Mohon tunggu...
Lefira Nur Santi
Lefira Nur Santi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pangan Sebagai Senjata: Dampak Perang Rusia-Ukraina Terhadap Ketahanan Global

19 April 2025   21:58 Diperbarui: 12 Mei 2025   10:43 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina sejak Februari 2022 tidak hanya mengguncang tatanan politik global, tetapi juga memberi dampak sistemik terhadap ekonomi dunia. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah perdagangan pangan global. Kedua negara tersebut merupakan eksportir utama komoditas pangan strategis seperti gandum, jagung, dan minyak bunga matahari. Ketika pasokan dari wilayah Laut Hitam terganggu, dunia menghadapi lonjakan harga, kelangkaan pangan, serta peningkatan proteksionisme oleh negara-negara pengimpor. Dalam konteks ini, pendekatan merkantilisme dalam ekonomi politik internasional memberikan lensa yang relevan untuk memahami negara-negara menanggapi krisis ini, yaitu dengan memprioritaskan kepentingan nasional melalui kontrol atas sumber daya strategis dan perdagangan.

Merkantilisme adalah teori ekonomi klasik yang berkembang pada abad ke-16 hingga ke-18, yang menekankan pentingnya akumulasi kekayaan negara melalui surplus perdagangan dan kontrol terhadap sumber daya strategis. Dalam paradigma ini, negara bukan hanya aktor politik, tetapi juga entitas ekonomi yang aktif mengarahkan kegiatan ekonomi demi kekuatan nasional. Dalam konteks kontemporer, neo-merkantilisme merujuk pada kebijakan negara yang proteksionis, intervensi pasar, dan mengedepankan swasembada dalam menghadapi ancaman eksternal atau krisis global. Dengan merujuk pada pandangan ini, respons negara-negara terhadap gangguan perdagangan pangan akibat konflik Rusia–Ukraina menunjukkan bangkitnya kembali praktik merkantilis.

Sebelum konflik, Ukraina adalah salah satu dari lima eksportir gandum terbesar di dunia, dan Rusia menempati posisi teratas. Bersama-sama, keduanya menyumbang lebih dari 30% ekspor gandum global. Selain itu, Ukraina juga merupakan eksportir utama jagung dan minyak bunga matahari. Banyak negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika sangat bergantung pada impor dari kawasan Laut Hitam ini. Ketika Rusia memblokade pelabuhan-pelabuhan Ukraina dan menghancurkan infrastruktur pertanian, pasokan pangan global terganggu secara drastis. Selain pangan, Rusia juga merupakan eksportir utama pupuk dan gas alam, dua elemen penting dalam produksi pangan global. Gangguan terhadap suplai pupuk menyebabkan penurunan produktivitas pertanian di banyak negara berkembang. Ketergantungan ini memperlihatkan kerentanan struktural dalam sistem perdagangan global yang bergantung pada efisiensi pasar dan interdependensi.

Sebagai respons atas gangguan perdagangan pangan, banyak negara mengadopsi kebijakan proteksionis untuk menjaga pasokan domestik. India, misalnya, menerapkan larangan ekspor gandum dan kemudian beras, dengan alasan menjaga stabilitas harga dalam negeri. Indonesia sempat menghentikan ekspor minyak sawit untuk melindungi konsumen lokal. Negara-negara seperti Argentina dan Rusia juga memperketat ekspor gandum mereka. Kebijakan seperti ini mencerminkan pendekatan merkantilisme modern, di mana negara mengutamakan kontrol atas sumber daya vital seperti pangan. Tindakan ini menimbulkan efek domino ketika satu negara menutup ekspor, negara lain akan melakukan hal yang sama untuk mencegah kekurangan pasokan. Akibatnya, pasar global menjadi semakin tidak stabil, dan harga pangan melonjak.

Sebagai upaya mitigasi, inisiatif seperti Black Sea Grain Initiative adalah upaya internasional yang dilakukan oleh PBB dan Turki untuk membantu Ukraina tetap bisa mengekspor gandum ke pasar global melalui Laut Hitam di tengah perang dengan Rusia. Tujuannya untuk Mengurangi krisis pangan global akibat terhentinya ekspor dari Ukraina dan menstabilkan harga pangan dunia, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada gandum Ukraina. Namun, pada tahun 2023 Rusia keluar dari kesepakatan tersebut yang menyebabkan Ekspor gandum Ukraina kembali terganggu, pasar pangan global menjadi tidak stabil lagi, dan pangan bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga alat politik. Di sisi lain, organisasi multilateral seperti World Food Programme (WFP) meningkatkan program bantuan pangan darurat untuk negara-negara miskin yang terdampak krisis, namun keterbatasan anggaran dan ketergantungan pada donor membuat respons ini tidak sepenuhnya efektif. Dalam konteks merkantilisme, ketika terjadi krisis global, negara-negara cenderung mementingkan kepentingan nasional mereka sendiri (misalnya dengan menahan ekspor untuk rakyat mereka), daripada membantu negara lain melalui kerja sama internasional. Akibatnya, kerja sama multilateral menjadi lemah dan kalah oleh nasionalisme ekonomi.

Konflik ini mengubah cara negara melihat pangan dari sekadar kebutuhan konsumsi menjadi alat kekuasaan strategis. Seperti halnya energi, pangan kini menjadi instrumen politik. Rusia memanfaatkan posisinya sebagai pemasok utama pupuk dan gandum untuk memperkuat pengaruhnya di negara-negara Afrika dan Asia, sementara negara-negara Barat memperkuat cadangan pangan nasional sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional. Di banyak negara, investasi dalam pertanian domestik meningkat, tidak hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Diversifikasi sumber pasokan dan pembangunan infrastruktur pertanian menjadi agenda utama dalam kebijakan ekonomi nasional. Hal ini mengindikasikan pergeseran dari pendekatan liberal yang menganut prinsip efisiensi global ke arah proteksi dan kemandirian nasional, sesuai semangat merkantilisme. Kebangkitan merkantilisme dalam perdagangan pangan global menunjukkan krisis legitimasi atas sistem perdagangan multilateral berbasis pasar bebas seperti yang dipromosikan oleh World Trade Organization (WTO). WTO sejatinya melarang pembatasan ekspor sepihak, namun negara-negara tetap melakukannya dengan dalih keadaan darurat nasional. Ini menyoroti lemahnya penegakan aturan perdagangan global dalam situasi krisis. Ke depan, ketahanan pangan diprediksi akan menjadi isu utama dalam perundingan internasional, bersanding dengan isu perubahan iklim dan energi. Negara-negara akan lebih berhati-hati dalam membuka akses pangan mereka ke pasar global, dan akan mempertimbangkan cadangan strategis sebagai bagian dari kebijakan nasional.

Konflik Rusia-Ukraina memperlihatkan bahwa dalam situasi krisis, negara cenderung kembali pada prinsip-prinsip merkantilisme yaitu melindungi pasokan domestik, membatasi ekspor, dan menjadikan pangan sebagai alat geopolitik. Fenomena ini menunjukkan keterbatasan pendekatan liberal dalam menjamin stabilitas dan keadilan dalam perdagangan global. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, pendekatan merkantilis meski bertentangan dengan ide pasar bebas menawarkan solusi praktis bagi negara untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional. Namun, dampaknya terhadap solidaritas internasional dan stabilitas harga global menjadi tantangan besar bagi tata kelola perdagangan di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun