Oh, ya, sebelumnya kami sempat tidak menginap di rumah selama beberapa hari karena libur Lebaran di kampung mertua. Ini dilema banget buat si Ayah.
Bagaimana tidak, saluran televisi di rumah mertua tidak memungkinkannya untuk menonton bola. Akhirnya, hampir tiap malam ia mengungsi ke rumah tetangga, menonton melalui channel khusus. “Rame, ya, Yah?” tanya saya suatu hari ketika ia mau berangkat. “Wah, rame banget, Bu. Menonton bersama teman-teman masa kecil. Seruuu pokoknya,” ujarnya bersemangat. Baiklah.
“Trus, kenapa Ayah tiba-tiba pulang padahal pertandingan masih belum selesai?” tanya saya penasaran.
“Ya, semua juga begitu. Nanti waktu pertandingan dimulai lagi baru pada ngumpul lagi. Nggak enak sama tuan rumah kalau nunggu di sana,” jawabnya. Tuan rumah yang dimaksud memang sebuah keluarga yang memiliki seorang balita. Astaga, kasian kalau kebangun gitu... Untungnya, liburan segera usai.
Si Ayah pun akhirnya bebas menonton di rumah. Meskipun sendirian, ia tampaknya cukup bahagia. Ada banyak kisah seru yang terjadi selama masa menonton Piala Dunia itu. Namun, yang paling dramatis adalah ketika kami tiba-tiba bangun kesiangan. Padahal, hari itu adalah hari Senin ditambah ada meeting penting yang harus dihadirinya di kantor.
Bangun-bangun, matanya terlihat merah dan bengkak. Katanya baru tidur dua jam yang lalu. Namun, ia tetap menuju kamar mandi dengan sempoyongan. Berangkatnya pun terburu-buru. Fiuh.
Bukan hanya itu saja. Hampir tiap menjelang pukul 19.00, kehebohan biasanya akan terjadi. Televisi segera dinyalakan, kopi diseduh, camilan dikeluarkan, lalu ja langsung nongkrong dengan mata penuh konsentrasi ke layar.
Serunya kalau si kecil sudah mulai agak rewel. Biasanya, balita berusia 2 tahun ini lalu memanggil-manggil ayahnya untuk menemani bermain.
“Yahhh... Ayahhh.. Ayahhhhh” Gitu terus, sambung-menyambung. Kuping jadi budeg? Dikiitt. Dan tidak ada cara untuk menghentikannya selain dijawab dan dipenuhi keinginannya. Nah, karena si Ayah ini sedang khusyuk menonton bola, teriakan itu diabaikan saja. Sampai akhirnya saya turun tangan untuk mengingatkan.
“Yah, anak Ayah manggil-manggil dari tadi. Kasian.”
“Eh, iyaaa, Nak. Ada apa? Sini, siniii... Nonton bola sama ayah, Yuk!” rayunya. Lalu, dengan tergopoh-gopoh, anak akan langsung menghampiri. Bertahan berapa lamakah keadaan itu? Ya, sekitar 5 menit. Kemudian, persekutuan kecil mereka pun bubar dan ibu harus kembali menghadapi si kecil yang "sebel" karena dicuekin ayahnya.