Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

9 Tuntutan Papua Disepakati, Lalu Apakah Kita Kenal Papua?

11 September 2019   08:00 Diperbarui: 12 September 2019   04:18 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Papua dalam Transisi (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Kebijakan Afirmasi untuk Warga Papua Seharusnya Memang Sudah Sejak Dulu Ada 


Telah 5 kali Presiden ke Papua. Beliau kunjungi dan berdialog dengan mama mama di pasar Mama di Jayapura dan di Manokwari di Papua. Beberapa pembangunan infrastruktur, seperti Trans Papua, juga telah dimulai. 

Dua minggu terakhir ini, Presiden kembali sibuk membangun dialog dengan warga Papua. Kali ini untuk menindaklanjuti buntut dari konflik rasial yang terjadi antara warga Papua dan warga Surabaya di  Jatim, yang dipicu beberapa hal. 

Misalnya, pada 3 September 2019, peserta 'Festival Gapura Cinta' asal Kabupaten Kepulauan Yapen dan Nduga, Papua, diundang makan siang oleh Presiden di Istana Merdeka.

Kemudian kemarin siang Presiden menerima 61 orang tokoh dan wakil masyarakat Papua dan Papua Barat. Saya melihat ada wajah perempuan di antara hadirin. Ini melegakan. Mengapa wajah perempuan penting dalam undangan itu? Di Papua, kedudukan perempuan utama.

Lihat Mama Yosepha Alomang yang punya peran besar dalam menjaga lingkungan dan hutan Papua. Juga, mama-mama Papua yang ada di desa dan kota yang merupakan motor ekonomi Papua. Mereka bukan hanya berkebun tetapi juga mencari ikan dan berburu. Juga perempuan aktif di gereja. 

Perempuan Papua dan Peran Ekonomi ( foto Dokumentasi Pribadi)
Perempuan Papua dan Peran Ekonomi ( foto Dokumentasi Pribadi)
Selanjutnya, perempuan memiliki peran formal yang diatur Undang Undang 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang undang ini mengatur adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) dan menempatkan keterwakilan 1/3 dari anggota MRP adalah dari wakil perempuan, 1/3 dari anggota wakil MRP dari kalangan adat, dan 1/3 dari anggota wakil MRP dari kalangan agama.

Selama ini MRP telah memiliki wakil sesuai undang undang tersebut. Memang, efektifitas kerja anggota MRP beragam. Namun, pernah tercatat anggota MRP yang berhasil membawa aspirasi perempuan.

Pada pertemuan kemarin, media menyebutkan bahwa salah satu tokoh Papua yang hadir adalah Abisai Rollo, Ketua DPRD Kota Jayapura. Saya sebetulnya masih penasaran apakah anggota MRP juga diundang dan berbicara dalam makan siang tersebut. Ini karena MRP mewakili 3 kelompok penting, adat, gereja, dan perempuan di Papua. 

Seperti ditulis oleh berbagai media, acara pertemuan berikut makan siang itu menghasilkan 9 tuntutan yaitu; 

1). Pemekaran provinsi lima wilayah adat di Provinsi Papua dan Papua Barat; 2) Pembentukan badan nasional urusan Tanah Papua; 3) Penempatan warga Papua sebagai pejabat pejabat eselon satu dan dua di kementrian dan LPMK; 4)Pembangunan asrama nusantara di seluruh provinsi dan menjamin keamanan mahasiswa Papua; 5) Pengusulan revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dalam Prolegnas 2020; 6) Penerbitan instruksi presiden untuk pengangkatan ASN honorer di Tanah Papua; 7) Percepatan Palapa Ring Timur Papua; 8) Pengesahan lembaga adat perempuan dan anak Papua; 9) Pembangunan istana Presiden di Kota Jayapura. Untuk itu, Abisai mengaku siap menyumbangkan tanah seluas 10 hektar.

Mengapa 9 Tuntutan itu Penting bagi Bangsa Papua? Seberapa Jauh Kita Paham Papua? 
Setelah pertemuan di istana, adalah penting bagi pemerintah nasional melakukan dan membiasakan praktek berkonsultasi secara memadai melalui metodologi yang 'pantas' untuk lebih paham Papua. Paling tidak, pejabat perlu membaca hasil studi yang telah ada tentang Papua.

Papua ini berbeda dengan Jawa dan wilayah barat Indonesia yang lain. Praktek pejabat nasional untuk sekadar hadir ke wilayah Papua dalam nomenklatur tugas 'monev' yang berkait dengan SPPD dan mampir Raja Ampat yang selama ini sering terjadi perlu ditinggal jauh-jauh.

Juga, buang jauh-jauh kecurigaan. Bahkan, bila perlu, tak usah sebut kata 'NKRI' dalam diskusi. Saya kira itu membosankan masyarakat. NKRI kita anut percayai tanpa harus kita teriakkan. Berkunjung ke Papua artinya belajar hal (baru) tentang Papua. 

1. Pemekaran provinsi lima wilayah adat di Provinsi Papua dan Papua Barat
Papua adalah wilayah Indonesia yang dulu kita kenal sebagai Irian Barat pada 1969 sampai 1973, dan lalu diberi nama Irian Jaya sampai tahun 2002. Kemudian, Papua dibagi dua. Wilayah barat, pada wilayah kepala burung, diberi nama Irian Jaya Barat yang kemudian adalah Papua Barat.

Papua adalah suatu area yang luasnya adalah 316.553.074 km2. Kabupaten Jayapura saja wilayahnya adalah 14.390 km2, yang artinya lebih luas dari propinsi seperti Riau, Bali, Yogyakarta, Jakarta, Banten, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Sementara Jayawijaya adalah 2.331 km2. 

Jarak antara ibukota kabupaten Jayapura, Sentani, ke Jayapura adalah sekitar 20 km, sementara jarak antara Jayawiyaja dan Wamena adala 256 km. Tampaknya tidak jauh antara Jayapura dan Wamena, namun dalam hal transportasi, baik transportasi bahan makanan dan bahan bakar, semuanya masih tergantung pada pesawat terbang.

Jayapura adalah wilayah pesisir, sementara Jayawijaya adalah wilayah pegunungan. Perlu dipahami bahwa tipologi sosial budaya di wilayah pesisir dan pegunungan maupun rural dan urban serta terkait penduduk asli Papua dan pendatang adalah berbeda. 

Sementara itu, Papua Barat memiliki luas wilayah 97.024,27 km2, terdiri dari 1.945 pulau. Dua kota utama, Manokwari dan Sorong telah ada sebelum propinsi Papua Barat terbentuk.

Wilayah Papua memang masih luas. Pemekaran masuk akal untuk dilakukan. Yang kritikal adalah percepatan dalam rekrutmen dan peningkatan kapasitas ASN yang akan mengisi wilayah pemekaran tersebut. 

Juga, perlu djaga agar tidak terulang pengalaman pemekaran yang hanya meredistribusi uang korupsi dari anggaran pembangunan. Luka korupsi dana otsus karena ketidaksiapan perundangan, mekanisme kerja dan SDM harus jadi pembelajaran mahal.

Korupsi dana Otsus di wilayah Papua dan Papua Barat merugikan perempuan dan anak karena berujung pada miras dan 'perempuan'. Kekerasan terhadap perempuan dan anak luar biasa tinggi. 

2. Pembentukan badan nasional urusan Tanah Papua.
Memahami tanah Papua artinya memahami manusia dan budayanya, termasuk dalam hal kepemilikan tanah. Semua tanah di Papua adalah tanah ulayat. 

Badan nasional ini mungkin diharapkan menjadi fasilitator untuk membantu hal berurusan dengan tanah di Papua agar konflik yang selama ini muncul karena persoalan tanah menjadi berkurang. 

Pada saat yang sama, kita berharap agar badan ini tidak menjadi 'broker' yang membuat jual beli tanah akan meningkat dan bahkan merusak pertanahan di Papua. Memang, seperti apa badan ini hendak disusun dan dibangun adalah menjadi penting. 

3. Penempatan warga Papua sebagai pejabat pejabat eselon satu dan dua di kementrian dan LPMK.
Selama ini orang Papua memang sempat menduduki posisi penting di tingkat nasional, misalnya sebagai Menteri. Selama ini ada kesan bahwa posisi itu hanyalah posisi politis.

Sementara, penempatan warga Papua sebagai pejabat eselon satu dan dua di kementrian dan LPMK bisa dikatakan nyaris tak ada. Ini merupakan tuntutan yang sangat masuk akal untuk membongkar stigma bahwa orang Papua bukan bagian penting dalam SDM Indonesia. Tentu, pemerintah nasional perlu mengejar ketertinggalan dalam pengembangan SDM masyarakat Papua.

4. Pembangunan asrama nusantara di seluruh provinsi dan menjamin keamanan mahasiswa Papua.
Sejarah memang mencatat bahwa asrama bagi siswa siswi Papua di kota besar di Papua sangat membantu keberlanjutan pendidikan baik laki laki maupun perempuan Papua.

Adanya pembangunan asrama yang dibangun di seluruh provinsi akan membantu siswa untuk bisa belajar dengan baik dan mengurangi isu Drop out'. Ini saya pernah sebutkan di artikel yang lalu.

Rasa aman dapat dibangun. Tentu saja diharapkan hal ini tidak menjadikan mahasiswa Papua ekslusif di wilayah-wilayah provinsi di Indonesia. Mahasiswa Papua perlu lepaskan diri dari stigma alkoholisme dan biang ribut. Sebaliknya, masyarakat wilayah perlu membantu siswa Papua menjadi "feel at home". 

5. Pengusulan revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dalam Prolegnas 2020.
Ini adalah isu lama yang terus diangkat masyarakat Papua dalam berbagai konsultasi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa selama ini Departemen Dalam Negeri tidak melakukan PR untuk menindaklanjuti serangkain regulasi yang seharusnya hadir setelah Undang Undang Otsus lahir.

Bayangkan, keterlambatan itu sempat membuat penggunaan anggaran pemerintah (APBD) tidak disertai Perdasus. Ini tentu membuat penggunaan dana pembangunan tanpa landasan hukum.

6. Penerbitan instruksi presiden untuk pengangkatan ASN honorer di Tanah Papua.
Pengangkatan ASN honorer tentu penting bagi Papua yang membutuhkan dukungan SDM dalam pembangunannya yang hampir selalu tertinggal. Juga diberitakan bahwa Presiden menjanjikan penempatan 1.000 pemuda Papua untuk dapat bekerja di BUMN. Ini tentu merupakan suatu afirmasi penting yang semestinya telah dipikirkan dan dipersiapkan sejak lama.

7. Percepatan Palapa Ring Timur Papua.
Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer. Proyek itu terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik (untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku) dan satu backhaul untuk menghubungkan semuanya.

Pembangunan Palapa Ring TImur Papua sempat terhenti atau tertunda karena konflik yang terjadi. Ini tentu menjadi penting untuk mendapat perhatian pemerintah nasional. 

8. Pengesahan lembaga adat perempuan dan anak Papua.
Perempuan dan anak Papua memang perlu perhatian pemerintah. Status dan kondisi mereka sering dirugikan oleh pembangunan yang tidak memahami aspek sosial budaya Papua. Juga, perempuan dan anak sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan penguasa (negara), masyarakat, adat, maupun keluarga.

Saya telah menuliskan cukup detil pada artikel terdahulu. Lembaga adat perempuan dan anak Papua ini akan penting untuk memastikan bahwa status perempuan dan anak setara di mata negara dan hukum serta hak asasinya terlindungi. Lihat pula catatan saya tentang dampak Otsus, khususnya terkait ekses korupsi dana otsus pada perempuan dan anak. 

9. Pembangunan istana Presiden di Kota Jayapura, Papua.
Presiden mengatakan akan mendiskusikan hal ini dengan timnya. Menurut saya, pembangunan istana ini penting. Ketua DPRD Kota Jayapura mengatakan bahwa istana ini akan membuat Presiden datang ke Papua bukan untuk berkunjung tetapi untuk berkantor.

Saya pribadi melihat pembangunan istana ini selain bersifat politis juga memiliki arti filosofis yang baik. Presiden 'pulang' ke Tanah Papua dan bukan sebagai 'tamu' yang hanya sekedar berkunjung satu dua hari. Papua menjadi rumah Presiden juga. Ini punya makna merangkul, menjadi inklusif. 

Seberapa Kita Kenal Bangsa Papua?
Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Papua sebesar 2.833.381, dengan 1.327.498 orang diantaranya adalah perempuan dan penduduk laki-lakinya adalah 1.505.883 laki-laki. Artinya, di antara 100 penduduk laki-laki terdapat hanya sekitar 88 orang perempuan. 

Kita lihat ada ketimpangan rasio penduduk berdasar jenis kelamin. Ketimpangan rasio jenis kelamin ini tampak lebih buruk dari data time series tahun 1995 sampai dengan 2010. Pada tahun 1995, rasio penduduk perempuan terhadap laki-laki adalah 0,96 yang kemudian menurun menjadi 0,90 pada tahun 2000 dan menjadi 0,88 pada tahun 2010.

Beberapa indikasi ketidakseimbangan rasio jenis kelamin di perkampungan pada umumnya disebabkan oleh kematian prematur perempuan (dibanding laki laki) yang disebabkan oleh tingginya kematian ibu hamil melahirkan, penyakit infeksi dan parasit serta adanya kecenderungan meningkatnya pertumbuhan kasus HIV/AIDS di antara perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kasus di antara kelompok laki-laki.

Di perkotaan, ketidakseimbangan jumlah penduduk perempuan dan laki-laki mendapat kontribusi dari adanya migrasi penduduk karena alasan pekerjaan yang tidak mengikutsertakan istri atau anggota keluarga.

Tidak seimbangnya rasio penduduk berdasar jenis kelamin tersebut membawa dampak pada beban kerja perempuan, khususnya di kalangan rumah tangga di perkampungan yang mayoritas bermata pencaharian di bidang pertanian. Ini karena hampir semua pekerjaan di rumah dilakukan perempuan. 

Sementara itu, sensus yang sama mencatat jumlah penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 adalah 760.422 jiwa yang terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Selama 10 tahun sejak tahun 2000 sampai 2010, laju pertumbuhan penduduk adalah 3,71 persen per tahun.

Meski bukan merupakan pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Indonesia, namun pertumbuhan penduduk Papua Barat yang mencapai sebesar 3,71 persen merupakan yang terbesar ke 4 (BPS, 2010).

Pertumbuhan penduduk relatif cepat terjadi antara tahun 1990-2000 (ketika Papua Barat masih bagian dari Provinsi Irian Jaya) dan tahun 2000-2005. Pertumbuhan penduduk mulai mengalami kecenderungan melambat setelah tahun 2000. Sementara itu, sebaran penduduk tidaklah merata di wilayah seluas 97.024,37 km2 ini.

Hampir separuh penduduk Papua Barat berdomisili di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari dengan kepadatan penduduk tertinggi (640 jiwa per km2) di Papua Barat di Kota Sorong, sementara kepadatan terendah (7-8 jiwa per km2) terdapat di Kabupaten Tambrauw.

Keseluruhan penduduk Papua dan Papua Barat ini terbagi dalam 44 budaya, 177 suku dan 251 bahasa. Djekky R. Djoht, dalam "Etnografi, Sejarah Perkembangannya dan Klasifikasi Kebudayaan -Kebudayaan Di Papua, menyebutkan bahwa Mientje De Roembiak membuat 11 klaster.

Klaster itu adalah area Teluk Cendrawasih, pulau di bagian utara, pulau pulau Raja Ampat, Bintuni, Fakfak, dan Kaimana, dataran rendah di wilayah Danau Sentani yang berbatasan dengan PNG, sepanjang suangai dan rawa rawa di bagian selatan Papua, savanah di sebelah utara Merauke dan Nimboran; dataran tinggi Jayawijaya, Arfak, dan Dana Ayamaru, sungai Mamberamo, Rouffaer -- Idenburg, dan warga pendatang di wilayah pesisir.

Walaupun dapat dibagi dalam dua kelompok besar bahasa, Austronesia dan Non -austronesia, keberbagaian ini dibagi berdasar budaya yang berbasis bahasa yang dipergunakan.

Di kabupaten Biak, misalnya, terdapat satu sub-kultur Biak, sementara di Kabupaten Jayapura terdapat 85 bahasa dan sub-kultur yang berbeda. Rata rata suku terdiri dari beberapa ribu sampai 200 ribu.

Sementara untuk non Papua yang berasal dari transamigrasi yang disponsori pemerintah adalah dari Java, Bali dan Nusa Tenggara Timur, sementara transmigrasi sukarela adalah dari Sulawesi Toraja, Makassar, Minahasa, dan Maluku.

Perbedaan budaya yang ada di Papua juga diikuti konstruksi sosial yang berbeda dalam hal peran dan tanggung jawab serta status dan kekuasaan antara perempuan dan laki laki. Memang terdapat kelompok yang matrilinial seperti di bagian Mamberamo, suku Muyu di Merauke, dalam suku Hatam, Hala and Sou in Manokwari, namun pada umumnya masyarakat adalah patrilineal.

Terdapat cerita dari pak Leo, salah satu anggota tim studi kami di 2006 bahwa perang suku sering terjadi karena perebutan putri atau istri. Ini konsisten dengan data penduduk dengN rasio seks seperti di atas. 

Data 2004 mengestimasikan sekitar 60% dari penduduk adalah penduduk asli Papua. Bagi masyarakat Papua, unit sosial adalah keluarga dan klan. Sebagian masyarakat menganggapnya sebagai organisasi masyarakat basis.

Masing masing wilayah adat yang tinggal di desa memiliki lembaga adat yang mengatur regulasi sumber daya, kompensasi dan isu pribadi seperti perkawinan, moral, dan adat. Penggunaan adat sebagai media resolusi konflik adalah yang umum dipakai.

Organisasi gereja ada di tingkat desa dan pada umumnya terlibat dalam layanan pendidikan serta acuan spiritual. Di desa yang jauh dari kota, gereja sering kali merupakan infrastruktur publik satu satunya.

Lebih dari 90% desa di Papua dan Papua Barat berada di perdesaan. Transisi demografi memang sedang terjadi di Papua. Ini terjadi karena migrasi sukarela bersamaan dengan berpindahnya masyarakat asli ke kota. 

Beberapa studi menyebutkan bahwa perpindahan penduduk lebih disebabkan oleh adanya bencana dan juga untuk bekerja di perkebunan. Juga, migrasi pada umumnya karena alasan mencari modernitas. Jadi, pada umumnya migrasi terjadi karena alasan faktor yang menarik atau 'pull factor'.

Persoalan demografi di Papua juga terkait pekerja muda usia dengan tingkat pendidikan rendah. 

Sektor tenaga kerja tumbuh lambat yang dipengaruhi oleh lambatnya transisi dari sektor pertanian dan sempitnya lapangan pekerjaan di sektor pelayanan yang terbatas pada hotel dan pertokoan saja.

Penduduk Miskin Papua Meningkat di tahun 2018
Ketika ditanya tentang apa itu kemiskinan dan siapa orang yang miskin, masyarakat Papua tidak mudah untuk menjawabnya. Namun demikian, beberapa laporan terkait kemiskinan di Papua mencatat bahwa masyarakat Papua menganggap dirinya tidak miskin, melainkan 'belum beruntung . 

Ketidak beruntungan itu pada umumnya diungkapkan dengan tiadanya pekerjaan. Saya kira ini perlu mendapat perhatian pemerintah. 

Selama ini, data kemiskinan di Papua mengikuti SUSENAS yang menggunakan standar penghitungan konsumsi minimal yang ekuivalen dengan 2.100 kalori. 

Dengan perhitungan SUSENAS, kemiskinan di Papua menunjukkan fluktuasi. Pada tahun 1999 tingkat kemiskinan adalah 54,75%, menurun menjadi 38,69% di 2004 tetapi meningkat menjadi 40,78% di 2006.

Dari sisi jumlah orang miskin, data BPS menunjukkan bahwa terdapat kenaikan jumlah orang miskin pada tahun 2018. Jumlah penduduk miskin di Papua pada 2018 meningkat 2,22 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 917,63 ribu penduduk.

Walaupun tingkat kemiskinan cenderung menurun, namun insiden kemiskinan terdapat di Provinsi ini perlu perhatian. 

Kemiskinan di Papua lebih berfokus pada kemiskinan di perdesaan tinimbang di perkotaan. Artinya ini kemiskinan masyarakat asli Papua karena merekalah yang tinggal di perdesaan. 

Apakah jumlah perempuan Papua yang miskin berkurang? Seberapa tingkat perbaikan kualitas hidup perempuan Papua? Apa saja aspek gender yang menjadi kontributor kemiskinan di Papua? Pertanyaan-pertanyaan tersebut amatlah penting untuk dijawab, walau kendala pada keberadaan data merupakan tantangan besar. Ini bukan hanya untuk Provinsi Papua tetapi juga untuk Indonesia.

Sayangnya, pengukuran tingkat kemiskinan dengan data kuantitatif yang kita pakai sering meninggalkan PR terkait beberapa faktor kemiskinan yang berpengaruh secara berbeda kepada perempuan dan laki-laki.

Untuk itu, penghitungan dan analisis kemiskinan yang multi-dimensi perlu menjadi alternatif untuk menjawab pertanyaan terkait siapa yang miskin, di mana, dan faktor penyebab kemiskinan dalam perspektif gender.

Analisis kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kualitatif hendak mencoba mendengar dan merekam suara si miskin, perempuan dan laki-laki, melalui suatu pendekatan yang lebih partisipatif.

Persoalan yang mempengaruhi hidup dan mati perempuan, seperti kematian perempuan/ibu hamil dan melahirkan, kasus kekerasan terhadap perempuan, kurang gizi di antara perempuan hamil dan melahirkan merupakan sebagian dari gambaran kemiskinan jadi penting.

Bentuk-bentuk ketidak setaraan gender tersebut merupakan manivestasi dari tidak dinilainya perempuan sama tingginya dengan bagaimana masyarakat menilai dan menghargai masyarakat laki-lakinya.

Laporan "Country Technical Notes on Indigenous People" yang disusun IFAD mencatat bahwa Papua, Papua Barat, dan NAD yang merupakan tiga wilayah terkaya di Indonesia yang ditemui tingkat kemiskinan tertinggi, khususnya di kalangan penduduk aslinya.

Beberapa penyebab kemiskinan di antara penduduk asli adalah, antara lain; (a) kurangnya pengakuan dan perlindungan atas hak masyarakat asli pada tanahnya dan sumber daya alamnya, adanya penyelenggaran kegiatan ekonomi yang tidak tepat, terutama dengan adanya 'illegal logging', pertambangan dan perkebunan; (c) degradasi kualitas sumber daya alam, yang disebabkan oleh buruknya kualitas tanah, kurangnya pendidikan masyarakat, dan persoalan transportasi yang terbatas.

Laporan IFAD ini menggarisbawahi persoalan kurang akuratnya data, termasuk data tentang jumlah dan lokasi dari masyarakat atau penduduk asli. Ini mepersulit pemahaman akan pesoalan kemiskinan di antara masyarakat asli.

Pada umumnya data statistik hanya menampilkan jumlah penduduk perdesaan atau kampung yang miskin secara kasar dari, kemiskinan di antara penduduk asli, karena sebagian besar penduduk asli tinggal di perdesaan atau kampung.

Pemerintah perlu memperdalam pemahamannya atas 9 kesepakatan yang dibuat antara Presiden Jokowi dengan para tokoh Papua, bserta konteksnya. Ini menjadi penting agar perbaikan atas kualitas hidup masyarakat Papua dapat terjadi setelah upaya upaya dilakukan.

Evaluasi Implementasi Otsus
Suatu evaluasi atas implementasi Otsus selama 17 tahun yang disusun oleh Laode M Rusliadi Suhi, Praktisi Hukum & Mahasiswa Magister Hukum Konstitusi Universitas Pancasila yang diterbitkan pada website Universitas Cendrawasih.

Evaluasi menunjukkan bahwa dana untuk pembiayaan Otsus Papua telah disalurkan sebesar Rp 76 triliun, sementara untuk Papua Barat sebesar Rp 30 triliun.

Namun demikian dicatat bahwa besarnya dana yang telah dialokasikan untuk pembangunan tidak sebanding dengan output kualitas pembangunan fisik dan sumber daya manusia serta kualitas pelayanan yang masih tertinggal dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya.

Ini tampak pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua dan PapuaBarat sebesar 70.81 persen, yang artinya IPM paling rendah di bawah rata-rata IPM nasional (urutan ke 34 dan 33 dari 34 provinsi di Indonesia).

Persoalan tidak adanya regulasi yang bersifat komprehensif untuk mengatur tentang kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua menjadikan tumpang tindihnya implementasi dan koordinasi antar lembaga Otsus yang berdampak pada pembangunan.

Tidak tuntasnya penyusunan Perdasus/Perdasi mengakibatkan lemahnya pengawasan Otsus, khususnya terkait perencanaan, penganggaran dan pelaksanan dana otsus. Juga, Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pengawasan dan pada tahap di mana lembaga tersebut saat ini telah membentuk Pansus untuk melakukan Revisi PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP.

Salah satu penyebabnya adalah kewenangan MRP sebagai representasi Lembaga Adat sangat terbatas. Ini menyebabkan penyalahgunaan dana Otsus sering terjadi. Sejujurnya saya agak heran bahwa sedikit atau hampir tak ada media menyebut peran MRP dalam memberikan suaranya kepada Presiden.

Usulan revisi undang undang diarahkan bukan hanya pada aspek administrarif pengelolaan APBD tetapi juga bagaimana kualitas hidup manusia Papua ditingkatkan.

Pemahaman kita akan situasi Papua sangatlah penting, agar apa yang menjadi tuntutan warga Papua sesuai konteks Papua dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. 

*) Bangsa Papua, perempuan dan laki-laki, adalah mereka yang paling paham kebutuhan dan persoalannya. Sebagian dari informasi yang saya tuliskan hanyalah catatan dari kajian yang saya (turut) lakukan. 

Pustaka:
Satu, Dua, Tiga, Empat,  Lima,  Enam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun