Awan kelabu menyelimuti kota metropolitan yang dulu menjadi panggung ambisi Clara.
Ia berdiri di depan pintu rumah sederhana milik Stella, teman masa kecilnya. Rumah itu jauh dari gedung-gedung mewah yang dulu ia miliki, dan kini telah hilang.
Clara pernah dikenal sebagai pengusaha muda, politikus, dan aktivis perempuan dengan citra spiritual yang kuat. Di panggung publik, ia bicara lantang tentang kesetaraan dan pemberdayaan. Banyak yang menyebutnya "dewi kemanusiaan." Tapi di balik sorotan itu, ia menyalahgunakan dana publik, membeli properti mewah, dan memanipulasi kepercayaan orang-orang yang mengaguminya.
Ia kehilangan segalanya. Tunangannya selama sepuluh tahun, Arya, meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain. Bisnisnya bangkrut. Tabungannya habis setelah kalah dalam pemilihan legislatif. Orang-orang menjauh.Â
Yang tersisa hanyalah Clara---hampa, seperti daun kering yang diterbangkan angin.
Ia datang ke Stella. Teman masa kecil yang tak pernah berubah. Meski berpendidikan tinggi dan berkarir sebagai konsultan internasional, Stella memilih hidup sederhana. Ia tinggal di rumah kecil, jauh dari kemewahan yang bisa ia miliki.
Stella membuka pintu dengan senyum hangat.
"Clara, lama tak bertemu. Masuklah."
Clara melangkah masuk dengan tubuh berat dan hati yang retak. Ruang tamu Stella sederhana, dipenuhi foto keluarga dan aroma camomile hangat. Di meja kecil, ada sepotong kue coklat yang masih mengepul, dan piyama bersih terlipat rapi di atas sofa.
Stella duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dengan tenang.
"Rumah ini selalu terbuka untukmu, Clar. Anggap saja rumah sendiri, senyamannya kamu. Aku sudah siapkan kamar tidur di ujung lorong. Kalau kamu ingin mandi, semua peralatannya ada di kamar mandi dalam."
Clara menatap Stella, matanya mulai berkaca.
"Terima kasih... aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana."
Stella tersenyum lembut.
"Kamu nggak perlu mulai dari mana pun malam ini. Cukup istirahat."