Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kemenangan Golput, dari Kecewa Tanpa Pilihan, Gagal Nyoblos sampai Kemalasan Belaka

7 Februari 2019   21:30 Diperbarui: 8 Februari 2019   05:53 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Futurity.org yang ditambahkan data Indonesia

 

Sazzle.com
Sazzle.com
Target, Upaya dan Opsi. 

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 -- 2019 menargetkan kehadiran pemilih di TPS (baik untuk pileg maupun pilpres) sebesar 77,5%. Walaupun itu ditargetkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan, namun upaya untuk memenuhi target ini dianggap tidak terlalu serius untuk diupayakan.

Dalam konsep pemilu, Golput sering disebut 'abstain' atau 'non voters' di dalam bahasa Inggris yang dipakai negara negara. Beberapa negara dengan peraturan yang mewajibkan warga untuk memilih menunjukkan variasi yang menarik. Studi menunjukkan bahwa Australia adalah negara yang paling efektif mendorong regulasi sejak dilahirkannya regulasi kehasrusan mengikuti pemilu dengan capaian 79% pada pemilu tahun 2016.

Amerika mencoba beberapa prosedur yang memudahkan bagi mereka yang tidak terdaftar karena tidak memiliki kartu identitas atau karena belum memiliki kartu identitias karena baru saja memasuki usia pilih. Cara cara ini misalnya pendaftaran pemilih secara 'online', penggunaan SIM dan KTP untuk bukti. Beberapa negara bagian mengijinkan pendaftar yang terlambat, namun secara nasional menetapkan pendaftaran dilakukan paling lambat 30 hari sebelum pemilu. Negara bagian Kalifornia mengijinkan pendaftaran pada hari yang sama, tetapi negara bagian lain tetap mengharuskan pendaftaran pada kantor Pemilu setempat. Studi pada meeka yang Golput pada pemilu Amerika menunjukkan bahwa 23% dari mereka yang telah mendaftar tetapi tidak memilih disebabkan oleh jadwal bekerja yang bertabrakan dengan pemilu.

Pada saat yang sama, beberapa negara bagian di Amerika menetapkan pembatasan pembatasan dalam pemilu. Dicatat oleh the Brennan Center for Justice, sejak 2010 terdapat paling tidak 23 negara bagian yang membuat aturan lebih ketat terkait pendfataran. Hal ini menyebabkan kelompok minoritas kulit warna seperti African-American, daeri etnis Spanyol , mereka dengan pendapatan rendah dan kelompok muda untuk ikut memilih. Dicatata sekitar 17.000 warga tidak bisa memilih karena aturan aturan tambahan terkait KTP, SIM dan surat imigrasi yang ditetapkan negara negara bagian itu.

Sebagai hasilnya, prosentase pemilih pada pemilu Amerika 2016 adalah rendah yaitu 55,7. Tingginya prosentasi Golput di Amerika yaitu 44,3%, maka sebetulnya pemenang pemilu Amerika jelas jelas 'non voters' atau Golput. Studi yang diluncurkan melalui the Washington Post pada 9 Agustus 2018 mengkukuhkan temuan dan analisis terkait kemenangan Golput dari profile 137 juta orang pemilih tersebut. Dengan demikian, kita memang akhirnya tahu bahwa Golput telah memenangkan Pemilu di dunia.

Memang beberapa kalangan berpikir bahwa kebebasan bersuara yang dijamin PBB dan konstitusi negar adalah memadai untuk menjadi alasan mengapa warga perlu bebas memilih atau tidak memilih. Bagi mereka, hak untuk memilih seimbang dengan hak untuk tidak memilih.

Namun hal ini ditepis beberapa analis ilmu politik, termasuk mereka yang berasal dari kalangan unuversitas. Seorang penulis dari Universitas Stanford, Amerika, Melissa Dewitt, misalnya, menyampaikan pandangan banyak pihak, khususnya dari kalangan universitas tentang pentingnya mencoblos sebagai kewajiban dan ditetapkan sebagai keharusan. Ini sehubungan dengan apa yang terjadi di pemilu 2016 di Amerika. Keharusan mencoblos ini sebagai bagian dari partisipasi universal dalam pemilu nasional seperti yang telah dilakukan oleh Belgia, Australia dan Brazil. Untuk Belgia, wajib pemilu dilakukan untuk pemilu legislatif bukan untuk pemilu eksekutif.

Di bawah ini adalah daftar negara negara pelaksana Pemilu yang memiliki/tidak memiliki aturan atau undang undang tentang wajib memilih. 

Futurity.org yang ditambahkan data Indonesia
Futurity.org yang ditambahkan data Indonesia
Emillee Chapman melalui tulisannya di the Amerian Journal of Political Science mengatakan bahwa partisipasi universal pada pemilu dapat menjadi alat tagih kepada mereka yang terpilih bahwa warga adalah setara ketika menyoal pengambilan keputusan terkait pemerintahan. Berikut adalah beberapa argumentasi turunannya.
  • Memilih sebagai keharusan berarti suara masing masing warga diharapkan dan dihargai. Ini menggarisbawahi bahwa tidak ada kelas dalam demokrasi. Pihak yang terpilih akuntabel kepada semua warga, bukan hanya yang mayoritas atau pemilih saja.
  • Pemilu bukan satu satunya ruang dan alat demokrasi. Masyarakat masih memiliki ruang bicara di luar pemilu, antara lain melalui petisi atau membuat unit untuk mengadvokasi proses berikutnya.
  • Keharusan memilih juga mengurangi friksi di antara warga yang hendak menyetir peran negosiasi mereka pada situasi khusus, mengingat bagaimana kompleksnya sebuah pemerintahan. Memang begitu banyak warga yang sulit membayangkan bagaimana cara agar suaranya terdengar.
  • Keberhasilan Australia yang melahirkan aturan keharusan memilih sejak 1924 menunjukkan bahwa minimal sekitar 87% masyarakat akan atau pasti memilih. Hal ini karena pemerintah mampu meyakinkan masyarakat melalui cara yang mendisiplinkan mereka yang Golput melalui persepsi yang positif tentang pemilu. Dan, Australia dianggap sebagai negara yang paling efektif menjalankan wajib pilihnya. Bahkan, Australia menetapkan sangsi pada mereka yang tidak memilih. Undang undang di Australia meyakinkan warga bahwa memilih adalah tugas moral.
  • Hak memilih harus didasari bahwa warga bersama sama mengambil keputusan, bukan menjadi Golput dan menggunakannya sebagai ekspresi menjadi oposan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun