Kompasiana.com - Di tengah lanskap Banyuwangi yang memesona, tersembunyi sebuah dusun bernama Silirsari, bagian dari Desa Kesilir, Kecamatan Siliragung.
Bertahun-tahun lamanya, dusun ini berjuang dalam sunyi, terpencil dari gemerlap kemajuan oleh jurang yang dalam.
Sungai yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan, justru menjadi tembok pemisah, menghalangi akses ke sekolah, pasar, dan layanan kesehatan.
Setiap langkah adalah ujian, setiap perjalanan adalah perjuangan melawan waktu dan jarak.
Anak-anak desa harus menempuh jalan memutar yang berbahaya, para petani memikul hasil panen dengan susah payah, dan harapan seolah terkubur di balik tebing-tebing curam.
Namun, di tengah keterbatasan yang mendera, secercah harapan muncul. Sebuah janji diucapkan, sebuah mimpi diimpikan, jembatan akan dibangun, bukan hanya sebagai penghubung fisik, tetapi juga sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Dan ketika fondasi pertama ditancapkan, ketika besi-besi mulai merangkai asa, sebuah nama terukir dalam hati setiap warga, Jembatan Joko Sukoyo.
Nama itu bukan sekadar label, melainkan sebuah penghargaan, sebuah penghormatan bagi seorang putra bangsa  yang telah mengharumkan nama desa, Letkol Arh Joko Sukoyo, S. Sos., M. Han.
Di antara lautan manusia yang memadati area peresmian, sepasang mata tua memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga.
Sulainah dan Kadis, kedua orang tua Letkol Arh Joko Sukoyo, berdiri dengan tegar, namun hati mereka dipenuhi rasa haru yang mendalam.