Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mas Yono, Tukang Sayur Langganan dan Cuci Darah

5 Januari 2019   09:31 Diperbarui: 6 Januari 2019   07:40 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat Cuci Darah (Foto : CDC, Center for Desease Control Prevention) topsimages.com

Mas Yono adalah tukang sayur langganan kami di desa, di Sawangan, Magelang. Dia selalu datang pagi ke rumah kami, sekitar jam 6 atau jam 7. Untuk bisa menjajakan sayur pada jam 6 atau 7 pagi, artinya ia harus kulakan jam 5 di pasar yang lebih besar di Blabak. Ini tentu dilakukannya setiap hari. 

Menurut saya, tukang sayur adalah pekerja yang rajin dan hidupnya teratur. Mas Yono juga membangunkan kami dengan klakson motornya, bila kami kesiangan akibat terlalu nyenyak tidur karena udara sejuk dan belum membuka pintu rumah. 

Seperti tukang sayur yang lain, maka mas Yono juga menerima belanja ngebon. Mas Yono berkunjung ke rumah langganannya setiap hari. Langganan belanja setiap hari. Belanja dibayarkan berkala. Bisa mingguan. Bisa juga bulanan. Tentu Mas Yono membangun kepercayaan dengan pelanggannya.

Karena di rumah saya, tukang masaknya adalah suami saya, maka Mas Yono jadi kawan kami sekeluarga. Mas Yono tahu saya penyuka jenis sayuran lokal yang tak ada di pasar atau di super market. Jembak, otok owok, dan sayuran jenis krokot lain akan dia tawarkan kepada kami.  Sementara, ia juga membawa bahan bahan untuk masakan sehari hari yang dipesan suami saya.

Tak jarang, Mas Yono harus kembali ke rumah kami untuk mengantar pisang kepok kuning. Padahal, ia sudah datang di pagi hari jam 7, seperti biasa. Pisang kepok kuning yang tua tapi masih mengkal ini sangat lezat digoreng, dibuat kolak, dibuat stup pisang, atau dikukus. Dan ini adalah makanan favorit keluarga.

Pagi tadi saya sedikit ngobrol dengan mas Yono. Soal dialysis. Soal cuci darah.

Saya ngobrol dengan Mas Yono karena terusik berita tentang penggunaan selang alat pencuci darah yang diberitakan dipakai berulang kali di RSCM. Bukan untuk mendiskusikan kesahihan berita  taupun soal proses dialysis itu, tapi soal lain yang saya pikir penting.

Selama 11 tahun terakhir, Mas Yono mendampingi tetangganya, seorang pasien gagal ginjal untuk melakukan dialysis (Mohon maaf, saya tidak menyebutkan nama pasien). Persisnya, seminggu dua kali Mas Yono menjemput ke rumah pasien, mengantarnya ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta, menemani proses dialysis, mengantar kembali pulang ke rumah pasien. 

Jadi paling tidak selama seminggu, 14 sampai 20 jam waktunya ia berikan untuk mendampingi pasien tersebut untuk cuci darah. Seringkali, jalanan menuju dan di sekitaran Yogya macet. Beberapa menit menjemput ke rumah pasien. Satu jam mengantar ke Rumah Sakit. Lima jam menunggu proses cuci darah. Satu jam mengantar pulang dari Rumah Sakit ke rumah pasien. 

Mas Yono menceritakan bahwa saat ini persoalan kemacetan di perjalanan dari rumah pasien ke Yogyakarta sudah bisa sedikit tertanggulangi, karena proses dialysis sudah bisa dilakukan di RS Aisyiah Muntilan. Ia bisa menghemat waktu sekitar 1 jam sekali mengantar proses cuci darah. Tetapi, artinya, Mas Yono masih perlu waktu minimal 14 jam seminggu untuk mendampingi pasien. 

Mas Yono juga bercerita bahwa selama 11 tahun ini, pasien sempat 4 kali dalam kondisi memburuk. Ia harus menggendong pasien untuk bisa naik ke mobil. Lalu menggendongnya untuk masuk ke Rumah Sakit. Begitu selanjutnya. Dan itu ia lakukan setiap kali membantu tetangganya ini. Mas Yono menceritakan, ketika tubuh pasien sangat lemah cuci darah terpaksa tidak dilakukan.

Ia menceritakan, baginya proses cuci darah jadi hal yang sudah biasa. Ia katakan "Niku proses mbuang kotoran limbah bahaya teng darah. Ngganti darah ingkang resik". (Itu proses membuang limbah berbahaya di dalam tubuh. Mengganti dengan darah segar yang bersih".

Terkait pembayaran, Mas Yono mengatakan "Sak niki, mboten susah. Wonten BPJS.  Riyin mbayar sejuta ngantos sejuta setengah langkung saben cuci darah". (Sekarang tidak susah. Ada BPJS. Sebelumnya, sekitar Rp 1 juta sampai dengan Rp 1.500.000 setiap kali cuci darah.

Ketika saya tanya dengan hati-hati, apakah Mas Yono mendapat gaji atau uang pengganti untuk mengantarnya, ia menjawab ringan "Walah mbotenlah. Wong tanggi kulo niki nggih taksih sederek tebih. Sok sok, kulo diparingi" (Wah ya tidaklah. Tetangga saya ini ada hubungan saudara jauh. Kadang kadang, saya diberi)

Saya mendengar semua ini dengan rasa takjub sekaligus terenyuh. Saya mengenal Mas Yono sebagai orang sederhana yang baik sekali. Ia bersama Mbak Karti, istrinya, adalah keluarga yang tulus. Kamipun, ia perlakukan sebagai saudaranya. 

Ketika kami ada kerepotan, ia dan mbak Karti akan hadir setia membantu. Mbak Karti akan turut menyiangi sayur untuk dimasak atau turut mengatur kue dalam piring. Menata tikar untuk tamu duduk bersila. Ini dia lakukan ketika kami ada pengajian slametan calon bayi dari anak saya. Juga ketika kami berkumpul untuk berhalal bihalal sederhana bersama tetangga dekat, asisten rumah tangga, dan kawan serta saudara baru di desa.

Keluarga sederhana : Pak Yono, Bu Karti dan Difa putri mereka (Foto : Dokumentasi Mas Yono)
Keluarga sederhana : Pak Yono, Bu Karti dan Difa putri mereka (Foto : Dokumentasi Mas Yono)

Bagi orang awam seperti saya, cuci darah adalah suatu proses yang kompleks.

Yang saya pahami adalah ketika kita menderita gagal ginjal kronis, artinya ginjal tidak dapat menyaring kotoran. Dan ginjal tidak mampu mengatur jumlah air dalam tubuh. Juga ginjal tidak dapat mengatur kadar garam dan kalsium dalam darah. Sebagai akibatnya, sisa-sisa dari proses metabolisme tubuh tetap berada dalam tubuh dan membahayakan kondisi tubuh.

Proses cuci darah membutuhkan waktu sekitar 9 jam untuk "menyehatkan" darah bertahan sehat selama seminggu. Karena prosesnya yang lama, prosedur cuci darah dapat dibagi menjadi dua. Masing-masing 5 jam dalam 2 kunjungan seminggu. 

Dalam beberapa kasus ketika kondisi gagal ginjal belum parah, atau bersifat sementara, cuci darah bisa dihentikan. Tapi saat gagal ginjal akut, maka proses cuci darah dilakukan rutin sepanjang umur. 

Pada kondisi tertentu, pasien bisa saja melakukan transplantasi ginjal. Namun, prosedur ini tentu berarti harus menemukan donor ginjal yang sesuai. Biayanya tentu juga tak terkira.

Sejarah cuci darah dimulai pada tahun 1940-an, dibangun oleh Willem Kolff, seorang dokter Belanda. Alat dialysis yang disebut ginjal artifisial ini ia buat ketika melihat soerang pasien menderita karena gagal ginjal akut. Ketika penemuannya berhasil, ia kemudian memproduksi lebih banyak alat cuci darah. 

Ia ke Amerika pada akhir 1940-an dan bekerja di Rumah Sakit Mount Sinai, New York City, Amerika Serikat untuk memperjuangkan layanan kesehatan ginjal untuk menjadi layanan kesehatan yang permanen. Karena pihak rumah sakit menolak adanya layanan cuci darah ada pada Rumah Sakit, maka dokter Kolff membuat unit layanan cuci darah di gedung terpisah dari Rumah Sakit Mount Sinai.

Penemuan ini dilanjutkan oleh Dr. Belding Scribner, seorang profesor di Universtias Washington. Di tahun 1962, ia mendirikan pusat layanan dialysis yang resmi. Ia juga menggagas alat dialysis yang dapat dikelola di rumah bagi pasien gagal ginjal yang belum akut.

Adalah menjadi suatu tren di dalam praktik dunia kedokteran di negara maju dan mungkin meningkat di Indonesia terkait upaya mencegah penularan penyakit. Misalnya, the Center for Disease Control and Prevention (CDC) menerbitkan check list dan prosedur pencegahan penyakit menular pada proses dialysis ini, antara lain prosedur audit desinfektan rutin, audit alat dan selang dan lain sebagainya. 

Artinya, disadari memang ada potensi penularan penyakit pada proses cuci darah. Dan, upaya secara terus menerus untuk menerapkan keamanan layanan cuci darah terus diupayakan dan dijadikan standard layanan. 

Tentu saja, penjelasan dari ilmu kesehatan tentang cuci darah tentu akan lebih panjang dan kompleks. 

Catatan saya pagi ini adalah betapa pasien gagal ginjal bisa memiliki harapan hidup lebih tinggi. Sumber terpercaya tentang kesehatan mencatat pasien dapat berumur lebih panjang, hingga 20 tahun atau lebih karena dibantu prosedur cuci darah. 

Dan, pasien terbantu bukan hanya oleh prosedur dan teknologi yang lebih baik dari cuci darah. Tim kesehatan, BPJS, dan juga  orang-orang yang mendampingi pasien gagal ginjal juga sangat membantu. Orang-orang ini bisa saja suami, anak, istri, adik, kakak, orangtua, atau orang-orang baik hati seperti Mas Yono. Mendampingi pasien cuci darah untuk menjalankan prosedur cuci darah yang memakan waktu minimal 14 jam seminggu secara rutin selama bertahun tahun itu bukan hal mudah. 

Semangat kebaikan Mas Yono menggugah hati. Hal ini ada di tengah suasana memanasnya perhelatan politik yang hampir selalu hanya disemangati oleh kuasa dan uang, sementara dialysis menjadi satu topik politik.  Rasanya adem masih ada sosok manusia utama. Manusia pemurah dan welas asih seperti Mas Yono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun