suku Dayak Basap (Dikumentasi Pribadi)
Perumahan Suku Dayak Basap (Dikumentasi Pribadi)
Nama suku Basap mengandung arti tinggal di gunung tinggi. Beberapa catatan menunjukkan kisah kedatangan suku Dayak Basap ke wilayah Teluk sumbang yang semula bermukim di kawasan komunal di gunung kemudian turun ke kawasan teluk. Ini terjadi sekitar tahun 1940 dan 1950-an.

Suku ini mengindetifikasi diri terdiri dari enam kelompok, yaitu Basap Selatan, Basap Gagas, Basap Daliun, Basap Riwa, Basap Paleng dan Basap Panyombot.

Mereka masih percaya adanya kelompok masyarakat Basap Marabulan dan Rijeng yang hidup di hutan dan gunung. Masing masing kelompok memiliki bahasa ibu yang berbeda, dan Bahasa Dayak yang umum hanya dipergunakan ketika mereka bergaul di kelompok lebih luas.

Jalan menembus hutan Teluk Sumbang (Dokumentasi Pribadi)
Jalan menembus hutan Teluk Sumbang (Dokumentasi Pribadi)
Masyarakat warga Dayak Basap sangatlah bergantung pada alam. Mereka hidup dari padi, sayur dan buah buahan yang tumbuh liar di hutan sekitar Teluk Sumbang.

Semua ditanam dan hidup liar di hutan sekitar Teluk Sumbang. Sementara perempuan bekerja di hutan dan kebun, laki laki menjerat musang dan babi untuk lauk.

Di perkampungan ini, kami menemui Ibu Hartinah, satu dari lima perempuan Dayak Basap yang menganyam bahan rotan menjadi tas cantik. Rotan rotan itu dibuat tas tas dan keranjang cantik.

Sangat halus. Karya seni yang luar biasa. Proses yang ditunjukkan Ibu Hartinah membuat saya sulit membayangkan. Bila tidak membuat anyaman, rotan dijual Rp 50 ribu seonggok yang dikumpulkan seharinya.

Bila dibuat tas rotan memang memerlukan waktu lama, namun ibu ibu dapat menjualnya dengan Rp 500.000 sebuahnya. Harga yang seharusnya tidak boleh ditawar lagi.

Saya membayangkan bila tas dan keranjang itu dinikmati di pasar yang baik dan menghormati karya tangan, seharusnya tas dan keranjang itu bisa dihargai di atas Rp 1,5 juta. Khususnya bila tas dan keranjang telah diberi lining pelapis kain di dalamnya dan peganggannya diganti kulit atau kain pelapis agar lebih nyaman di tangan dan lebih kuat pula.

Diantar Mbak Nita Roshita yang merupakan konsultan gender untuk program Akuo, akhirnya kami berkenalan dengan ibu-ibu dari Dayak Basap yang lain. Mereka berkumpul di gereja sebagai satu satunya ruang publik yang paling luas untuk membawa tas dan keranjang mereka.

Karya Qnyaman Ibu Ibu Dayak Basap (Foto : Nita Roshita)
Karya Qnyaman Ibu Ibu Dayak Basap (Foto : Nita Roshita)
Adalah mbak Nita Roshita yang telaten membantu dan mendukung ibu-ibu untuk terus berkarya dan memasarkannya pada pasar yang lebih pantas. Bravo untuk Mbak Nita Roshita yang keren. Mbak Nita menerangkan bahwa ibu ibu menanam sayuran tanpa pupuk buatan.

Selain jarak jauh dari kota membuat akses mereka pada pembagian pupuk terbatas, ibu ibu ini memang lebih terbiasa dengan tumbuhnya tanaman secara alami. Ibu ibu memanfaatkan semua vegetasi yang ada. Mulai dari akar sampai daun pohon. Pengetahuan mereka akan tanaman sekitarnya mengajarkan kita akan manfaat daun-daun untuk kesehatan dan untuk pangan.

Tak ada yang disia-siakan dari hasil alam Teluk Sumbang. Mulai dari akar sampai daun pohon, semua bermanfaat. Bahkan, untuk kesehatan, warga Dayak Basap juga mengandalkan hasil alam. Misalnya, akar akaran kuning dikenal sebagai obat oleh masyarakat Dayak.

Mereka menyebut beberapa jenis penyakit seperti kolesterol, alat pencernaan hingga kanker dapat diobati dengan akar kuning. Banyak pohon lain yang disebutkan dapat menjadi obat. Kulit pohon Kayu Jawa sering dimanfaatkan untuk obat luka luar. Obat obatan itu selain diberikan kepada manusia juga diberikan kepada ternak, baik kambing maupun sapi.

Dan Kegalauan itu Datang
Setelah obrolan ke sana kemari tentang keindahan desa dan teluk, tibalah kegaulaun itu. Hiruk pikuk pembangunan jalan selebar 6 meter yang memotong hutan kami temui sepanjang perjalanan 7 jam dari Berau. Mereka memberitakan akan berdirinya pabrik semen.

Ibu-ibu mengeluhkan sudah mulai sulitnya mendapatkan air bersih, karena air menjadi keruh setelah bercampur dengan kars gamping. Ini membuat turbin air penyedot air tersumbat kapur. Rusaknya hulu sungai pada kawasan Sangkulirang-Mangkalihat akan menyebabkan kerusakan di sisi hilir juga.

Di siang hari, setelah mengadakan pertemuan dengan warga dan ibu ibu dari Suku Basap, kami bertemu warga lain di gedung SD Teluk Sumbang. Gedung SD ini rupa rupanya adalah satu satunya gedung pertemuan yang bisa kami pakai, selain ruang di gereja.

Beberapa warga harus ke Biduk Biduk, ibu kota kecamatan untuk bersekolah SMP atau SMA. Artinya mereka harus mengendarai kendaraan selama 1,5 sampai 2 jam perjalanan. Saya menghitung berapa biaya anak untuk bersekolah ke SMP di Kecamatan Biduk Biduk. Biaya bahan bakar motor, uang jajan, dan biaya karena risiko kecelakaan di jalan ada di hitungan itu.

Pembukaan akses jalan dan listrik akan membawa harapan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan lebih baik. Anyaman perempuan perempuan dari suku Basap dapat dilakukan juga kapan saja. Ikan ikan dapat diproses dan lebih awet dengan bantuan listrik. Ada pula merica untuk dikembangkan dan mungkin dikemas dengan bantuan alat pres listrik.

Ada beberapa persoalan. Masyarakat bukan membutuhkan jalan yang besar dengan lebar 6 meter. Itu lebih tepat untuk jalan truk truk dan kendaraan industri semen yang akan dibuka, yang belum tentu masyarakat akan mendapatkan manfaatnya. Pembukaan jalan besar besaran tentu mengorbankan hutan-hutan lebih banyak dibandingkan dengan pembangunan jalan kelas kabupaten yang diperlukan masyarakat.

Hari beranjak sore dan kami harus kembali ke Tanjung Redeb, Ibu Kota Berau. Tujuh jam lamanya kami terguncang dalam kendaraan menuju Berau. Sempat kami berhenti dan balik ke lokasi satu kendaraan tim yang mogok. Saat itu sudah jam 22.00 malam. Mobil akhirnya ditinggalkan di tengah hutan, sekitar 2 jam menuju ibu kota Berau.

Setelah melalui perjalanan pulan dari Teluk Sulaeman ke Tanjung Setelah melalu perjalanan pulang yang jauh di tengah gelapnya hutan, tibalah kami di hotel yang kami tuju di Tanjung Redeb. Jam menunjukkan jam 12.30.

Sambil menunggu petugas hotel mempersiapkan kamar yang kami pesan. Waktu menanti itu membuat mata saya sempat mempelajari hal di sekeliling. Di sebelah saya, berdiri seorang perempuan cantik bermotif kulit macan totol, dengan model ala orang kota dan berdandan tidak biasa. Ia berdiri di sebelah seorang laki-laki di sebelah saya.

Saya tidak harus bercuriga. Namun beberapa rekan laki laki dalam satu tim (yang nampaknya ahli) melihat hal ini sebagai simptom pekerja di wilayah 'tua'. Mereka mendaftar dengan KTP si perempuan. Ini agak janggal. Sementara sang laki laki agak berjarak dan seakan tak acuh. Petugas hotel merekonfirmasi alamat si perempuan dengan suara yang dapat kami dengar. Dari Teluk Sumbang, katanya.

Saya dan tim saling bertatap mata. Jauh juga perjalanannya untuk sampai ke hotel itu. Rasanya apa yang kami duga cukup dekat dengan analisis situasi yang ada. Pada situasi terdapat pembangunan konstruksi jalan jalan yang membuka hutan, persoalan sosial semacam ini sering mengemuka. Adanya kehilangan hutan karena dibeli untuk kebun kelapa sawit atau pabrik semen membuat akses mata pencaharian masyarakat hutan hilang atau berkurang. Solusi untuk bertahan sering dibuat, antara lain dengan mengakses pekerjaan di kota.

Malam makin tua. Kami masih harus mempersiapkan kepulangan kami esok hari ke Jakarta. Kami akhirnya tidur cepat karena kelelahan. Keindahan bintang yang berkelip di Teluk Sumbang menjadi mimpi saya di Tanjung Redeb dan ketika transit di Jakarta.

Jarak Ibu Kota Berau di Tanjung Redeb masih cukup jauh dari Pejaman Paser, yaitu 643,2 km. Bila ditempuh dengan perjalanan darat maka diperlukan sekitar 16 jam. Walaupun demikian, saya membayangkan jarak itu akan mennjadi pendek di mata investor.

Akankah kerlip bintang itu masih akan ada di Teluk Sulaeman?

Pembangunan Ibu Kota Baru Indonesia dan Potensi Isu Sosial
Keputusan untuk memindah ibukota negara telah dilakukan dan sedang diterjemahkan ke dalam RPJMN. Diskusi makin intensif. Ini akan menjadi sesuatu yang sangat cepat, mengingat rekam jejak Jokowi dalam pembangunan infrastruktur di periode pertama. 

“The masterplan that we’ve been developing will hopefully become an ideal city, and most importantly, will be the standard for the development of big cities in metropolitan areas in Indonesia,”, Bambang Brojonegoro, Jakarta Post, 1 Agustus 2019.

Disampaikan oleh Bambang Brodjonegoro bahwa 50% dari luas tanah sebesar 2.000 hektar yang dirancang untuk ibu kota baru itu akan dipergunakan sebagai area hijau dan kota hutan. Karena pembangunan dimulai dari awal, rencana pembangunan ibu kota juga diniatkan pada upaya merestorasi Kalimantan dengan lansekap berbukit dan dengan sistem sungai. Konsep kota hutan ini diharapkan akan menjadi model kota masa depan di Indonesia.

Berita di media melaporkan bahwa warga adat Dayak Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), cemas lahan yang mereka tinggali secara turun-temurun bakal tergusur ibu kota baru yang ditargetkan menampung 1,5 juta orang.

Setidaknya terdapat empat desa komunitas adat Dayak Paser di wilayah yang ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi pusat pemerintahan baru. Di dalamnya terdapat 13 wilayah adat di sekitar ibu kota baru yang akan berpusat di Kecamatan Sepaku, PPU; dan Kecamatan Samboja, Kutai Kertanegara, merujuk pemetaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Adanya persoalan sosial tiba tiba muncul di Panajam Paser tentu perlu dianalisis dengan saksama, dan bukan hanya direspons dengan pendekaan keamanan dengan menerjunkan sepasukan POLRI. Hal semacam ini perlu menjadi perhatian pemerintah. Media membahas tentang terbakarnya Penajam, Pasir Utara sebagai bagian Calon Ibu Kota Negara (detikNews Rabu 16 Oktober 2019, 21:57 WIB). Juga terdapat warga yang terpaksa harus mengungsi. Disebut "Imbas Rusuh, Warga Penajam Paser Utara Mengungsi". Penajam Paser Utara - Kerusuhan terjadi di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim). Apa yang terjadi?

Konflik tanah atas interes swasta bisa saja terjadi. Investigasi yang memadai perlu dilakukan.

Kota Kota Baru dan Urbanisasi
Soal urbanisasi juga aspek kritikal yang potensinya perlu ada dalam hitungan pembangunan ibu kota baru. Apalagi ini soal ibu kota. Pertimbangan sosial perlu diperhatikan, dan bukan hanya soal rancangan dan pembangunan logistik dan infrasruktur saja.

Diperkirakan, lebih dari 51 % penduduk Indonesia hidup di perkotaan (Perkiraan UN DESA, 2018). Diestimasikan, proses urbanisasi dunia akan mencapai sekitar 66% pada 2050, dan akan terdapat 234 juta penduduk Indonesia akan hidup di perkotaan di tahun 2015.

Ini tentu angka yang membawa pula tantangan tentang bagaimana dunia, termasuk Indonesia mengembangkan kota kotanya. Apakah kota kota industri dengan wilayah kumuh, atau kota dengan peradaban yang memfasilitasi masyarakat dan bangsa untuk hidup berkualitas.

Saat ini, di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), terdapat sekitar 81% city dweller atau penduduk perkotaan sementara terdapat sekitar 80% penduduk kota di Amerika Latin dan Karibia, sementara sekitar 74% di Eropa.

Adalah wajar bila Indonesia perlu belajar dari beberapa negara seperti Malaysia, China, Sri Lanka, Nigeria, Kenya, Oman and Saudi Arabia dalam membangun kota kota barunya.

Di Malaysia, dikenal Kota Hijau "Green cities". Kota ini hanya 2 Km jaraknya dari Singapura Utara. Pembangunan kota ini sempat menjadi kontroversi karena dibangun di atas reklamasi laut. Kota ini dirancang untuk hidup 700.000 penduduk kota dan mencakup 14.000 km2 atau seluas Central Park di New York.

Kota Hijau Malaysia (the Woeld Economic Forum)
Kota Hijau Malaysia (the Woeld Economic Forum)
Kita ini dirancang untuk tidak ada mobil probadi, sehingga kita ini jauh dari polusi. Kota ini direncanakan selesai di tahun 2035 dan hendak menampung 220.000 tenaga kerja.

Kota Hijau Cina (the World Economic Forum)
Kota Hijau Cina (the World Economic Forum)
Kota Hutan di Cina (Foto Stefano Boeri Architetti) dibangun dekat Liuzhou di Cina dinilai memiliki kesamaan dengan kota baru di Malaysia. Ini dirancang oleh arsitek Italia,

Stefano Boeri Architetti. Proyek ini akan menjadi wilayah tempat tinggal 30.000 penduduk, dengan wilayah kota komersial dan lengkap dengan ruang rekreasi. Kota akan dibangun dengan tanaman dan kota, serta seranggap untuk menyerap 10.000 ton C)2 tiap tahunnya serta menghasilkan oksigen sebanyak 900 ton per tahun.

Kota Pelabuhan Baru Srilangka (World Econom8c Forum)
Kota Pelabuhan Baru Srilangka (World Econom8c Forum)
Kota Pelabuhan Kolombo, Sri Lanka (Port City Colombo, Sumber : World Economic Forum.com) adalah kota di wilayah pantai Srilangka yang dibangun di atas wilayah reklamasi lebih dari 200 hektar. Kota baru ini menjadi salah satu kota pelabuhan tersibuk. Ini akan menjadikan kota strategis dalam politik perdagangan Srilangka.

Catatan untuk Ibu Kota Baru
Urbanisasi yang akan terjadi di wilayah Penajam Paser dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur tentu akan memberikan harapan dan kesempatan di samping tantangan.

Di tahun 2003-an saya sempat melakukan analisis sosial terkait kelompok suku Dayak Paser di Panajam Paser. Pemahaman yang baik terkait aspek sosial warga perlu dipahami. Adanya konflik yang menyebabkan ratusan warga Dayak mengungsi di peetengahan Oktober perlu menjadi perhatian. Pemerintah perlu menahan diri untuk tidak selalu gunakan pendekatan keamanan dengan pengerahan polisi untuk konflik konflik yang muncul.

Analisis sosial yang memadai, dengan pertimbangan kepentingan warga suku Dayak perlu dilakukan dalam urusan pemindahan Ibukota baru. Mestinya pemerintah buat juga anggaran untuk ini.

Beberapa analisis terkait bagaimana Canberra dibangun menjadi ibu kota pernah saya tuliskan. Tentu terdapat pro dan kontra.

Hal terpenting yang perlu dipertimbangkan adalah keberlanjutan bangsa Suku Dayak dan hutan Kalimantan. Jangan sampai warga Dayak tergeser dan menjadi penonton atau bahkan punah karena pembangunan ibu kota baru ini. Deforestasi telah terjadi pada 800.000 hektar hutan Kalimantan di tahun 2015.

Studi terkait evaluasi dampak proyek jalan berskala besar di Kalimantan telah menunjukkan adanya penggundulan hutan yang serius, dan sekaligus mengancam kehidupan ekosistem hutan dan binatangnya. Oleh karenanya, menjadi kewajiban pemerintah untuk menjalankan program pemindahan ibukota dengan hati hati.

Pemilihan Wamen KLHK yang berasal dari suku Dayak, seperti yang dituliskan oleh Kompasianer Pebrianov hendaknya tidak hanya untuk melancarkan urusan perijinan dan pembebasan tanah dan hutannya. Posisi itu hendaknya dapat merupakan jembatan untuk membawa analisis sosial dan pemahaman terkait suku Dayak kepada rencana pembangunan ibu kota baru dan sekaligus konservasi hutan Kalimantan.

Memang, tantangan ke depan tidak mudah. Bagi para eksekutif yang berdedikasi tinggi, menjalankan pembangunan di tengah sistem politik yang membingungkan dan korup memerlukan keseriuasan, kerja keras dan sekaligus perjuangan dan doa.

Semoga mereka yang ada di DPRRI, di pemerintah, di swasta serta masyarakat sipil diberi 'eling' oleh-Nya. Bahwa, Kalimantan dan Indonesia adalah tanah kita tercinta. Jangan rusak dan patahkan kepercayaan warga negara atas rencana baik untuk memindahkan ibu kota.

Semoga yang saya dengar dan lihat di warung warung kopi itu hanyalah obrolan sepulang kerja dan bukan negosiasi atas tanah tanah dan hutan Kalimantan demi keuntungan pribadi saja. Seringkali interes pribadi dan swasta menjadikan suatu niat baik rontok karena perilaku serakah, yang kita bisa masukkan sebagai moral hazzard.

Saya berdoa dan berharap, dan masih tetap dengan deg-degan.

Pustaka: SatuDua, TigaEmpat, Lima 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun