Mohon tunggu...
Leli Kusuma
Leli Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Magister Psikologi Sains, Direktorat Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendidik dengan Cinta: Transformasi Psikologis Pendidikan Madrasah di Era Teknologi

19 Oktober 2025   04:53 Diperbarui: 19 Oktober 2025   05:07 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kementerian Agama kembali menggulirkan gagasan “Kurikulum Cinta” dalam pendidikan madrasah. Sebuah ide yang memantik perdebatan luas: sebagian melihatnya sebagai terobosan untuk membangun karakter spiritual dan empati siswa, sementara lainnya menilainya terlalu abstrak dan sulit diukur. Namun di balik kontroversi itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah pendidikan kita masih sekadar mengejar nilai akademik, atau sudah menumbuhkan sisi kemanusiaan yang sejati?

Ketika Cinta Hilang dari Kelas

Dalam sistem pendidikan modern, keberhasilan siswa kerap diukur dari skor ujian dan ranking. Di ruang kelas, anak-anak berlomba menjadi yang terbaik tanpa benar-benar memahami esensi belajar. Kompetisi membuat nilai-nilai seperti kasih sayang, kejujuran, dan empati perlahan memudar. Padahal, pendidikan sejati mestinya melahirkan manusia yang berakhlak, bukan sekadar cerdas secara kognitif.

Kurikulum Cinta hadir sebagai kritik terhadap sistem pendidikan yang terlalu mekanis dan kering emosi. Di sini, “cinta” bukan perasaan romantis, melainkan energi universal yang melahirkan kepedulian, penghormatan, dan ketulusan. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga pembimbing emosional dan spiritual. Madrasah—dengan akar religiusnya yang kuat—sejatinya memiliki potensi besar untuk menghidupkan nilai-nilai ini.

Landasan Psikologis Pendidikan Cinta

Ki Hadjar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah membimbing potensi anak menuju kebahagiaan dan keselamatan tertinggi. Intinya: kasih sayang adalah jantung pendidikan. Psikolog pendidikan Munif Chatib (2021) menambahkan, lingkungan belajar yang penuh cinta dapat menurunkan kecemasan akademik dan menumbuhkan motivasi intrinsik. Anak yang merasa diterima dan dicintai tumbuh lebih percaya diri serta kreatif.

Pandangan ini sejalan dengan teori Abraham Maslow, yang menempatkan cinta dan rasa memiliki sebagai kebutuhan dasar manusia. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, individu akan lebih mudah mencapai aktualisasi diri. Artinya, cinta bukan hanya nilai moral, tetapi juga energi psikologis yang menumbuhkan semangat belajar tanpa tekanan.

Dari Kesadaran Diri ke Tanggung Jawab Sosial

Kurikulum Cinta tidak sekadar mengajarkan empati, tetapi membangun kesadaran holistik — mulai dari pengenalan diri (self-awareness), pengelolaan emosi, hingga kesadaran sosial. Anak diajak mengenali kekuatan dan kelemahannya, bukan sekadar bersaing dengan orang lain.

Di era digital, banyak siswa belajar demi citra, bukan makna. Kurikulum ini ingin mengembalikan keseimbangan itu: agar anak tak hanya pandai berpikir, tapi juga peka terhadap sesama dan lingkungan. Inilah inti dari konsep rahmatan lil ‘alamin — cinta yang menembus batas diri dan menjadi tanggung jawab sosial.

Transformasi Budaya Sekolah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun