Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (8)

18 September 2014   21:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14110312961045857323

Malam adalah sisi lain dari keindahan dan keajaiban dunia. Tapi terkadang keindahannya sirna manakala hujan lebat disertai angin badai, dan langit tanpa bulan bintang. Malam bisa jadi menyeramkan. Tapi indahnya malam ketika kedamaian hadir, langit cerah penuh bintang kelap-kelip. Seperti malam ini, malam pertama Nika ada di Tuktuk. Duduk menepi di bangku tembok dekat danau, terasa sepi tapi itu justru menghadirkan teduh di hatinya. Berulang kali bayangan Gito muncul mengusik kesendiriannya, Nika memejamkan mata,menggigit bibir, mengusir bayangan itu sekuat hati.

Nika tahu kesendiriannya mengundang perhatian orang yang hadir di sekitar halaman belakang hotel itu. Nika maklum itu wajar. Tadi pemuda pelayan hotel itu bertanya pada Nika,” Kok sendirian nona, apa tak merasa sunyi.” Nika tahu pertanyaan itu sewajarnya tanpa niat lain. Nika pun menyahut ramah,” Nggak apa-apa, nanti juga teman pada datang.” Pelayan itu susah mengalihkan mata mengagumi kecantikan gadis di hadapannya.” Nona pesan minuman, Coca mungkin atau jus?”

Nika menyahuti dengan senyum.”Mauliate ito, aku tadi sudah minum di kamar.” Wajah pelayan itu berseri mendengar sepatah kata bahasa lokal itu terucap dari mulut nona manis itu. “Nona, eh, ito boru apa, maksud saya marganya apa.”

Nika tertawa kecil, kecantikan wajahnya tampak mempesona disinari cahaya lampu teras hotel.”Margarine, itu margaku.” Nika ingat di kampus dulu perkataan margarine itu jadi gurauan para mahasiswa saat berbincang dengan mahasiswa asal Batak. “Waduh, nona ini suka humor juga,” tukas pelayan tertawa seraya ngeloyor pergi meninggalkan Nika.

Ponselnya berbunyi. Nika melihatcall Tante Rosa dari Medan. Nikaburu-buru mengklik tombol terima, ingin tahu informasi tentang papa mamanya di Jakarta.” Hallo Nika, gimana kabarmu, baik-baik saja kan?’ Nika cepat menyahuti,” Ya tante, Nika baik saja. Wou indahnya malam di sini tan, aku sekarang lagi duduk menikmatiindahnya malam di Tuktuk.Di Medan juga pasti tante liat banyak bintang di langit, tapi di sini lebih banyak tante, mungkin jutaan...ha-ha-ha...tante juga sehat kan?”

Terkadang gaya kekanakan dan kemanjaan Nika muncul jika lawan bicaranya adalah adik mamanya itu. Tante Rosa sangat sayang padanya, Nika tahu itu. Makanya, apapun keinginan Nika sulit ditolaknya, meski kadang bertentangan dengan pikirannya. Nika tertawa ketika mendengar Tante Rosa berkata seakan merajuk,” Kamu tau Nik, gara-gara kamu itu tante harus membohongi mamamu, bilangin kamu ada sama tante di Medan. Aduh, berdosa jadinya Nik. Tapi kamu harus jaga diri baik-baik di sana, kapan kamu minta tante pasti datang menemani atau menjemput Nika ke sana. Jangan kelamaan di sana ya.”

Nikana pun berjanji.” Ya tante, beres itu tan, Nika jaga diri baik-baik kok, lagian mana ada orang jahat di sini, semua aman saja kok.Indah suasana malam di sini,tante”

Lama juga Tante Rosa menelpon Nika. Hampir setengah jam. Tak terhitung banyaknya berapa kali Tante Rosa menasehati, mengingatkan, mencetuskan kekhawatirannya tentang keadaan Nika sendirian di Tuktuk. Dan Nika tahu itu adalah ekspresi kepedulian tantenya semata. “Ya tante, Nika akan ingat semua nasehat tante.”

Malam tak terlalu dingin, meski angin bertiup cukup kencang menerpa air danau. Nika beranjak dari duduknya, mengenakan syal melilit lehernya. Ia kepingin jalan-jalan melihat situasi malam di jalan utama Tuktuk yang terang benderang oleh cahaya lampu restoran, pertokoan, dan kedai-kedai tradisional yang berderet di tepi jalan. Suasana masih ramai saat Nika melintas dengan langkah santai. Terdengar suitan-suitan dari sejumlah pria di sebuah warung. Nika anggap itu biasa, berjalan dengan tenang. Namanya anak muda, suka mencetuskan komunikasi tak langsung, tapi belum tentu hal itu cetusan kenakalan. Positive thinking aja. Begitu prinsip Nika. Dan ia berjalan menyusuri jalan yang kondisinyakurang bagus itu dengan perasaan nyaman. Mobil, sepeda motor, dan sepeda, masih ramai lalu lalang melintasi jalan raya sempit itu. Turis asing juga masih banyak yang mondar-mandir berjalan kaki di sana-sini. Nika membayangkan, dibanding Bali memang obyek wisata di Danau Toba masih kalah jauh. Mungkin pembenahan oleh pemerintah yang masih kurang.

Tak sampai sekilo meter menyusuri jalanan, Nika merasa tubuhnya hangat. Ia berbalik pulang ke hotel. Ketika melewati kedai tadi, suitan anak muda di sana kembali berulang. Nika melihat sekilas, anak-anak muda itu tampaknya sedang asyik menyanyi sambil memetik gitar ramai-ramai. Nika suka dengan aktivitas anak muda seperti itu. Orang Batak itu banyak yang pandai menyanyi, gumam Nika dalam hati. Di Jakarta juga Nika sering melihat orang Sumatera yang selalu menonjol tampil di panggung ketika ada acara-acara seremonial dan pesta-pesta hajatan. Di kampus juga, saat ada acara wisuda,mahasiswa asal Medan yang dominan menghibur.

Malam itu Nika cukup nyenyak tidurnya. Tanpa mimpi, tanpa igau, tanpa kekhawatiran. Tuktuk begitu nyaman, tenang, dan bersahabat terhadap semua pengunjung.Ketika ia terbangun, sinar matahari memancar dari celah ventilasi di atas jendela kamar. Nika menggeliat, membuka jendela, memandang keluar. Lalu dilihatnya jam tangannya sudah menunjuk pukul 7.00 lewat. Nika ke kamar mandi, menyikat gigi, mematut-matut diri di depan cermin oval di dinding. Tapi ia terkejut, melihat Gito berdiri di belakangnya. Nika cepat berbalik. Nihil! Ouh, hanya halusinasi. Nika tersenyum sendiri melihat wajahnya di kaca.

*******

Pagi itu cuaca cerah. Matahari mulai bergerak menebar cahayanya yang hangat. Di salah satu kedai di tikungan jalan, dua orang anak muda sedang bermain catur, sambil minum kopi. Keduanya tak mendengar ketika ibu pemilik kedai merepet dari ruang belakang.” Tak bosan juga kalian main catur itu, kemarin setengah hari asyik itu aja, sekarang masih pagi, sudah nongkrong lagi. Kapan lagi kalian cari uang kalau terus main catur.Dasar anak muda suka senang-senang.”

“Bah, ini kan cari duit juga namanyaNamboru, tak perlu banting tulang kesana kemari, cukup peras otak aja kuhabiskanlah uangnya si Riko ini,” sahut anak muda berkaos hitam dengan rambutgondrong yang dikuncir ke belakang.

“Peeeh, mana cari duit namanya itu, namanya itu judi karena kalian taruhan uang,” celoteh ibu tadi meneruskan omelannya. “Beruntunglah anakku Tigor pergi merantau, kalau tidak bisa seperti kalian tak menentu kerjanya. Apa lagi kamu Torkis, kau aja yang terus ajak si Riko itu sampai dia juga terikut-ikut candu main catur.”

“He-he-he, namboru ini bukan main cerewetnya, jadi terganggu juga konsentrasiku,” balas anak muda yang disebut Torkis, sambil menggeser kudanya menangkis serangan menteri lawan yang merapat mengancam rajanya.

“Skak raja! Anak muda berkaos putih yang tadi disebut Riko kembali menggeser benteng dari sayap kanan menskak dari jalur lurus. Sang raja putih yang dimainkan Torkis langsung terjepit. Tak ada lagi ruang gerak. Satu menteri dan dua pion menjepit dari sayap kiri, membuat pintu keluar tertutup. total. Torkis mendenguskan nafas,kesal. Sesaat ia tersandar di kursi rotan reyot itu, menatap papan catur. Seperti belum rela menyerah. Torkis mengevaluasi sejenak, di mana tadi ia salah langkah, sampai permainan berbalik arah. Pada hal tadi caturnya sudah di atas angin mau menang.

Riko terbahak. Pemuda berwajah tampan persegi seperti Brad Pitt itu sudah menang untuk ketiga kali. “Tabo hita lae, jentelmen! Molo nunga talu, peakhon rajami,” katanya dalam bahasa lokal. Maksudnya, kalau sudah kalah bersikap jentelmen lah, dan raja direbahkan.

Melihat lawan mainnya tersandar lesu, Riko sendiri yang merebahkan raja putih.”Ingkon songon on do parmate ni raja herodes i, ha-ha-ha,” kata Riko masih tertawa puas. (Harus beginilah kematian raja Herodes itu).

Kedua anak mda itu sudah biasa main catur pada waktu tertentu di kedai Amani Tagor. Ibaratnya sudah lawan bebuyutan. Keduanya memang dikenal cukup piawai bermain catur, dan sering main imbang. Tapi pagi ini kekalahan Torkis cukup telak, 3-0. Pada hal kemarin skor masih imbang 4-4. “Unang pintor sai mekkel ho baya, annon borngin hubante do ho, na hurang modom do au ibanna talu,” tukas Torkissambil menyeruput kopinya.(jangan dulu terus puas, nanti malam kita teruskan, kau akan kubantai. Aku kalah karena kurang tidur,” dalih Torkis sambil mengucak-ucak rambutnya.

Marihot yang biasa dipanggil Riko terkekeh. Ia menghitung uang taruhan yang ditaruh di bawah papan catur. Semuanya 600 ribu. Taruhannya Rp 100 ribu satu plat. Lalu selembar uang Rp 100 ribu diberikannya kepada ibu pemilik kedai. “Biar aku yang membayar minuman kami, juga bon yang semalam.” Dua indomi tambah dua bungkus rokok dan empat gelas kopi. Dibayarnya semua. “Itu tandanya kemenangan, tak boleh pelit,” kata Riko masih tertawa senang.

Pagi itu kedai masih lengang. Biasanya jelang sore baru ramai dikunjungi parmitu. Kedai Amani Tagor memang terkenal laris di Samosir, karena tuaknya paten, orisinil, tak dicampur-campur seperti kebanyakan tuak di tempat lain. Karena larisnya, tuak di kedai ini sering cepat habis. Tak jarang parmitu (peminum tuak sambil menyanyi) kecewa berat kalau tuak Amani Tagor habis. Apa lagi di kedai itu selalu ada tambul (makanan selingan saat minum tuak).

Tak ada pekerjaan lain sementara Torkis merebahkan diri di kursi panjang di sudut kedai, Riko minta gitar pada ibu isterinya Amani Tagoritu.” Mana gitar buatan sipoholon itu namboru*, mau nyanyi dulu satu dua lagu.”Dari ruang belakang, ibu itu berseru senang,” Nah dari pada nongkrong main catur terus, lebih baik mainkan gitar. Itu baru namanya anak paten.” Gitar yang tergantung di dinding diambil perempuan paruh baya itu, dberikannya pada Riko. Terdengar Torkis sudah mendengkur di kursi panjang. Ibu itu kembali merepet.” Dasar pemalas, masih pagi begini sudah mendengkur.”

Riko mulai memetik gitar. Dia terkenal pemain gitar kawakan di sana. Jika Riko sudah memegang gitar, orang pun pada fokus memasang telinga. Riko juga pandai menyanyi. Suaranya mirip suara penyanyi top masa lalu, Eddy Silitonga. Tak jarang ketika Riko main gitar memperdengarkan suara emasnya, jendela kamar tidur anak gadis terbuka. Riko tak hanya bisa nyanyikan lagu Batak klasik atau modern. Dia juga mampu dan hafal sejumlah lagu barat terutama yang sentimentil. Bahkan lagu Minang dan Melayu Deli juga ada beberapa yang bisa dinyanyikannya dengan sempurna. Terlalu banyak anak gadis yang tergila-gila dibuatnya. Tak hanya di Samosir, bahkan juga di Parapat dan Balige. Riko adalah anak Tarutung yang lama tinggal di Samosir. Namun Riko bukan tipe pemuda yang mau jatuh cinta pada perempuan.” Bahaya kalau jatuh cinta, kalau status tak menentu seperti saya,” katanya selalu manakala ada yang bertanya, kapan Riko mengakhiri masa lajangnya.

Riko bersandar di dinding kedai. Mulai memetik tali gitar dengan sangat lincahnya, memainkan intro lagu Hotel California dari grup Eagle yang terkenal. Ibu pemilik warung itu pun duduk tak bergeming menikmati alunan suara Riko.Komposisi irama melodinya memang tak persis bisa sama dengan pemain aslinya, tapi tak terlalu jauh bedanya. Ibu itu mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja mengikuti irama melodi yang dimainkan Riko. Ibu ini paling senang mendengar penyanyi tunggal, tak terlalu suka kalau rombongan parmitu menyanyi ramai-ramai tak terarah. (Namboru= panggilan orang Batak untuk saudara perempuan ayah) (Next)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun