Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (20)

16 Oktober 2014   22:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:45 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14134467251985497897

[caption id="attachment_366909" align="aligncenter" width="300" caption="Ill: Novel Leonardo Jt"][/caption]

Novel Leonardo JT (20)

Hari itu Rabu, hari keempat Nikana di Tuktuk. Riko heran, Nika bilang masih ingin jalan-jalan sekitar Tuktuk. Riko pun tak berkomentar. Ia serahkan sepenuhnya apa keinginan gadis itu. Riko terangkan, masih banyak tempat lainnya bisa dikunjungi. Antara lain, kuburan kuno Raja Siallagan di Ambarita. Ada nuansa sejarah yang bisa disimak di sana. Tapi Nika mengatakan,”ya lain kali kita ke sana, aku masih pengen melihat panorama Tuktuk yang nyaman.”

Riko menginformasikan, kalau capek jalan kaki, ia punya sepeda motor jika diperlukan. Riko khawatir gadis itu kecapaian hanya jalan kaki. Riko heran, gadis itu begitu kuat jalan kaki, tak pernah mengeluh. Riko tak tahu kalau Nika pernah ikut latihan bela diri karate dan jujitsu, sehingga punya daya tahan di balik kelembutan kulitnya.

“Trima kasih Riko, ada saatnya nanti kita butuh naik motor, tapi untuk menikmati alam indah dari dekat ngapain naik motor, jalan kaki gini kan enjoy,” kata Nika tersenyum. Riko heran, gadis itu tak menggunakan sebutan “ito” lagi. Atau dia lupa atau memang merasa makin akrab sehingga langsung menyebut namanya. Tapi Riko tak mempersoalkan hal sepele itu.

“Okelah ito, kalau memang itu yang lebih menyenangkan,” kata Riko dan menatap si gadis yang lagi asyik menjepret sana-sini dengan kamera digitalnya.

Nika memang sangat merindukan kebebasan berjalan kaki. Mungkin sudah jenuh naik mobil melulu di Jakarta. Di rumahnya saja ada empat mobil pribadi yang siap digunakan lengkap dengan sopir. Ada Nissan Terrano, Pajero, sedan Camira kesayangan mamanya, ada Honda Civc dan Land Cruiser. Selain itu ada dua motor matic yang sesekali dipakainya jalan sore, atau belanja ke mal terdekat.

“Kaki bisa lecet kalau terlalu sering dipakai jalan terlalu jauh,” kata Riko ketika untuk kedua kalinya melintasi pantai yang sudah dilewati dua hari sebelumnya. Riko tak tega kalau kaki putih mulus dengan betis indah itu sampai lecetatau terkena duri di pantai.

Nika melirik Riko. Hatinya senang atas kepedulian pemuda itu. Sambil senyum, Nika berkata,” Tak apa Rik. Tubuh kita sesekali perlu dibuat lecet, jangan terlalu dimanjakan.” Kedua kalinya Nika tak menyebut ito lagi. Riko menganggap itu perubahan yang cepat terjadi. “Gadis ini kadang aneh, kadang ceplas-ceplos, terkadang membisu,tapi biar saja, aku tak perlu mempermasalahkan,” pikir Riko sambil menggerakkan kakinya mengikuti Nika kemana pun menjurus. Riko justru merasakan dirinya yang letih. Tapi ia tak menunjukkannya.

Soal naik sepeda motor itu sudah tiga kali ditawarkan Riko, tapi Nika masih menolak. Riko menganggap gadis itu mungkin segan, malu, atau takut dibonceng naik spedamotor bututnya? Mungkin juga. Dulu juga Riko sering membonceng gadis bule keliling Samosir atas permintaan si turis. Tapi memang ada juga yang seperti Nika, tak mau naik sepeda motor, lebih memilih pakai sepeda.

Lalu, tiba-tiba Riko ingat tentang sepeda itu. “Atau mungkin ito lebih suka kalau kita sesekali naik sepeda... maksud saya....” Nika menghetikan langkahnya, tersenyum lebar.” Naah, itu juga enak Rik, naik sepeda lebih nyaman kan, tak ada polusi. Ya ya aku suka itu, tapi tidak sekarang. Mungkin besok kita bisa naik sepeda saja. Ok.”

Dalam hati Riko berpikir,” Nah itu dia, benar juga dia segan atau takut kalau kubonceng naik motor, buktinya kalau naik sepeda langsung mau. Lagian, naik sepeda itu memang tak cocok kalau boncengan.”

Ada kalanya Nika mendahului Riko menelusuri pantai berpasir. Dibukanya sepatu, lalu berlarian seperti anak kecil. Dipungutnya batu-batuan atau pasir, lalu dilempar-lemparkan ke permukaan danau. Tampaknya ia begitu riang. Sesekali menatap pegunungan, dan wajahnya berseri. Jika wajah cantik itu berseri, Riko pun merasa senang. Tapi saat wajah itu terkadang berubah muram, Riko juga merasa tak enak hati. Terkadang Riko mengintai pernak pernik perubahan pada wajah itu. Bisa muram, bisa cerah seperti langit biru tak berawan. Riko mencoba mereka-reka, ada apa di balik kesendirian gadis ini. Jarang sekali ada gadis wisatawan datang ke Tuktuk sendirian. Itu pasti ada alasan spesial, dan memerlukan keberanian khusus.Riko menduga gadis cantik ini menyembunyikan suatu rahasia sangat pribadi. Tapi apa rahasia itu, tak mungkin diketahui. Pada saat lain, wajah ceria itu pun muncul seperti mega mendung raib disapu cahaya matahari. Apakah itu bukan sekadar kompensasi dari suatu pengalaman pribadi yang bermuatan duka?

Riko menyingkirkan pikiran berandai-andai itu dengan menyadari tak ada baiknya mencampuri urusan orang lain yang sifatnya privacy. Riko terombang-ambing dengan bermacam rekayasa pikiran yang datang tak diundang.

Ditatapnya ke arah danau. Dilihatnya gadis itu duduk pada sebatang kayu di bibir pantai, membiarkan kedua kakinya disembur-sembur air yang berkecipak ditiup angin. Di atas danau terlihat sekelompok burung layang-layang turun naik, berkejaran menukik rendah mencium air, lalu melesat lagi ke angkasa. Tampaknya itu yang sedang diamati gadis itu, seraya berulangkali mengabadikannya dengan kamera. Dua buah perahu tampak hilir mudik dalam jarak dekat. Penumpangnya anak remaja yang sedang memancing ikan.

“Kemarilah Rik, viewnya bagus kali dilihat dari sini,” kata Nika sambil melambaikan tangan ke arah Riko yang sedang merokok tak jauh dari Nika di pantai. Riko beranjak setelah membuang puntung rokoknya yang masih menyala. Sebutan ito benar-benar sudah terhapus.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara anjing menyalak. Ada seekor anjing besar kurapan dan dua anaknya datang mendekat ke arah Nika. Riko teringat gadis itu fobia pada anjing. Sebelum Riko sempat mengingatkan, Nika sudah meliat anjing itu. Ia tampak ketakutan. Nika berseru,” Riko...waduh gimana nih, di sini gak nyaman, kita pindah aja.” Suaranya bergetar cemas.

Riko sudah berdiri di sisinya.” Jangan takut ito, aku usir anjingnya.” Dan Riko sudah memegang sebatang kayu mengibas-ibaskannya ke arah anjing beranak itu. “Husss...husss,” Riko menyongsong anjing itu dengan kayu di tangan. Anjing itu rupanya takut juga. Sambil mengibaskan ekornya, induk anjing itu berbalik arah ke perbukitan di atas.

Nika memeramkan mata sesaat, lalu berkata.” Untung Riko pawangnya anjing, semua anjing di sini takut padamu.”

Wajah Nika yang sempat tegang kembali normal. Riko hanya tersenyum, lalu melemparkan potongan kayu ke batu-batuan besar yang berserakan di sana-sini.

Mereka meninggalkan pantai lewat tengah hari. Sinar mentari mulai condong ke barat. Keringat berbintik-bintik di leher gadis itu. “Besok kita naik sepeda ya Rik, kemana tadi, yah ke kuburan kuno apa namanya tadi...”

“Raja Siallagan,” kata Riko cepat.

“Apa dari sini terlalu jauh ke sana kalau naik sepeda?”

“Tak terlalu jauh, tergantung kita juga tahan nggak naik sepeda ke sana. Tapi banyak turis bule sering naik sepeda ke sana. Kalau nona mau, biar kubooking dulu sepedanya untuk besok.”kata Riko.

Nika tersenyum menatap Riko. Tapi senyumnya karena merasa geli, mendengar Riko memanggilnya lagi dengan sebutan nona.

“Lupa lagi ya...” Nika tertawa, memperlihatkan baris giginya yang putih bersih. Riko tak bisa melihat tatapan mata di balik kaca mata hitam itu.

“Lupa apanya nona, eh ito...”, Riko kelimpungan juga.

“Masih juga panggil nona...”

Riko tersipu.” Oh maaf, maaf lah ito, maklum suka lupa...”

Masih tersenyum, Nika berkata,” Kenapa ya soal sebutan gitu aja selalu kupersoalkan, lucu jadinya..”

Riko cepat menimpali.” Tadi juga ito tak bilang ito lagi sama aku kan?”

Nika membuka kacamatanya, melebarkan mata.” Ooh ya...jadi aku bilang apa tadi.”

Riko tersenyum.” Tak bilang apa-apa kok, hanya langsung sebut namaku...”

Wajah Nika tiba-tiba berseri.” Naaah, aku ada ide lagi nih. Bagaimana kalau basa-basi itu kita hilangkan aja, apa Rik setuju.”

“Maksudnya?” tanya Riko senang melihat wajah berseri itu.

Nika mengenakan kacamatanya kembali.” Aku pikir kita orang muda ini sudah terbawa arus formalitas basa-basi. Sebaiknya tak usah lagi ada sebutan itu semua, apa tak lebih baik panggil nama kecil masing-masing saja. Gimana.”

“ Aku setuju saja non...eh, salah lagi...” Riko tersipu. Nika tertawa. “ Maksud aku supaya lebih lepas aja dari segala tetek bengek predikat komunikasi. Ya kan.”

“Baiklah...”

“Baiklah Nika, gituuuu”, Nika tertawa lagi.

Keduanya menuju jalan pulang ke hotel. Riko tak henti-hentinya menganalisis watak gadis itu. Masih juga misteri yang menjadi jawabannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun