Sejarah cuci darah dimulai pada tahun 1940-an, dibangun oleh Willem Kolff, seorang dokter Belanda. Alat dialysis yang disebut ginjal artifisial ini ia buat ketika melihat soerang pasien menderita karena gagal ginjal akut. Ketika penemuannya berhasil, ia kemudian memproduksi lebih banyak alat cuci darah.Â
Ia ke Amerika pada akhir 1940-an dan bekerja di Rumah Sakit Mount Sinai, New York City, Amerika Serikat untuk memperjuangkan layanan kesehatan ginjal untuk menjadi layanan kesehatan yang permanen. Karena pihak rumah sakit menolak adanya layanan cuci darah ada pada Rumah Sakit, maka dokter Kolff membuat unit layanan cuci darah di gedung terpisah dari Rumah Sakit Mount Sinai.
Penemuan ini dilanjutkan oleh Dr. Belding Scribner, seorang profesor di Universtias Washington. Di tahun 1962, ia mendirikan pusat layanan dialysis yang resmi. Ia juga menggagas alat dialysis yang dapat dikelola di rumah bagi pasien gagal ginjal yang belum akut.
Adalah menjadi suatu tren di dalam praktik dunia kedokteran di negara maju dan mungkin meningkat di Indonesia terkait upaya mencegah penularan penyakit. Misalnya, the Center for Disease Control and Prevention (CDC) menerbitkan check list dan prosedur pencegahan penyakit menular pada proses dialysis ini, antara lain prosedur audit desinfektan rutin, audit alat dan selang dan lain sebagainya.Â
Artinya, disadari memang ada potensi penularan penyakit pada proses cuci darah. Dan, upaya secara terus menerus untuk menerapkan keamanan layanan cuci darah terus diupayakan dan dijadikan standard layanan.Â
Tentu saja, penjelasan dari ilmu kesehatan tentang cuci darah tentu akan lebih panjang dan kompleks.Â
Catatan saya pagi ini adalah betapa pasien gagal ginjal bisa memiliki harapan hidup lebih tinggi. Sumber terpercaya tentang kesehatan mencatat pasien dapat berumur lebih panjang, hingga 20 tahun atau lebih karena dibantu prosedur cuci darah.Â
Dan, pasien terbantu bukan hanya oleh prosedur dan teknologi yang lebih baik dari cuci darah. Tim kesehatan, BPJS, dan juga  orang-orang yang mendampingi pasien gagal ginjal juga sangat membantu. Orang-orang ini bisa saja suami, anak, istri, adik, kakak, orangtua, atau orang-orang baik hati seperti Mas Yono. Mendampingi pasien cuci darah untuk menjalankan prosedur cuci darah yang memakan waktu minimal 14 jam seminggu secara rutin selama bertahun tahun itu bukan hal mudah.Â
Semangat kebaikan Mas Yono menggugah hati. Hal ini ada di tengah suasana memanasnya perhelatan politik yang hampir selalu hanya disemangati oleh kuasa dan uang, sementara dialysis menjadi satu topik politik. Â Rasanya adem masih ada sosok manusia utama. Manusia pemurah dan welas asih seperti Mas Yono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H