Hidup tak selalu memberi aba-aba saat ia hendak berubah. Tak ada alarm yang berbunyi sebelum segalanya tiba-tiba runtuh---pekerjaan yang hilang, relasi yang kandas, atau arah hidup yang tak lagi jelas. Kita pun terpaku di ambang: harus memilih melawan, kabur, atau diam.
Di Ambang Ketidakpastian: Awal dari Sebuah Pengakuan
Tidak semua perjalanan dimulai dari keputusan sadar. Beberapa dimulai dari kehilangan. Beberapa dari keterpaksaan. Dan sebagian besar dari ketidakpastian.
Kita terbiasa mengukur hidup dengan rencana dan prediksi. Kita merasa aman ketika tahu apa yang akan terjadi besok, bulan depan, atau tahun depan. Tapi hidup tidak beroperasi seperti peta GPS yang bisa memberi tahu "belok kanan 500 meter lagi." Ia lebih mirip kabut tebal yang menelan pandangan kita bahkan hanya satu langkah ke depan.
Ketika semuanya mulai kabur---ketika karier goyah, hubungan mulai retak, keuangan menipis, atau arah hidup hilang makna---kita dipaksa berhenti.Â
Momen itu membuat kita bertanya: "Apa yang sedang terjadi dengan hidupku?" Pertanyaan ini bukan sekadar keluhan. Ia adalah panggilan untuk mulai melihat ke dalam.
Karena sesungguhnya, kita sering hidup hanya dalam peran. Dan saat panggungnya runtuh, barulah kita sadar, kita belum benar-benar mengenal pemerannya: diri kita sendiri.
Ketidakpastian Sebagai Pintu Menuju Kesadaran Diri
Ketika dunia luar tak lagi bisa dikendalikan, dunia dalam adalah satu-satunya ruang yang tersisa. Di sanalah kita mulai bertanya: "Siapa aku di balik semua ini?"
Pada momen ketika semua identitas eksternal---jabatan, status, pengakuan---runtuh, kita berhadapan langsung dengan kerapuhan eksistensial. Inilah yang oleh para filsuf disebut ground zero---titik nol dalam hidup. Terasa sunyi, menyakitkan, tapi justru di situlah fondasi baru bisa dibangun.
Viktor Frankl, seorang penyintas kamp konsentrasi dan psikolog eksistensial, pernah berkata, :"Ketika seseorang tidak bisa lagi mengubah situasinya, ia ditantang untuk mengubah dirinya sendiri."
Fase Disorientasi: Bingung, Takut, tapi Perlu
Tak ada yang suka merasa tersesat. Tapi bukankah justru dengan tersesat kita belajar membaca peta? Di fase ini, muncul berbagai emosi: ketakutan, keraguan, kehilangan rasa percaya diri.
Namun, di balik emosi itu tersimpan peluang. Kita sedang mengalami kematian kecil---bukan secara harfiah, tapi secara psikologis. Ego lama yang terbiasa dengan kenyamanan mulai runtuh. Dan itu baik. Karena ruang yang kosong bisa diisi ulang dengan sesuatu yang lebih otentik.