Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita Pernah Loh Alami Masa Adiksi Komik!

16 Juni 2019   12:15 Diperbarui: 17 Juni 2019   11:01 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komik pertama di Indonesia, Put On yang menjadi koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa (Kompas.com/Silvita Agmasari)

Adiksi Media Sosial dan Reaksi Publik

Adiksi pada media sosial meresahkan dunia pada beberapa tahun terakhir ini. Adiksi ini dianggap kompleks dan berdampak antar generasi. Tak kurang semua anggota parlemen Inggris sepakat mengangkat isu adiksi pada media sosial sebagai hal darurat pada Maret yang lalu. 

Pengguna media sosial yang telah menghabiskan waktu tiga jam atau lebih untuk media sosial bisa dianggap memiliki gejala adiksi pada media sosial, dan ini disinyalir mengganggu kesehatan manusia. Adiksi ini pun dianggap sebagai penyakit. Untuk itu, Pemerintah Inggris siap untuk memberikan pajak kepada perusahaan media sosial untuk mendanai upaya rehabilitasi korban adiksi pada media sosial.

Di Jepang, dua psikolog mengidentifikasi adiksi pada media sosial dan adanya kemunculan Hikikomori. Hikikomori adalah masa remaja yang tidak berbatas. Adanya orang dewasa yang berulah seperti remaja dan terus bermedia sosial disebut mengalami sindroma Hikikomori.

Ilustrasi Adiksi pada Komik (timeline.com)
Ilustrasi Adiksi pada Komik (timeline.com)
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengemuka. Apakah normal memberikan persetujuan pertemanan, bahkan pada seseorang dan kelompok yang sama sekali kita tidak kenal? Apakah normal memberikan komentar pada unggahan publik setiap hari? Apakah normal memberikan komen secara intensif pada pandangan orang yang tidak dikenal? Apakah normal kita "dikontrol" dan diawasi perusahaan perangkat lunak dan aplikasi, yang dilengkapi dengan iklan yang sedemikian rupa, yang mungkin dalam konteks normal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin?

Apakah normal ketika kita terbangun di tengah malam dan menengok media sosial, dan selama kurang lebih 28 jam seminggu, berkali kali menengoknya, dan bila tidak, akan membuat kita merasa terganggu dan kesepian?

Semua hal di atas tentu saja dianggap tidaklah normal dalam konteks sepuluh tahun yang lalu. Namun, karena dilakukan oleh miliaran penduduk dunia dan media sosial mempunyai manfaatnya, maka semua hal di atas dianggap biasa pada saat ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adiksi didefinisikan sebagai kecanduan atau ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat. Ini bisa dipakai dalam hal adiksi pada rokok, pada seksual, dan belakangan pada media sosial.

Teknologi Media dari Masa ke Masa dan Dugaan Adiksinya

Saya menuliskan artikel ini setelah obrolan dengan kawan saya, Michelle Efendi di ranah Linkedin. Ia mengunggah realitas bahwa menelpon radio amatir merupakan adiksi di masa yang lalu. Menghubungi radio amatir untuk bisa menghubungi penyiar radio dan kemudian membincang atau meminta lagu kesayangan.

Ilustrasi stasiun radio (eQuator.co.id)
Ilustrasi stasiun radio (eQuator.co.id)
Kebiasaan mendengarkan radio muncul di tahun 1939 dan mengganti kebiasaan bermain anak anak yang semula perang perangan dan lain lain. Di tahun 1946, asosiasi guru dan murid melaporkan bahwa radio menstimulasi emosi anak berlebihan. Di tahun 1950an. Ini sudah dimulai ketika anak berusia 14 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun