Kita hidup di dunia yang terlalu bising: notifikasi, konten, dan ngobrol tanpa batas waktu. Otak begitu sering diserang stimulus eksternal. Pengen begini pengen begitu, hanya untuk mengejar obsesi dan mimpi. Hingga lupa melakukan hal-hal kecil namun paling mendasar: berpikir dan membaca dalam sunyi. Padahal, kesunyian dan bacaan adalah ruang di mana pikiran mampu menemukan jalan dan arahnya.
Banyak orang sering menyalahkan otaknya sendiri. Menganggap tidak sepintar orang lain. Merasa bodoh bahkan merasa otaknya tidak jalan hari ini. Lupa, yang rusak bukan mesinnya (otaknya) tapi arah sopirnya (pikirannya). Entah, mau apa dan  mau ke mana? Kita lupa, otak itu hanya menuruti perintah berpikir. Dan pikiran, bisa salah bisa benar. Itulah kesalahan terbesar manusia: mengira kegagalan berpikir disebabkan oleh kekurangan kecerdasan, padahal sumber masalahnya adalah pola pikir yang keliru.
Melatih otak dengan membaca, begitulah yang dilakukan puluhan anak-anak usia sekolah di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Rutin seminggu 3 kali berada di taman bacaan, hanya untuk membaca dan bermain. Tanpa ponsel, tanpa ocehan dan hanya akrab dengan lembar demi lembar buku bacaan. Untuk mengerti suara kecil dari teks bacaan yang mengarahkan mereka ke ide-ide jernih. Anak-anak yang sedang melatih cara  berpikir, bukan membangun kecerdasan. Merawat otak, untuk tetap jernih dan apa adanya. Tanpa obsesi yang berlebihan.
Di TBM Lentera Pustaka, anak-anak pembaca aktif dilatih untuk berpikir dengan arah yang benar, meskipun otaknya "biasa saja". Tidak perlu punya IQ tinggi asal tidak sessat dalam berpikir. Sebab hari ini, begitu banyak orang punya IQ tinggi dan merasa cerdas tapi pikirannya tersesat. Hal kecil dibuat rumit, akhirnya jadi tidak produktif dan hidup dalam ilusinya sendiri. Taman bacaan hanya menegaskan sebab membaca jadi berpikir, sebab berpikir jadi mau membaca.
Harus diakui, hari ini banyak orang terlalu cepat menilai, tapi lambat memahami. Terbiasa menilai orang lain hingga membuat otak seperti hakim yang terburu-buru memutuskan kasus tanpa membaca berkas. Kita menilai orang lain dari satu kesalahan, ide dari satu kutipan, peristiwa dari satu potongan video. Hasilnya: kesimpulan yang dangkal dan arah berpikir yang salah. Sementara itu, orang yang berpikir dengan benar tahu bahwa memahami butuh waktu. Mengerti keadaan itu butuh proses. Maka siapapun yang membaca, lebih memilih menunda penilaian dan memperluas perspektif sebelum menyimpulkan. Ini bukan tanda lambat, tapi tanda berani memahami. Bukan soal kecerdasan tapi soal pemahaman. Â
Membaca butuh proses, butuh praktik baik yang berulang. Bila membaca buku hanya untuk "menamatkan," maka kita akan kehilangan kesempatan untuk mengurai ide, membandingkan, dan merenung. Sering kali otak lelah bukan karena malas, tapi karena dipaksa berlari tanpa arah. Sebab selama ini terlalu fokus pada hasil, bukan pada proses berpikir. Karena berpikir dan membaca (termasuk belajar dan bekerja) hanya untuk cepat selesai, bukan untuk benar-benar paham. Membacalah untuk memahami dan bernalar, salam literasi!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI