Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Sukuk Hijau, Narasi Keberlanjutan dalam Sektor Keuangan, dan Modal Syariah Indonesia

30 Mei 2019   12:30 Diperbarui: 1 Juni 2019   06:11 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tsunami Palu (Tribun News.com)
Tsunami Palu (Tribun News.com)
Namun demikian, lajunya penggundulan hutan dan penurunan kualitas hutan membuat Indonesia bertanggung jawab sebagai kontributor utama dalam lajunya isu pemanasan global atau emisi gas rumah kaca. Ini tentu berkaitan dengan praktek yang terjadi di masyarakat, korporasi dan juga progra pembangunan yang didanai oleh pemerintah dan swasta serta masyarakat. 

Tentu sebagai negara, Indonesia merespons kekuatiran kekuatiran ini. Indonesia meratifikasi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), menerbitkan Peraturan Presiden terkait Rencana Aksi Nasional Mitigasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) di tahun 2011 serta RAN Adaptasi Perubahan Iklim (API) di tahun 2014. 

Target penurunan emisi karbon yang tertera pada Perpres sebesar 29% pada 2030 ditingkatkan sebesar 41% pada tahun yang sama dalam mekanisme ratifikasi Paris Agreement yang menghasilkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC).

Ada yang menarik dari pendekatan pemerintah Indonesia saat ini dibandingkan dengan era sebelumnya. Bila sebelumnya isu pemanasan global digunakan solusi dengan menggunakan pendekatan lingkungan, saat ini digunakan berbagai pendekatan, termasuk di dalamnya pendekatan infrastruktur ekonomi, pendanaan dan keuangan, serta pendekatan sosial lain, termasuk di dalamnya penghapusan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan kesetaraan gender. Ini tentu tidak main main. 

Mengingat Indonesia menerapkan 'blendded financing' atau pendanaan campuran antara pendanaan pemerintah dan swasta, artinya, bukan hanya pemerintah saja tetapi sektor swasta perlu paham akan apa pentingnya perjuangan kesetaraan gender dalam isu lingkungan ini.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengatakan di pertemuan tahuan Bank Dunia dan IMF di Bali tahun 2018 bahwa ia optimis dengan hadirnya investasi baru dalam bentuk Sukuk Hijau. 

Ia melihat tanggapan 'fund manager' baik, juga tanggapan mereka yang memiliki komitmen proyek berbasis lingkungan. Narasi dari pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan lingkungan dan aspek sosial lain, termasuk gender dan dalam kerangka keuangan syariah dinilai positif. 

Hal ini tentu memerlukan lompatan lompatan yang progresif. Maklumlah, selama ini masyarakat 'sensi' dan masih tradisional memikirkan ide kesetaraan gender. Pada umumnya, diskusi hanya terbatas pada pemikiran keseimbangan partisipasi perempuan di ruang publik. Ini mengingatkan saya pada diskusi dengan Kompasianer Pak Profesor Felix Tani pada artikel saya tentang Pengetahuan Asli yang saya tulis seminggu yang lalu. 

Yang penting kita pahami adalah, kebijakan dan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan dengan integratif, tidak berdiri sendiri sendiri.

Pasar Obligasi dan Sukuk Hijau yang Membesar 

Pasar obligasi dan sukuk hijau dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, misalnya, terdapat obligasi sebesar $580 miliar  yang dijual  (Bloomberg New Energy Finance). Untuk tahun 2019, diestimasikan akan terdapat pertambahan (Daniel Shurey, Analis BNEF). Memang, obligasi hijau masih merupakan bagian kecil dari obligasi dunia senilai $100 triliun, namun negara negara Eropa memiliki komitmen tinggi untuk memenuhi target 'Paris Agreemen on Climate Change'.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun