Mohon tunggu...
Lefira Nur Santi
Lefira Nur Santi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

QRIS dan Ketakutan AS: Tantangan Baru Terhadap Dominasi Sistem Pembayaran Global

27 April 2025   07:00 Diperbarui: 27 April 2025   01:33 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia melalui Bank Indonesia (BI) mengembangkan sistem pembayaran nasional berbasis QR Code yang disebut QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). QRIS bertujuan untuk menyatukan berbagai metode pembayaran digital ke dalam satu platform yang lebih mudah, efisien, dan mendukung inklusi keuangan. Namun, inisiatif ini tidak hanya dipandang sebagai inovasi domestik saja tetapi juga internasional, khususnya Amerika Serikat (AS), QRIS dan program ASEAN Payment Connectivity (APC) dianggap sebagai potensi ancaman terhadap dominasi sistem keuangan global yang selama ini dikendalikan negara-negara Barat. APC ini adalah program kerja sama antarnegara ASEAN untuk menghubungkan sistem pembayaran digital di kawasan terutama lewat QR code, transfer instan, dan sistem pembayaran lintas batas lainnya. Negara-negara yang menggunakan program ini antara lain Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina). Dalam perspektif kapitalisme dapat dilihat respons AS terhadap QRIS bukanlah hal yang mengejutkan, melainkan cermin dari dinamika perebutan kontrol pasar dan dominasi modal di tingkat global.

Kapitalisme global mendorong kekuatan pasar bebas dan kekuatan modal untuk menentukan dinamika ekonomi dan politik dunia. Dalam konteks internasional, kapitalisme telah melahirkan sistem keuangan global yang terintegrasi yaitu dolar AS menjadi mata uang utama dalam perdagangan internasional, cadangan devisa, dan sistem pembayaran lintas batas. Visa, Mastercard, dan SWIFT (Society for Worldwide Interbank Finansial Telecommunication) merupakan pilar kapitalisme keuangan global buatan AS yang mengatur dan mempermudah pembayaran global. Namun, dibalik kemudahan tersebut AS juga memperkuat dominasi ekonominya karena semua alurnya tetap melewati jaringan mereka. Sistem ini memberikan AS bukan hanya keuntungan ekonomi, tetapi juga kekuatan politik. Keuntungan ekonominya AS mendapat banyak uang dari dominasi dolar. Contohnya, negara-negara harus simpan dolar untuk berdagang dan harus lewat sistem pembayaran AS, sehingga AS selalu diuntungkan. Sedangkan kekuatan politiknya, karena semua transaksi global banyak menggunakan sistem AS, mereka bisa mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh ikut dalam perdagangan global. Contohnya, jika AS tidak suka dengan satu negara seperti Rusia, mereka bisa memblokir akses negara itu dari SWIFT atau melarang penggunaan Visa/Mastercard. Alhasil, ekonomi negara itu bisa lumpuh.  AS mampu menetapkan standar, mengendalikan akses terhadap pasar keuangan, bahkan menggunakan sanksi ekonomi sebagai alat diplomasi. . Dengan kata lain, kapitalisme global tidak hanya mengatur hubungan produksi dan distribusi, melainkan juga menjadi instrumen kekuasaan geopolitik.

Penerapan QRIS dan proyek integrasi pembayaran lintas negara ASEAN dapat dipahami sebagai bagian dari upaya negara-negara berkembang untuk mengurangi ketergantungan terhadap infrastruktur keuangan Barat. Dengan adanya QRIS, transaksi domestik dan lintas negara bisa dilakukan menggunakan mata uang lokal, tanpa harus melalui dolar AS sebagai perantara. Dalam sistem kapitalisme global yang sekarang, pasar keuangan dunia dikuasai AS, tetapi . Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya berusaha menciptakan pasar alternatif di mana modal domestik memiliki peran lebih besar dibandingkan modal asing. Dengan memperkuat ekosistem pembayaran lokal, negara-negara ini ingin mengamankan kedaulatan ekonomi sekaligus membuka peluang pertumbuhan sektor fintech nasional.

Dari sudut pandang AS, perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran. Jika semakin banyak negara yang melakukan transaksi lintas batas tanpa melewati sistem berbasis dolar dan jaringan pembayaran Barat, maka permintaan global terhadap dolar akan berkurang. Selain itu, dominasi korporasi AS dalam sektor pembayaran digital akan terancam, mengingat pasar negara berkembang merupakan sumber utama pertumbuhan masa depan. 

Dalam beberapa pernyataan tidak langsung, pejabat dan analis ekonomi dari AS menyuarakan kekhawatiran bahwa sistem pembayaran nasional seperti QRIS dapat menghambat keterbukaan pasar dan mengurangi efisiensi global. Kritik ini, dari perspektif kapitalisme, sebenarnya bukanlah semata-mata soal efisiensi atau inovasi, melainkan tentang mempertahankan dominasi modal. QRIS dan sistem pembayaran serupa dianggap menciptakan hambatan non-tarif baru, karena memperkuat posisi perusahaan domestik dan mengurangi ruang gerak korporasi asing. Dalam kacamata kapitalis Barat, segala upaya proteksi pasar, meskipun atas nama kedaulatan ekonomi, dianggap bertentangan dengan prinsip pasar bebas.

AS juga mengkhawatirkan potensi QRIS dalam mempercepat fragmentasi sistem keuangan global. Dengan banyak negara mengembangkan sistem pembayaran lokal masing-masing, risiko ketidakstabilan meningkat, karena sistem tersebut mungkin tidak mengikuti standar teknis dan regulasi yang diakui secara internasional. Jadi, AS takut dunia keuangan terpecah-pecah karena banyak negara membangun sistem sendiri, sehingga transaksi global berantakan, lebih sulit diatur, dan tidak lagi stabil seperti dulu saat semuanya melalui sistem buatan Barat. Namun, standar internasional bukan sesuatu yang netral. Standar ini diciptakan dan dikendalikan oleh negara-negara atau perusahaan kuat yang mampu  mengatur siapa yang boleh berpartisipasi dalam pasar dan bagaimana mereka harus beroperasi.

Meskipun QRIS dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kapitalisme Barat karena membuat sistem pembayaran sendiri. QRIS tidak mengubah sistem berbasis pasar, justru memperluas akses ke pasar digital bagi lebih banyak aktor domestik kepada bank nasional, fintech lokal, dan pelaku UMKM Indonesia untuk mencari keuntungan. Dengan kata lain, QRIS bukanlah bentuk anti kapitalisme, melainkan upaya untuk menciptakan kapitalisme yang lebih inklusif dan berbasis lokal. QRIS memperlihatkan bahwa kapitalisme bukan sistem yang tertutup, ia dapat beradaptasi, berubah bentuk, dan menciptakan ruang-ruang kompetisi baru di antara pusat dan pinggiran kapitalisme global. Dalam hal ini, AS mengkritik QRIS bukan karena prinsip ideologis semata, melainkan karena adanya perubahan dalam distribusi peluang ekonomi yang dapat menggeser keseimbangan kekuasaan kapitalis global.

QRIS dan inisiatif sistem pembayaran lokal lain di ASEAN merupakan bentuk upaya negara-negara berkembang, khususnya Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan global yang selama ini didominasi oleh kapitalisme Barat dan dolar AS. Langkah ini dipandang oleh Amerika Serikat sebagai ancaman terhadap hegemoni ekonomi dan stabilitas sistem keuangan internasional, karena mempercepat fragmentasi jalur transaksi global dan melemahkan standar teknis yang dikendalikan Barat. Namun, meskipun QRIS dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan, pada dasarnya sistem ini tetap beroperasi dalam logika kapitalisme, yaitu memperluas akses pasar untuk aktor domestik seperti bank nasional, fintech, dan UMKM semua masih berorientasi pada pencarian keuntungan, bukan pada perubahan sistem ekonomi secara radikal. 

Melihat kritik Amerika Serikat terhadap QRIS dalam perspektif kapitalisme membuka pemahaman bahwa sistem keuangan global bukanlah arena netral, melainkan medan kompetisi kekuasaan. QRIS dan inisiatif serupa merepresentasikan upaya negara-negara berkembang untuk merebut kembali sebagian kontrol atas transaksi keuangan mereka. Meskipun tetap beroperasi dalam kerangka kapitalisme, langkah ini mengancam dominasi modal Barat dan menantang struktur kapitalis global yang selama ini menguntungkan negara-negara maju, terutama AS. Kapitalisme, dengan sifat kompetitif dan ekspansionisnya, mendorong negara dan perusahaan untuk terus memperjuangkan perluasan pasar. Dalam dinamika ini, kritik terhadap QRIS bukan hanya soal standar teknis atau efisiensi, melainkan soal mempertahankan atau menggeser pusat kekuasaan dalam tatanan ekonomi dunia.

Daftar Pustaka

Putri, A. V., Yusra, M., & Irawan, P. (2024). Dampak QR Code Cross Border Payment Terhadap Penggunaan Dolar Amerika Serikat di Kawasan Asia Tenggara. Palito, 3(02).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun