Perkawinan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia yang tidak hanya menghubungkan dua individu secara emosional, tetapi juga membawa konsekuensi sosial, hukum, dan agama. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk serta menerapkan sistem hukum pluralistik, keberadaan pencatatan perkawinan menjadi aspek fundamental guna memberikan jaminan kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak-hak para pihak yang terlibat, termasuk anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut (Mufidah, 2018). Pencatatan perkawinan diperlukan agar pernikahan tidak hanya sah menurut agama, tetapi juga memperoleh pengakuan negara sebagai dasar perlindungan hukum.
Lebih jauh, pencatatan perkawinan memiliki fungsi strategis dalam menjamin status hukum pasangan suami istri serta memastikan terpenuhinya hak-hak perdata mereka, seperti hak atas warisan, kepemilikan harta bersama, hingga status hukum anak (Rohmah, 2020). Selain itu, pencatatan perkawinan juga berperan dalam mencegah terjadinya praktik perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, seperti perkawinan anak di bawah umur, poligami tanpa izin resmi, serta potensi eksploitasi terhadap perempuan dan anak (Wahyuni, 2019).
Namun, pada praktiknya, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah hal yang penting, sehingga cukup melangsungkan pernikahan secara agama tanpa melengkapinya dengan pencatatan resmi di lembaga negara. Hal ini kerap menjadi sumber timbulnya berbagai persoalan sosial dan hukum, baik dalam konteks keluarga maupun masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai pencatatan perkawinan melalui pendekatan historis, filosofis, sosiologis, religius, dan yuridis, agar masyarakat semakin sadar akan pentingnya legalitas perkawinan sebagai bagian dari perlindungan hukum, ketertiban sosial, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Afandi, 2021).
Pencatatan perkawinan memiliki peran penting dalam hukum dan masyarakat di Indonesia. Tidak hanya sebagai syarat administratif, pencatatan perkawinan juga berfungsi sebagai perlindungan hukum bagi pasangan suami istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Berikut adalah pembahasan lebih lanjut mengenai sejarah, makna filosofis, sosiologis, religius, serta yuridis dari pencatatan perkawinan di Indonesia, termasuk dampak yang muncul apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan.
1. Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Sejarah pencatatan perkawinan di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dari masa ke masa. Pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, pencatatan perkawinan belum menjadi kewajiban. Pernikahan lebih banyak diatur oleh hukum adat dan agama masing-masing komunitas.
Pada masa kolonial Belanda, sistem hukum Eropa diperkenalkan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, BW), yang mengatur pencatatan perkawinan bagi golongan tertentu, terutama warga negara Belanda dan Tionghoa. Namun, bagi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam, pernikahan tetap dilakukan berdasarkan hukum Islam tanpa kewajiban pencatatan dalam sistem hukum negara.
Pasca-kemerdekaan, Indonesia mulai merancang regulasi yang lebih jelas mengenai perkawinan. Puncaknya adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini menetapkan bahwa pencatatan perkawinan menjadi kewajiban bagi seluruh warga negara, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Perkawinan bagi umat Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan bagi non-Muslim dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi juga telah beberapa kali mengeluarkan putusan terkait pencatatan perkawinan, terutama dalam kasus pernikahan agama tanpa pencatatan. Salah satu putusan penting adalah Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, yang memperjelas status hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan.
Selain itu, pencatatan perkawinan semakin diperkuat dengan adanya aturan-aturan tambahan dalam hukum keluarga yang bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak. Pemerintah juga terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan guna menghindari permasalahan hukum di masa mendatang.
2. Mengapa Pencatatan Perkawinan Diperlukan?