Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gaya Hidup Nomaden: Dari Masa Prasejarah, Zaman Modern, hingga Era Milenial

10 Juni 2019   08:50 Diperbarui: 11 Juni 2019   07:15 4048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Halaman Depan Buku Beyond the Green Myth. dokpri

Melewati Batas Mitologi Hutan yang Hijau -- Studi tentang Nomaden di Kalimantan

Di hari hari libur Lebaran, seorang sahabat membagi bacaan 'Beyond the Green Myth', suatu buku yang mendapat kontribusi tulisan dari beberapa peneliti yang bekerja di wilayah Kalimantan, yang kemudian dikerangkakan oleh dua penulis utama yang sekaligus berperan sebagai tim editorial, B. Sellato and P.G. Sercombe. Sangat menarik. 

Buku yang diterbitkan oleh Nordic Institute of Asian Studies pada 2007 ini berfokus pada kehidupan dan gaya hidup kelompok nomaden yang bertahan dengan berburu dan mengumpulkan makanan di wilayah hutan tropis Kalimantan yang merupakan wilayah tiga negara, Serawak Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.

Untuk itu, istilah masyarakat berburu dan pengumpul saling bergantian dipergunakan dengan istilah nomaden.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nomad atau nomaden adalah sekelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap atau berkelana dari satu tempat ke tempat lain.

Dulu, alasan utama manusia berpindah-pindah tempat tinggal disebabkan oleh adanya pergantian musim dan demi mendapatkan sesuatu yang diperlukan kelompok nomaden tersebut.

Studi menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dan bangsa Nomaden makin berkurang, namun mereka masih ada. Hasil riset dari New Internationalist pada 1995 menemukan masih ada sekitar 30 sampai 40 juta orang yang tinggal berpindah-pindah di dunia.

Data akhir terkait masyarakat nomaden tidak mudah ditemukan, tetapi simpulan bahwa mereka yang tersisa pada umumnya adalah kelompok suku terdalam dapat dipahami.

Pada saat penelitian dibuat pada tahun 2006, diestimasikan masih terapat 30 kelompok dengan jumlah populasi 20.000 orang nomaden di seluruh Kalimantan.

Kelompok ini adalah dari suku Dayak Punan yang tinggal di area Serawak yang berbatasan dengan wilayah Kalimantan Timur dan mereka yang berada di sebagian wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. 

Saat ini jumlah masyarakat nomaden di wilayah Kalimantan ini makin berkurang karena tergeser oleh kegiatan ekonomi berorientasi pada keuntungan ekonomi, baik budi daya pertanian, eksploitasi pertambangan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit.

Buku ini sangat menarik karena mencatat sisa keberadaan kelompok masyarakat Nomaden yang mulai bertransformasi, dan sebagiannya berdagang dengan masyarakat luar, atau malah telah sama sekali meninggalkan gaya hidup nomaden.

Dalam pemahaman kehidupan modern, kelompok masyarakat yang hidup secara nomaden dianggap tinggal di wilayah 'terra incognita', tanah tak dikenal yang biasanya berada di pedalaman.

Gaya Hidup Nomaden di Dunia 

Kelompok nomaden dari masyarakat Dayak Punan tidak hidup sendiri. Masih terdapat masyarakat nomaden yang berada di berbagai wilayah di dunia, baik di Afrika, Amerika Latin dan Asia Selatan.

Kelompok masyarakat Badawai atau Badui, misalnya, hidup di wilayah gurun Katapesh di jazirah Arab. Nama masyarakat ini yang berarti 'penghuni gurun' diperkirakan merupakan kelompok Nomad terbesar, yaitu sejumlah sekitar 21 juta orang Badawi.

Mereka hidup dari beternak kambing dan unta. Mereka bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mencari sumber air dan sumber kehidupan untuk bertahan. Disebutkan bahwa mereka menggunakan bahasa Arab yang 'tua' atau dianggap asli.

Di wilayah perbatasan Alaska Amerika Serikat dan British Columbia di Kanada masih terdapat kelompok masyarakat Tingit.

Seperti masyarakat nomad lain yang juga berkurang jumlahnya, jumlah masyarakat kelompok Tingit berkurang menjadi sekitar 15.000 orang. Persoalan tidak bertahannya mereka dari penyakit menjadi penyebab berkurangnya jumlah masyarakat ini.

Kelompok masyarakat ini bertahan hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan yaitu ikan, anjinglaut, rumput laut, buah buahan seperti berri dan tanaman hutan lain.

Di Afganistan juga dikenal kelompok masyarakat orang Kochi. Mereka adalah sekelompok penggembala sekaligus pengembara yang tinggal di Afghanistan. Saat inidiperkirakan terdapat 2,4 juta anggota suku Kochi, yang sekitar 1,5 juta di antaranya diperkirakan masih mempertahankan gaya hidup nomaden secara purna.

Kelompok Kochi Afganistan ( Robert J Gallbraith)
Kelompok Kochi Afganistan ( Robert J Gallbraith)
Orang Kochi hidup dengan beternak domba dan kambing dan menjual daging dan wol serta produk susu untuk ditukar dengan produk lain keperluan hidup mereka.

Beberapa contoh di atas menggambarkan standar dan gaya hidup kelompok Nomaden yang memiliki keterikatan anggota kelompok mereka yang kecil, yang hidupnya tergantung pada sumber daya hutan dan alam serta seni asli. Mereka pada umumnya egaliter dalam relasi sosialnya, mau bekerajsama atau kooperatif.

Mereka bergerak dan berpindah untuk mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan. 

Mereka memaknai kehidupan berpindah lebih tinggi dari sekedar ingin memiliki dan akumulasi materi. Ini seperti yang disebut oleh James Woodburn sebagai pencari hasil tercepat 'immediate-return foragers', mereka yang mengumpulkan makanan dan materi untuk kebutuhan regular dan mengkonsumsi hasilnya saat itu juga, daripada menyimpan dan menguasai makanan itu.

Nomaden di Kalimantan, antara Riset Barat dan Konteks Budaya Lokal 

Dalam konteks Kalimantan, Buku dari Sellato and P.G. Sercombe ini menggarisbawahi bahwa gaya hidup nomaden ini terefleksi dan berakar dalam nilai nilai dan perilaku serta praktek yang dijalankan oleh mereka, bahkan yang sudah menetap dan mengadopsi beberapa praktek budidaya.

Buku ini menengarai bahwa kehidupan nomaden di Kalimantan tidak selalu menerapkan kebiasaan yang berkelanjutan, misalnya membuka hutan dengan cara membakar.

Di sini saya sebetulnya menemukan awal perdebatan. Hutan Kalimantan tidak punah oleh kebiasaan masyarakat nomaden yang jumlahnya sedikit, relatif dengan luasan pulai Kalimantan. Kebiasaan membakar hutan untuk membuka lahan baru justru diadopsi oleh korporasi yang membuka hutan dengan wilayah yang luas. Ini tentu membawa dampak yang merugikan.

Juga, punahnya burung burung sebetulnya terjadi karena adanya 'trafficking' dari satwa liar ke luar pulau Kalimantan yang dilakukan baik oleh orang lokal maupun oleh pendatang.

Buku ini memberi simpulan soal heterogenitas masyarakat Dayak yang disebut tidak selalu menjunjung perdamaian. Buku ini menuliskan bahwa terdapat masyarakat yang punya budaya memenggal kepala orang sebagai bagian dari budaya mereka.

Saya melihat terdapat aspek budaya yang terlewat pada buku ini. Saya memahami bahwa pada masa transisi dan memulai kehidupan sosial dengan kelompok masyarakat luas, respons masyarakat Dayak dalam bentuk 'mengayau' dilakukan karena posisi yang terdesak, secara sosial dan ekonomi serta budaya. Ini tentu memerlukan pemahaman yang berbeda dibandingkan dengan nilai 'head hunter' pada masa lama.

Adalah menarik membaca pandangan barat yang menganggap masyarakat nomaden Kalimantan yang dianggap tidak memahami secara penuh kondisi tanaman hutan tropisnya. Buku ini memberi argumentasi bahwa masyarakat nomaden tidak memanfaatkan semua atau banyak jenis tanaman yang ada di hutan.

Saya melihat ini dengan kacamata yang berbeda lagi. Jumlah penduduk asli Dayak hampir tidak pernah bertambah secara signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan luas pulau Kalimantan.

Walaupun daratan Kalimantan hanya berjumlah sekitar 1% dari luas daratan dunia, namun Kalimantan menyimpan 6% jenis flora dan fauna dunia. Ini merupakan kekayaan yang luar biasa, yang mungkin masyarakat asli Dayakpun belum bisa menggali sepenuhnya sebagai kekayaan mereka.

Memahami Kalimantan beserta budaya yang ada di kalangan masyarakat Dayak, khususnya mereka Dayak asli yang masih memiliki nilai dan praktik nomaden perlu menjadi pemahaman bersama. Ini menjadi penting bagi pelaku pembangunan untuk menawarkan pendekatan yang menghormati hak masyarakat adat. 

Nomaden, Gaya Hidup dan Budaya Primitif yang Bergerak ke Masa Moderen dan Millenial 

Studi dan observasi menunjukkan bahwa gaya hidup nomaden memang tidak sepenuhnya hilang. Bahkan, beberapa nilai telah diadopsi dalam masyarakat millennial.

Ilustrasi gaya hifup nomaden di masa moderen (outandaboutlife.com)
Ilustrasi gaya hifup nomaden di masa moderen (outandaboutlife.com)
Berkembangnya teknologi digital mengubah banyak nilai yang ada di mayarakat. Masyarakat merespons perubahan dengan cepat agar bisa bertahan. Pekerjaan bisa dilakukan di manapun, karena tidak terikat pada bangunan kantor secara fisik. Teknologi digital membantu dan memfasilitasi proses ini.

Anyropolog Rusia Aleksandra Terekhina yang hifup berpindah demi risetnya (yamalexpendition.ru)
Anyropolog Rusia Aleksandra Terekhina yang hifup berpindah demi risetnya (yamalexpendition.ru)
Mungkin saja sebagian dari kita sudah menjalani kehidupan yang mirip mirip dengan gaya hidup nomaden ala peneliti peneliti kawan saya, tanpa kita sadari. Betul demikiankah, Kompasianer? :) 

Industri perdagangan dan retilpun mempergunakan perkembangan teknologi digital untuk mencari informasi, melakukan riset, memasarkan maupun melakukan transaksi.

Perubahan bukan hanya berkenaan dengan industri dan retil, namun juga dalam sektor properti. Sebagian dari generasi Milenial tidak memiliki pemikiran dan nilai yang sama dalam hal tempat tinggal dan kepemilikan properti.

Generasi ini cukup bahagia dengan menyewa apartemen, tinggal di 'kost kostan', tanpa harus memiliki property sebagai bagian dari aset.

Mobil dan kendaraanpun tidak lagi merupakan aset yang hendak dikejar kepemilikannya. Fasilitas transportasi masa seperti MRT, kereta api, bus dan juga fasilitas kendaraan 'online' menjadikan pergeseran semakin cepat.

Sementara itu, aset yang mereka anggap penting adalah pengetahuan dan pengalaman yang bertambah dengan melakukan banyak perjalanan.

Ilusteasi generasi milenial belerja flexible dan bergaya hidup nomad (Flexjob.com)
Ilusteasi generasi milenial belerja flexible dan bergaya hidup nomad (Flexjob.com)
Kalau sudah demikian, makinlah nampak bukti bukti bahwa nilai dan gaya hidup nomaden tidaklah hilang begitu saja. Ia bergeser dan bertransformasi dalam lini masa. Sejak masa manusia hidup di masa prasejarah, lalu meranmbah ke hutan hingga ke masa moderen dan pasca modern milenial.

Alasan alasan berbeda bisa saja mengemuka. Untuk gaya hidup nomaden yang lebih moderen, kita setidaknya menemukenali bebeapa alasan, antara lain: Pertama, adanya teknologi yang memfasilitasi peningkatan mobilitas manusia.

Kedua. Teknolgi memfasilitasi tuntutan pekerjaan yang berpindah dan meningkatnya status pekerjaan 'freelance'.

Ketiga, mobilitas yang membuat masyarakat berpindah kota dengan cepat. Sarapan di Semarang. Makan siang di Jakarta. Makan malam di Bandung.

Keempat, meningkatnya gaya hidup yang lebih praktis yang difasilitasi oleh makin bervariasnya rumah hunian seperti apartemen, 'kost kostan', hotel dan penginapan yang membuat masyarakat berpindah pada fasilitas satu ke fasilitas lainnya dengan mudah. 

Tulisan ini tidak hendak mengadvokasi kehidupan dengan gaya hidup nomaden, namun melihat betapa nomaden sebetulnya tidak berhenti pada satu diskursus dan masa. Ia dianut dalam nilai budaya dan bergerak dalam lini masa.

Tentu terdapat implikasi pada setiap pilihan hidup ini dan dalam konteksnya. Konteks ini akan bersinggungan dalam keputusan bagaimana masyarakat berumahtangga dan menjalankan kehidupan berkeluarga, bagaimana mendidik anak dan keluarga, dan bagaimana mendapatkan layanan kesehatan dan fasilitasi publik lain. 

Pustaka : 1) Nomaden Bertahan Sampai Kini; 2) Nomaden sebagai Gaya Hidup; 3) Nomaden in Badawi; 4) Nomaden dan Masa Depan; 5)Why Millenials and Normadic Lifestyle; 6) B Sellato and P.G. Sercombe, Beyond the Green Myth, Nordic Institute of Asian Studies, 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun