Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hormati Gurumu, Sayangi Teman

11 Februari 2019   17:00 Diperbarui: 13 Februari 2019   22:07 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image credit: graphicstock

Pergi Belajar (Oleh Ibu Sudibyo)
Anak anak : 
Oh Ibu dan Ayah selamat pagi
Kupergi belajar sampaikan nanti
Orang Tua
Selamat belajar nak, penuh semangat
Rajinlah belajar, tentu kau dapat
Hormati gurumu, sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman.

Ingat lagu Pergi Belajar karangan ibu Sud ini? 

Mungkin generasi pasca milenia tak kenal lagi, tetapi sebagian dari kita mungkin sering menyanyikannya. Lagu itu membuat saya kembali menyadari betapa kita selalu diajarkan untuk menghormati para guru. Kita telah menghormati guru, meskipun pada saat itu belum ada peringatan tahunan Hari Guru. Kita mencintai guru, meski saat itu belum ada pemilihan Guru Teladan. Kita menghargai guru, meski belum ada lagu Hymne Guru. Guru, digugu lan ditiru. Guru yang dipatuhi dan dicontoh. 

Belum lama ini saya kedatangan tamu. Tamu itu mbak Mung, kakak sahabat saya, yang kemudian juga menjadi sahabat keluarga. Kami sama sama bersekolah di SDN Subah, suatu desa dan kecamatan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Iya, itu sekolah desa. Kami bersama sama di sekitar tahun 1970an. Jadul ya?!. Kami berdua jarang bertemu, namun belum lama ini kami saling ber WA an. Dan, jadilah suatu pertemuan manis di bulan Januari tahun 2019 ini. Kala itu, Mbak Mung diantar putranya. Jauh jauh mereka naik motor dari Subah ke Magelang untuk melepas kangen. 

Sambil minum kopi ditemani tahu bacem hangat di pagi hari, kami berbicara soal masa kecil. Soal kelucuan kelucuan ketika bersepeda bersama. Soal main kasti dan takut terkena bola yang keras. Soal rujakan. Soal latihan menari. Juga, kami bicara tentang ayah mbak Mung, almarhum Pak Wignyosumarto, atuu kami panggil pak Wig. Akhirnya, obrolan tentang almarhum pak Wig menjadi tema pagi itu. Putra mbak Mung yang berkuliah di semester 7 di salah satu fakultas di UNDIP mendengarkan kami berdua bercerita. Antara heran karena ia tidak pernah mendengar cerita cerita itu, atau kagum pada almarhum kakeknya. Entahlah. Kami berbicara soal kakeknya, yang ia tidak pernah kenal ataupun bertemua karena pak Wig telah meninggal sebelum ia lahir.

Bagi kami, Pak Wig seorang guru yang luar biasa. Beliau adalah pensiunan guru ketika saya mengenalnya. Jadi, saya tidak pernah diajar di dalam kelas olehnya. Namun hampir semua guru saya adalah murid beliau. Walaupun beliau sudah pensiun, beliau masih mengajar kami. Jadi, beliau adalah guru saya juga.

Beliau mengajar saya dan kawan kawan soal macam macam. Setiap hari kami bertukar buku. Buku kosong saya serahkan ke Pak Wig dan keesokan harinya saya akan menerima buku itu penuh dengan soal. Saya kemudian mengerjakan PR itu dan menitip kembali buku yang soalnya telah saya kerjakan itu untuk pak Wig. 

Beliau juga mengajar kami soal legenda, soal bahasa jawa, soal musik gending Jawa, dan juga menari dan wayang wong. Terdapat beberapa Sendratari yang kami berlatih dan juga kami pertunjukkan. Kami mengenal kesaktian Rama dan kesetiaan Laksmana dan Shinta. Dari pak Wig, kami tahu bahwa Laksmana harus 'menyunat' dirinya sendiri untuk menunjukkan kepada Shinta bahwa ia menjaga Shinta karena semata mata atas nama kesetiaan pada kakaknya, Sang Rama. 

Juga kami mengenal Rahwana, sang angkara murka yang sulit mati karena berkepala sepuluh. Kami juga belajar tentang Arjuna Wiwaha dan menjadi paham berbedaan tentang Arjuna dalam Baratayuda dan Arjuna dalam Arjuna Wiwaha. 

Itu semua dari pak Wig. Belia juga mengajar kami budi pekerti melalui dongeng dongengnya. Ketika kami lelah dengan latihan gamelan dan tari, kami akan meminta beliau bercerita. Dan, belia akan duduk di tengah, bercerita penuh ekspresi dengan suara suara beraneka. Sementara, kami melingkari beliau, tertawa terbahak dengan kelucuan dongeng atau berlinang karena sedih haru.  Macam macam ceritanya. Biasanya soal wayang, lengkap dengan cerita sifat dan karakternya. 

Saya rasa sulit menemukan sosok seperti beliau pada masa kini. Saya ingat betul bagaiman beliau mengajarkan saya mengingat jumlah hari di setiap bulan selama setahun dengan menggunakan kepalan tangan. Beliau gambar itu di buku saya. Saya sampai mengingatnya karena beliau gambar kepalan itu lengkap dengan jam tangannya. Dan gambar beliau itu memang bagus. 

Beliau juga mengajarkan bagaimana menulis tebal tipis huruf ha na ca ra ka. Itu semuanya melalui buku yang kami saling tukar setiap hari itu. Dan, luar biasanya, untuk semua yang pak Wig lakukan, kami tidak membayar sepeserpun. Juga tidak pernah diminta bayaran. 

Kami lakukan itu seakan biasa saja. Tentu orang tua sayapun turut memberikan bantuan ketika saya belajar, tetapi pak Wig ini betul betul tokoh guru yang ada di kepala saya. Beliau mengingatkan saya pada tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sederhana dan ikhlas membagi ilmu pada murid muridnya. 

Ki Hajar Dewantara (Quipper)
Ki Hajar Dewantara (Quipper)
Juga, di SMPN 1 Semarang, saya mempunyai seorang guru sejarah yang seru. Ibu Suhardjo. Belia paling sepuh di antara guru. Namun suaranya paling lantang. Beliau mengenakan kebaya dan kain batik panjang, rambutnya bergelung jawa. Beliau cukup galak, bila dibandingkan dengan ibu dan bapak guru lain. Galaknya sederhana. Kami tidak boleh berbicara di kelas. Posisi duduk siswa harus tegap menghadapnya. 

Sering kali, di kala kami harus menghapalkan suatu tema, kami dipanggilnya maju ke depan. Kebetulan memang sejarah adalah salah satu pelajaran favorit saya. Saya senang sja dipanggil ke depan. Suatu saat, ketika saya sedang diminta maju menhapal suatu tema di depan kelas, tiba tiba bu Suhardjo meminta saya menggaruk punggungnya. 

Kikuk saya melakukannya, karena wajah beliau tetap datar seperti sedang marah. Padahal memang begitulah ekspresinya. Lucu juga sih, menggaruk punggung guru di depan kelas.

Ada lagi ibu Siti Asma. Ibu Asma adalah guru agama di SMP.Kebetulan putrinya, dik Yayah adalah sahabat saya di kelas. Setiap hari saya jemput 'ampiri' dik Yayah berangkat ke sekolah. Kamipun pulang bersama. Bukan karena saya sahabat dik Yayah, lalu saya dekat dengan ibu Asma. Ibu Asma memang guru kesayangan. 

Sebagai guru agama perempuan, beliau sangat progresif. Luas pengetahuannya.  Di saat adik saya yang muslim menikah dengan seseorang yang beragama Katolik, kepada ibu Asmalah adik saya berkonsultasi. Semoga ibu Asma dan dik Yayah khusnul khotimah, damai bersamaNya. Kehilangan keduanya adalah sesuatu yang menyedihkan karena mereka adalah orang orang istimewa di hati saya.  

Guru saya di SD, SMP dan SMA selalu meninggalkan kesan luar biasa. Setiap kali kami, mantan mantan murid bereuni, guru guru kami adalah orang pertama kami ingat untuk kami undang atau untuk kami siapkan hadiahnya. Selalu ada rindu. 

Pada 5 Februari 2019 yang lalu, kami kehilangan seorang guru luar biasa, pater Nicolas Dumais SJ. Beliau adalah guru saya semasa SMA di Kolese Loyola di Semarang. Beliau meninggalkan kami semua pada usia 80. Adalah Dr Ninok Leksono MA, Redaktur Senior Kompas yang menuliskan memoir dan membaginya di WA 'Pater Dumais: Bahasa, Musik, Cinta Alam, dan Ke-Indonesiaan'. Ia menulis tentang betapa pater Dumais telah memberikan kasih dan dikasihi selama hidupnya.

Tentu kami paham dan ingat dengan apa yang mas Ninok tuliskan. Kami merasakan hal yang sama, meski berbeda angkatan. Pater Dumais menanamkan cinta pada ilmu linguistik, khususnya bahasa Inggris melalui lagu. Bahasa Inggris ini modal bagi kami semua hingga kini. Kami semua dibuat hapal 'the Happy Wanderer', 'the Melody Fair', "Crying in the Chappel', dan lain lain. Perbendaharaan kata kata bahasa Inggris kami menjadi baik oleh karenanya. 

Pater Dumais mengajarkan kami kepemimpinan dan cinta lingkungan melalui lintas alam dan naik gunung. Memang karena sesuatu hal, saya tidak pernah turut naik gunung bersama beliau. 

Namun, lintas alam menjadi hal yang saya tak pernah lupakan. Juga, Pater Dumais mengajarkan Astronomi (bukan Astrologi) melalui membaca bersama Eskiklopedi Sains. Semua itu diajarkan dengan bergembira. Dengan menyanyi, membaca, dan melakukan kegiatan yang dekat dengan alam. Kami belajar. Kami bersahabat, meski lain agama. 

Semasa sakitnya, tak putus bekas muridnya menengok dan mendoakannya. Pada hari ulangtahunnya di bulan Desember yang lalu, terkirim berbagai ucapan. Juga ada perayaan kecil namun meriah untuk Pater Dumais. Tentu, murid muridnyalah yang menyelenggarakan. Mas Ninok menulis 'Setelah sakitnya, pater Dumais tidur tenang di Kapel Kanisius, di Menteng, Jakarta, sebelum diberangkatkan ke Girisonta". Doa kami, selaku muridnya, semoga Pater Dumais damai bersamaNya. Aamiin. 

Tapi rasa kagum saya pada guru guru saya di masa yang lalu terusik oleh berita berita yang berseliweran di media masa dan media sosial. Belakangan ini, kita mendengar berbagai kasus yang menyedihkan terkait relasi guru dan murid. Saya mencoba menilik berita dari sebagian media saja, yaitu detik.com, tribun.com dan merdeka.com.

Di Gresik, pak Nur Kalim, seorang guru SMP PGRI Wringinanom Gresik ditantang oleh muridnya karena menegur para siswa yang merokok. Seorang murid bahkan memegang kerah kemeja batik guru tersebut. 

Lalu, puluhan guru SMA Negeri IV Penfui Kota Kupang mendatangi Kantor Polsek Kelapa Lima untuk melaporkan kasus pemukulan yang dilakukan oleh seorang orangtua murid kepada guru bahasa Inggris di sekolah ini. Pasalnya, sang guru menegur muridnya dan sang murid mengadu kepada orang tuanya. 

Di sisi lain, diberitakan bahwa ombudsman menyoroti dugaan terjadinya maladministrasi dalam kasus guru hukum push up siswa di SDIT di Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ombudsman mendesak agar polisi menyelidiki unsur pidana dilakukan guru tersebut.

Juga diberitakan, seorang guru memukul empat orang muridnya di Purwokerto. Juga berita tentang guru yang menggauli muridnya. Belum lagi kekerasan dan 'bullying' antar anak di sekolah. Rasanya sulit menuliskan dengan jelas kasus demi kasus karena uraian itu terlalu brutal. Berita berita semacam ini sudah beberapa kali terdengar dan akhir akhir ini meningkat. 

Lalu, di Negara Mana Guru Paling Dihormati?

Hasil suatu survai global diterbitkan oleh the Varkey Foundation Education Charity pada akhir tahun 2018. Lembaga ini mengelola penghargaan guru secara global the Global Teacher Prize mempunyai tujuan untuk mengangkat profil guru. Survai ini melibatkan 35 negara di dunia, termasuk Indonesia, dan mewawancarai 35.000 responden. 

BBC.COM
BBC.COM
Survai tersebut hendak melihat bagaimana rasa hormat kita kepada guru, status sosial guru, penggajiannya, serta hubungannya dengan kinerja murid. Studi juga melihat perilaku publik dan menanyakan gaya hidup guru. Adalah menarik menemukan Indonesia berada pada ranking ke 5 dari 25 negara peserta, diurutkan dari status penghormatan kepada guru yang tertinggi. Itu posisi yang bagus. Di bawah ini hasil perangkingan 10 negara tersebut: t
  1. Cina
  2. Malaysia
  3. Taiwan
  4. Rusia
  5. Indonesia
  6. Korea Selatan
  7. Turki
  8. India
  9. New Zealand
  10. Singapura.

Jadi, bila seorang guru hendak mendapatkan hormat di ruang kelas, maka silakan pilih Cina, Malysia atau Taiwan, Rusia. Dan Indonesia? Di kelima negara itu, guru menduduki posisi terhormat. Sementara itu, Brazil, Israel dan Italia menduduki posisi bontot. 

Di Amerika Serikat, Perancis dan Jerman, guru dianggap sebagai profesi terhormat. Namun, negara negara di Eropa dan Amerika Latin pada umumnya pesimis dengan rasa hormat murid kepada guru guru. Juga, tampak bahwa budaya hormat ini masih kuat di Asia, termasuk di Korea Selatan dan Singapura. 

Yang menarik, survei itu juga menunjukkan bahwa murid di negara negara yang berada pada ranking tinggi tersebut di atas adalah punya kinerja murid terbaik terkait tes internasionalnya. Hal ini membuat peneliti menyimpulkan bahwa pengakuan yang baik dan tinggi atas guru mempengaruhi hasil kinerja murid. 

Di Cina, India dan Ghana, banyak keluarga menginginkan anak anaknya menjadi guru. Tetapi, di Rusia, Israel dan Jepang, anak anak tidak disarankan untuk memilih profesi guru. Bahkan, di Inggris, hanya 23% orang tua yang menganjurkan anak anaknya untuk menjadi guru. Kita perlu mencatat bahwa ranking Inggris pada survai ini adalah ranking 9 dari 10 yang terendah. 

Di kebanyakan negara yang diteliti, publik menaruh sebelah mata pada jam kerja guru. Hal ini bahkan terjadi di negara seperti Selandia Baru yang mencatat jam kerja terlama, dan di Panama atau Mesir yang mencatat jam kerja terendah.

Di semua negara yang diteliti, responden mengatakan keterkaitan gaji guru dengan kinerja murid menurun dibandingkan penelitian yang sama yang dilakukan 5 tahun yang lalu. Di Finlandia, terjadi 80% penurunan. Di Inggris terdapat penurunan dari 74% menjadi 34%. 

Studi menyimpulkan bahwa memang ada keterkaitan antara status sosial guru di masyarakat dan kinerja murid di sekolah. Menghormati guru adalah penting untuk hasil pendidikan, yaitu murid dan lulusan yang baik.

Ada Apa dengan Pendidikan di Indonesia?
Karena studi di atas menempatkan Indonesia pada ranking 5 tertinggi dalam hal respek kepada guru, kita pasti bertanya, mengapa ini berbeda dengan realitasnya? Apa yang kurang? Apakah metodologinya salah? Dan ini saya paling tidak suka dari hasil penelitian yang banyak diluncurkan di media - mereka tidak mengupas walau sedikit terkait metodologi.

Padahal ini penting untuk melihat apa yang mendasari hasilnya. Oleh karenanya, saya mencoba melihat aspek lain terkait relasi guru dan anak serta orang tua, di samping melirik pula sistem pendidikan yang ada.

Study on Teacher Absenteeism in Indonesia 2014 yang dilakukan the Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2014 menghasilkan temuan bahwa Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat absentisme guru di sekolah yang sama dari 19 % pada 2003 menjadi 9,8% pada tahun 2014. 

Namun, persoalan absentisme guru atau guru membolos memang ada. Makna dari angka ini adalah, dari 20 sampai dengan 24 hari kerja guru, terdapat sekitar 2 sampai dengan 2,4 hari guru absen atau membolos. Studi ini memberikan rekomendasi terkait peran peran guru yang perlu diklarifikasi dan lingkungan sekolah perlu diperbaiki. 

Hal ini agar dapat meningkatkan proses belajar murid. Seperti diketahui, perhitungan jam kerja guru diatur pada Undang Undang no 7/2008. Minimal, soerang guru mengajar minimal mengajar minimal 24 jam dan paling banyak 40 jam untuk tatap muka dengan murid. 

Untuk itu, guru dapat mengakumulasi jumlah mengajar pada sekolah yang berbeda, sesuai dengan Keputusan Kementrian Pendidikan no 15 tahun 2010 terkait standar layanan minimum. Terdapat sedikit perbedaan terkait guru madrasah dan ini diatur oleh peraturan Kementrian Agama nomor 1 tahun 2013.

Studi ini menunjukkan bahwa rata rata gaji guru adalah antara Rp 2,4 juta (disebutkan oleh 3,752 responden) sd Rp 2,6 juta (disebutkan oleh 2,437 responden). Terdapat 6,4% guru yang mengatakan gaji mereka tidak terlalu rendah (disebutkan oleh 4.728 orang), sementara 9,5% mengatakan bahwa gajinya terlalu rendah (disebutkan oleh 2.870 orang). Tentu keberagaman situasi membuat kondisi juga berbeda.

Di Jayapura, saya sempat mewawancarai seorang guru SMP. Ia mengajar di sekolah katolik di Jayapura. Beliau menceritakan bahwa untuk menambah pendapatan, beliau narik ojek. Hampir tiap malam beliau naik ojek. Suatu saat beliau narik ojek dan heran karena yang ia jemput dari suatu hotel adalah muridnya. Rupanya muridnya adalah pekerja seksual. Pak guru serba salah tingkah. Sang murid memohon mohon agar hal ini tidak diceritakan kepada kawan kawannya atau kepada sekolahnya. Ini situasi yang memusingkan. 

Kompleks. Saya sempat menanyakan kepada Suster Kepala Sekolah di SMP di Jayapura terkait kegiatan ojek dan isu kurangnya gaji guru. Suster Kepala Sekolah menjawab bahwa selama tidak dalam pengetahuannya, ia tidak bisa berbuat apa apa. Namun, bila dia mengetahuinya, ia terpaksa harus menegur. Serba susah. Pekerjaan menarik ojek itu halal dan ketika guru memang membutuhkan uang tambahan ini menjadi seakan salah. 

Menjadi guru adalah suatu stres, katanya. Untuk hiburannya, ia memancing di kolam pancing kiloan. Pada kolam pancing kiloan, ia hanya membayar bila membawa ikannya dikilo ke kasir. Tetapi, untuk sekedar hiburan dan karena ia tak punya uang, maka ikan ia masukkan ke dalam kolam. Terus demikian. Hal ini saya pernah sampaikan pada artikel Membaca Bersama Gadis Gadis Cilik di Perbatasan Papua dan Papua Nugini.

Di Aceh, saya bertemu dengan ibu guru yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi guru honorer. Tentu saja kemudian ia memilih lebih aktif di koperasi kopi yang menurut dia lebih membawa semangat dan lebih menjanjikan. Namun, ia tetap pada pekerjaannya sebagai guru honorer, karena status guru dilihat baik. Soal adanya guru honorer yang bekerja lebih dari 5 sampai 10 tahun banyak terjadi di Indonesia. 

Di kota, para guru honorer yang berpendidikan sarjana S1 juga sering membantu menjadi enumerator survai yang diadakan pemerintah, misalnya terkait Program Keluarga Harapam (PKH). Di desa terpencil di Lombok Timur, seorang guru honorer yang telah bekerja selama 10 tahun mengajar 5 kelas paralel. Iapun menjadi kader Posyandu dan mewakili pak Kepala Dusun untuk pertemuan di dalam desanya. Purna waktu yang menyisakan sedikit hari saja.

Walaupun beberapa media memberitakan bahwa gaji guru honorer berpendidikan S1 adalah di bawah UMR yaitu Rp 1 juta untuk sebulan, namun di beberapa wilayah yang saya datangi, banyak guru honorer SD yang menerima gaji Rp 500.000 untuk 3 bulan. Jadi honor per bulanya adalah sekitar Rp 160.000,-. Hal ini bukan rahasia lagi. 

Gaji guru honorer sepenuhnya tergantung pada kepala sekolah. Selain dari dari dana BOS juga dari APBD pemerintah daerah setempat. Pihak sekolah memang membatasi pengeluaran untuk guru honorer karena yang mengeluarkan dana adalah kepala sekolah, bukan sekolah. Mereka khawatir akan terjadi 'temuan'.

Seorang kawan yang juga ibu guru di sebuah SMA di Muntilan, Jawa tengah sering mengeluh tentang beban belajar murid. Bergantinya sistem kurikulum yang bertambah jumlah mata ajarannya. Selain guru harus menyesuaikan diri, muridpun banyak terbebani. Persoalan persoalan kurimkulum selalu jadi momok setiap ganti tahun ajaran. 

Oleh karenanya, saya sering merasa lelah bila semua pihak mengusulkan berbagai hal soal persoalan sosial ke dalam kurikulum. Soal penangkalan hoax, soal e-sport, soal HIV/AIDS, Apa lagi? Padahal muatan atau substansi subtansi itu bisa menjadi teks mata ajaran yang telah ada dan tidak harus merubah kurikulum. 

Di beberapa sekolah SLTA di Jakarta dan di kota besar di Indonesia, masih terdapat anak anak yang harus melalui proses pendisiplinan melalui pelatihan di bawah asuhan militer, apakah itu Kopasus, Angkatan Laut, atau lainnya. Padahal ini SLAT umum, bukan sekolah dengan dasar militer. Program semacam ini masih ada di sekolah sekolah unggulan di Jakarta. 

Saya bisa sebutkan sekolah mana saja, namun tidak melalui media ini. Dengan harus berkonflik dengan pihak sekolah, saya berhasil untuk membuat anak saya tidak mengikuti latihan kedisiplinan di Kopasus. Tentu saja, kepala sekolah dan ketua yayasan menjadi kenal saya karena mereka terus merayu setiap tahunnya agar anak saya ikut dan tidak menjadi 'berbeda'. 

Jadi, terpaksa saya dikenal karena melawan. Di sekolah itu, menjadi hal biasa bila murid murid dihukum push up di depan kelas karena kesalahannya. Apakah nilai semacam ini yang hendak kita tanamkan? 

Situasi murid di sekolah sekolah di Indonesia juga beragam. Terdapat kelompok murid sekolah dari kelompok sangat miskin, berada di tempat terpencil, dan miskin fasilitas. Mereka harus berjalan kaki jauh untuk ke sekolah. Bahkan, kadang harus melewati sungai atau danau, menyeberanginya dengan perahu.

Ini tentu punya persoalan sendiri. Sementara tantangan murid yang melihat dunia luas dari media sosial dan 'gadgetnya', berikut dampak dampak sampingn yang luar biasa.

Relasi Guru, Murid dan Orangtua Tidaklah Cukup

Pada Rembug Nasional kementrian pendidikan nasional di 2018, disepakati akan adanya kode etik guru dan murid. Ini menyikapi adanya banyak kasus kekerasan yang menimpa baik guru dan anak. Padahal, menutus saya, persoalannya bukan hanya pada relasi guru dan murid. Bagaimana relasi guru, murid dan orang tua?

Ini semestinya menjadi pekerjaan bersama. Menyalahkan orang tua semata dengan nilai nilai normatif juga bukanlah jawaban. Kita hidup dalam tatanan sosial dan itu menjadi konteks yang dinamis di mana murid, guru, dan orang tua serta sistem pendidikan juga berelasi. 

Terdapat tulisan di suatu blog tentang 9 hal harapan guru pada orang tua. Ini menarik. Pertama, adalah membaca. Orang tua diharapkan membaca untuk mendukung proses belajar anak. Kedua, adalah menjalin komunikasi dengan guru. Ketiga, bangun pertemanan. 

Keempat, menghadiri pertemuan. Kelima, aktif dalam kegiatan sekolah. Keenam, mengikuti kegiatan edukatif. Ketujuh, menanamkan nilai. Kedelapan, mengajarkan kebersihan. Kesembilan, jadi sosok di rumah. 

Jelas sudah, partisipasi orang tua dalam keberhasilan belajar sang anak juga merupakan hal penting. Di sekolah yang telah menerapkan relasi segitiga ini mungkin memiliki kondisi lebih baik dari yang tak melakukannya. 

Namun, itupun saya kira tidaklah cukup. Persoalan pendidikan bukan hanya tergantung pada peran guru, murid dan orang tua. Ini tanggung jawab kita semua. Seberapa kita sebagai lingkungan sosial mampu memperkenalkan nilai nilai etika dan mendidik anak anak dengan baik?

Namun, ada pula kecenderungan bila terdapat anak sekolah yang nakal, maka orang tua, khususnya ibu akan dipersalahkan. Entah karena sang ibu bekerja, entah karena sang ibu berkegiatan di luar. Bahkan, dalam kampanye politik lalu muncul agenda 'merumahkan ibu', domestifikasi peran ibu. Ini tentu tidak adil. Pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua, ibu dan anak. 

Bagaimana mungkin anak anak akan memiliki etika dan harus mencontoh gurunya, bila di lingkungan sosial guru itu tidak dihargai orang tua dan lingkungannya. Bagaimana kita akan mendapatkan anak anak yang santun bila mereka 'dididik' oleh televisi penuh sinetron dengan 'rating' tinggi mempertontonkan kebrutalan, perselingkuhan, kekerasan, mistik dan tingkah polah badut politik yang sibuk bermain hoaks. 

Bagaimana mungkin kita berharap siswa beretika dan sayang kawan bila mereka melihat politisi dan pejabat yang berbohong, saling melempar bahasa kasar, dan saling melempar meja di gedung DPR/MPRRI? Belum lagi umbar kebencian di media sosial. Apakah ini yang disebut mendidik? 

Murid bukan hanya 'pasien' guru. Kita semua bertanggung jawab. Tak ada gunanya saling menyalahkan, sementara kita tidak berbuat apapun. Ini negeri darurat untuk banyak hal. Kita adalah bagian dari perubahan itu. Itu kata guru saya, Mahatma Gandhi. 

Pustaka: 1 2 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun